Mengenal TPIA, Big Cap Penghuni Baru LQ45

Date:


[Waktu baca: 7 menit] 

Indeks LQ45 kedatangan pendatang baru sebagai anggota konstituennya untuk periode Februari—Juli 2021. Bursa Efek Indonesia (BEI) telah mengumumkan perubahan tersebut pada Senin (25 Januari 2021). Ada dua emiten baru yang menjadi anggota LQ45, yakni PT PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. (TPIA) dan PT Medco Energi Internasional Tbk. (MEDC).

Sebagai konsekuensinya, dua saham anggota lama LQ45 harus didepak. Kedua saham yang dikeluarkan dari daftar anggota indeks tersebut yakni PT Surya Citra Media Tbk. (SCMA) dan PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL). Adapun, indeks LQ45 sendiri adalah indeks untuk saham-saham dengan likuiditas tinggi dan kapitalisasi pasar besar.

Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas salah satu anggota baru indeks ini, yakni TPIA. Saat ini, TPIA masuk dalam jajaran 10 besar saham dengan kapitalisasi pasar terbesar di BEI. Total kapitalisasi pasar atau market cap TPIA hingga Selasa (26 Januari 2021) mencapai Rp184,58 triliun.

Sebagai informasi, TPIA bukanlah pendatang yang benar-benar baru pada indeks LQ45. Saham ini sudah keluar masuk indeks ini beberapa kali. Terakhir, pada Januari 2020 lalu saham ini didepak dari LQ45 dan digantikan oleh saham lain. Namun, kini BEI memasukkan lagi TPIA ke dalam indeks LQ45.

Adapun, sepanjang 2020 lalu, kinerja indeks LQ45 tidak begitu mengesankan. Indeks ini turun 7,85% year to date (ytd), kalah dibandingkan dengan IHSG yang turun 5,09%. Namun, pada awal tahun ini, kinerja indeks ini per Selasa (26 Januari 2021) sudah naik 3,42% ytd, lebih unggul ketimbang IHSG yang tercatat naik 2,69% ytd.

Lantas, bagaimana kinerja saham dan keuangan TPIA sendiri? Mari kita bahas.

Baca juga: Baru! Ini Daftar Saham LQ-45 Februari-Juli 2021

Siapa Itu TPIA?

TPIA merupakan perusahaan petrokimia terbesar di Indonesia yang merupakan bagian dari grup usaha milik taipan Prajogo Pangestu. TPIA adalah anak perusahaan dari PT Barito Pacific Tbk. dengan kepemilikan saham mencapai 41,88%. Saham publik di emiten ini hanya 7,74% atau sebanyak 1,38 miliar saham.

Emiten ini sudah tercatat di BEI sejak 24 Juni 1996 di papan pengembangan. Emiten ini masuk dalam sektor barang baku di industri barang kimia, dengan subindustri barang kimia dasar. Produk-produk petrokimia yang diproduksi TPIA antara lain olefins, polyolefins, styrene monomer, dan butadiene.

Perusahaan ini didirikan pada 2 November 1984 dengan modal dasar Rp12,26 triliun dan modal ditempatkan dan disetor penuh Rp3,57 triliun. Perusahaan mulai beroperasi secara komersial pada 1992.

TPIA semula bernama PT Tri Polyta Indonesia Tbk. (TPI) dan menjadi penghasil polypropylene terbesar di Indonesia. Polypropylene adalah jenis plastik keras yang banyak digunakan dalam industri pengemasan, otomotif, tekstil, dan aneka wadah.

Pada 1 Januari 2011, TPI melakukan penggabungan usaha atau merger dengan PT Chandra Asri (CA). CA didirikan pada tahun 1989 dan memproduksi olefins serta polyethylene. Olefins adalah senyawa hidrokarbon yang menjadi bahan baku utama dalam industri petrokimia, sedangkan polyethylene adalah jenis plastik yang umum digunakan sebagai kantong plastik.

Dengan penggabungan tersebut, TPI menjadi surviving company atau entitas yang dipertahankan. Namanya pun berubah menjadi PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. Pada akhir 2019 total karyawannya sudah mencapai 2.178 orang.

Berdasarkan informasi di Laporan Tahunan 2019 TPIA, perseroan saat ini menjadi produsen domestik tunggal di Indonesia untuk ethylene, styrene monomer, butadiene, dan styrene butadiene rubber. Perseroan juga merupakan produsen propylene dan polypropylene terbesar di Indonesia.

Pabrik polypropylene perseroan memiliki kapasitas paling besar di Indonesia sebesar 590 KTA dengan margin yang stabil.

Pada tahun 2011, TPIA mendirikan PT Petrokimia Butadiene Indonesia (PBI) yang mengoperasikan satu-satunya pabrik butadiene di Indonesia. Selain memproduksi butadiene, PBI juga memproduksi bahan inti untuk styrene butadiene rubber (SBR), acrylonitrile butadiene styrene (ABS), polybutadiene rubber (PBR), dan styrene butadiene latex (SBL).

Pada 1 Januari 2020 lalu, TPIA merger dengan PBI yang adalah anak usahanya sendiri. Merger ini menyebabkan proses bisnis secara keseluruhan menjadi lebih efisien.

Pabrik petrokimia perseroan ada di Ciwandan, Cilegon, Provinsi Banten. Pabrik ini dilengkapi dengan teknologi mutakhir dan fasilitas penunjang yang lengkap, serta jaringan pipa sepanjang 45 kilometer yang memungkinkan TPIA secara efisien berhubungan langsung dengan beberapa pelanggan utama.

Kinerja Melemah Sepanjang 2020

Saham TPIA ditutup di level Rp9.075 per saham pada akhir tahun 2020. Jika dibandingkan dengan harganya pada penutupan perdagangan akhir tahun 2019 yