Pemulihan Ekonomi AS, Berkah Bagi Indonesia?

Date:

Pulihnya kinerja ekonomi Amerika Serikat pada kuartal kedua tahun ini menjadi salah satu faktor yang menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bagaimanapun, Indonesia adalah bagian dari komunitas global, sehingga pergerakan ekonomi di negara sebesar AS jelas berdampak pada Indonesia.

Pemulihan ekonomi AS menjadi salah satu yang tertinggi pada kuartal kedua tahun ini. Ekonomi Negeri Paman Sam itu melesat 12,2% year-on-year (YoY), jauh lebih baik ketimbang pada kuartal pertama tahun ini hanya hanya tumbuh 0,5% YoY.

Namun, sama seperti Indonesia, tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi AS juga tidak terlepas dari faktor low base effect atau faktor rendahnya angka pembanding sebab kinerja ekonomi pada kuartal II/2020 lalu anjlok -9,1% YoY.

Sementara itu, secara kuartalan atau quarter-on-quarter (QoQ), yakni indikator yang lebih sering diberitakan, pertumbuhan ekonomi AS tercatat sebesar 6,5% QoQ pada kuartal II/2021, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan kuartal sebelumnya yang sebesar 6,3% QoQ.


source: tradingeconomics.com

Pemulihan ekonomi AS ditandai oleh peningkatan aktivitas manufaktur yang tentu berdampak pada peningkatan permintaan terhadap bahan baku global. AS sendiri merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia.

Seperti diketahui, tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua tahun ini, yakni mencapai 7,07% YoY, terutama karena ditopang oleh aktivitas ekspor yang tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Indonesia mencapai US$53,97 miliar sepanjang kuartal II/2021.

Nilai tersebut melonjak 55,89% YoY dan 10,36% quarter-on-quarter (QoQ). Peningkatan tertinggi terjadi di sektor migas, yakni 86,12% YoY, tambang dan lainnya 77,83% YoY, dan industri 51,76% YoY.

Lonjakan nilai ekspor tersebut tentu tidak terlepas dari kontribusi Paman Sam. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, total aktivitas perdagangan antara Indonesia dan AS sepanjang paruh pertama tahun ini mencapai US$16,5 miliar, tumbuh 27,98% YoY.

Dari nilai tersebut, ekspor Indonesia ke AS tercatat mencapai US$11,5 miliar, tumbuh 34,19% YoY. Sementara itu, impor Indonesia dari AS hanya US$4,98 miliar, tumbuh 15,58% YoY. Dengan demikian, Indonesia mencatatkan surplus senilai US$6,55 miliar.

Mengacu pada data yang sama, neraca perdagangan antara Indonesia dan AS selalu surplus dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan, pada 2020 lalu neraca perdagangan Indonesia dan AS mencatatkan surplus US$10 miliar, tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.

Dengan demikian, jelas AS adalah mitra dagang penting Indonesia, menimbang kontribusi AS terhadap total ekspor Indonesia adalah yang terbesar. Selain itu, seiring dengan besarnya pertumbuhan ekspor tahun ini, kemungkinan nilai surplus neraca perdagangan Indonesia-AS akan kembali mencetak rekor.

Tingginya kebutuhan komoditas dari Amerika Serikat untuk menopang pemulihan ekonominya merupakan salah satu faktor yang mendorong peningkatan harga komoditas global saat ini, termasuk dua andalan Indonesia yakni sawit dan batu bara.

Oleh karena itu, perkembangan ekonomi AS menjadi salah satu indikator penting dalam mengukur prospek ekonomi Indonesia.

 

Pemulihan Ekonomi AS: Berkah atau Kutuk?

Meskipun membawa berkah, pemulihan ekonomi AS bukannya tidak mengandung ancaman sama sekali. Pemerintah AS selama ini memang terlihat berupaya keras untuk membangkitkan lagi ekonominya. Hal ini terbukti dari besarnya stimulus ekonomi yang dianggarkan untuk penanganan Covid-19.

Segera setelah Presiden Joe Biden dilantik, langkah pertamanya adalah memastikan program stimulus jumbo senilai US$1,9 triliun disetujui. DPR AS akhirnya menyetujui proposal tersebut pada pertengahan Maret 2021. Jika dirupiahkan dengan kurs Rp14.000/US$, nilai itu setara Rp27.000 triliun.

Ini adalah nilai stimulus terbesar sepanjang sejarah AS. Dengan nilai sebesar itu, jelas pengaruhnya terhadap perekonomian global sangat tinggi, sebab seketika likuiditas di pasar menjadi berlimpah. Hal ini pula yang menjadi penopang lonjakan ekonomi AS pada kuartal kedua tahun ini.

Namun, pulihnya ekonomi AS juga menyimpan potensi masalah tersendiri bagi Indonesia, terutama dari sisi moneter dan fiskal. Selama ini, AS telah menjalankan kebijakan suku bunga dovish atau mempertahankan tingkat suku bunga yang rendah.

Sejak awal pandemi, tingkat suku bunga the Fed telah turun ke level terendah, yakni 0,25%. Penurunan suku bunga tentu ditujukan untuk meningkatkan lagi roda perekonomian di tengah tekanan pandemi.

Namun, karena kebijakan suku bunga rendah itu ternyata belum cukup untuk memacu ekonomi yang sekarat, the Fed lalu menggelontorkan likuiditas ke pasar melalui pembelian surat berharga. Dengan demikian, diharapkan aktivitas ekonomi dan inflasi pun meningkat lagi.

Kebijakan ini dikenal dengan istilah quantitative easing. The Fed menggelontorkan likuiditas sebesar US$120 miliar per bulan melalui pembelian obligasi negara AS dan obligasi korporasi.

Seketika, total neraca the Fed melonjak drastis, dari yang semula hanya di kisaran US$4,2 triliun pada awal Februari 2020 menjadi US$7,2 triliun pada akhir Mei 2020. Per awal Agustus 2021, neraca the Fed sudah di level US$8,23 triliun, level tertingginya sepanjang masa.

Gelontoran likuiditas ini tentu turut dinikmati juga oleh negara-negara berkembang, tidak saja AS sendiri. Indonesia, misalnya, untuk menutupi defisit anggarannya selama menangani pandemi, harus menerbitkan surat utang dalam jumlah besar.

Beruntung bahwa likuiditas industri perbankan di Indonesia juga cukup tinggi saat ini akibat laju pertumbuhan kredit yang rendah, sehingga surat berharga negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah dapat terserap oleh perbankan.

Namun, perbankan nasional tidak dapat menjadi satu-satunya investor yang diandalkan negara. Likuiditas asing, termasuk dari investor-investor AS yang kelebihan likuiditas akibat stimulus the Fed juga sangat diandalkan.

Jika ekonomi Paman Sam terus membaik, tentu tidak ada alasan bagi the Fed untuk mempertahankan kebijakan longgarnya berupa suku bunga yang rendah dan pembelian instrumen surat utang di pasar.

Nah, jika akhirnya kebijakan the Fed berbalik arah menjadi pengetatan, yakni menaikkan lagi suku bunga dan mengurangi pembelian surat berharga, efeknya akan besar bagi pasar negara berkembang yang selama ini sudah menikmati kebijakan longgar the Fed.

Bagi Indonesia, hal ini menjadi tantangan serius. Sebab, tentu tidak mudah untuk segera menekan lagi laju defisit anggaran dalam beberapa tahun ke depan, sebab pemulihan ekonomi pascapandemi hampir pasti akan berjalan lambat.

Setidaknya, Indonesia masih akan menerbitkan utang dalam porsi jumbo dalam beberapa tahun ke depan untuk mengimbangi sumber pendapatannya yang masih terbatas. Apalagi, beban keuangan Indonesia di masa mendatang lebih besar, sebab utang kini makin menumpuk akibat pandemi.

Setiap tahun, Indonesia harus berhadapan dengan tantangan membayar bunga pinjaman dan melunasi utang yang jatuh tempo. Untuk menutupi beban ini, strategi yang kerap dilakukan adalah refinancing atau pembiayaan ulang, yakni menerbitkan utang baru untuk menutup utang lama yang jatuh tempo.

Dengan demikian, ketergantungan terhadap likuiditas global masih tinggi. Jika nantinya the Fed memperketat kebijakan moneternya, likuiditas global pun akan mengetat. Hal ini berpotensi menimbulkan tingginya arus modal keluar dari Indonesia.

Jika hal itu terjadi, Indonesia bakal kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaannya. Di samping itu, kurs rupiah pun dalam ancaman pelemahan jika arus modal keluar terjadi secara besar-besaran.

Seperti diketahui, AS adalah negara yang dipersepsikan paling aman untuk menjadi tujuan investasi. Jika suku bunga di sana meningkat, investor akan lebih berminat kembali ke AS sebab lebih aman, ketimbang bertahan di negara berkembang yang bunganya lebih tinggi, tetapi risikonya juga besar.

Sementara itu, kondisi terkini menunjukkan laju inflasi di AS terus meningkat dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini bakal memperkuat alasan the Fed untuk mempercepat kebijakan pengetatan moneternya. Berikut ini perkembangan data inflasi di AS hingga Juni 2021:


source: tradingeconomics.com

Sering dengan itu, Rapat Komite Pasar Terbuka The Fed (FOMC) pada Juni 2021 telah memberi sinyal bakal menaikkan suku bunga dua kali pada 2023 nanti, lebih cepat dari rencana semula yakni baru akan dilakukan pada 2024.

Bahkan, bukan tidak mungkin kenaikan suku bunga akan terjadi tahun depan jika inflasi terus meningkat dengan tren seperti yang terjadi saat ini. Langkah ini harus diambil untuk memastikan laju pertumbuhan ekonomi dan inflasi tidak kebablasan dan justru berdampak buruk.

Alhasil, the Fed harus menghentikan kebijakan quantitative easing secara bertahap. Langkah kebijakan ini dikenal dengan tapering off. Sejalan dengan itu, suku bunga juga tentu akan dinaikkan. Jadi, the Fed akan mengurangi porsi pembelian surat utangnya.

Seiring dengan itu, neraca the Fed akan menurun, sebab sebagian aset yang dibelinya juga akan jatuh tempo dan the Fed menerima kembali likuiditas yang sebelumnya telah digelontorkannya. Jika the Fed mengurangi pembelian obligasi negara AS, harganya akan turun, sebaliknya yield-nya meningkat.

Nah, yield US Treasury adalah acuan bagi pasar surat utang negara berkembang. Kenaikan yield ini pun akan menyebabkan yield surat utang negara (SUN) Indonesia juga ikut meningkat. Alhasil, beban bunga yang harus dibayarkan pemerintah dalam menerbitkan surat utang baru nantinya akan makin tinggi.

Selain itu, tingginya yield US Treasury juga akan menaik minat investor global untuk beralih ke US Treasury dan meninggalkan pasar surat utang negara berkembang. Jadi, akan ada tekanan ganda bagi pasar surat utang Indonesia. Seiring dengan arus modal keluar, rupiah pun akan ikut tertekan.

Jika tak ingin arus modal keluar terlalu tinggi, pemerintah harus meningkatkan penawaran yield SUN lebih tinggi lagi. Sementara itu, Bank Indonesia harus menaikkan suku bunga acuan untuk meredam kejatuhan rupiah.

Kondisi ini tentu menyebabkan aktivitas ekonomi akan kembali tersendat. Syukur jika saat itu pemulihan ekonomi Indonesia sudah cukup baik. Namun, jika belum, kondisi ini bakal merusak momentum yang sudah dibangun dengan susah payah.

Celakanya, sering kali pasar sudah bereaksi lebih dahulu sebelum the Fed benar-benar merealisasikan rencananya. Sejauh ini, the Fed belum mengumumkan dengan pasti kapan akan mengeksekusi kebijakan pengetatan moneternya. Namun, reaksi pasar yang akan lebih cepat menyebabkan ekonomi Indonesia dalam tantangan serius.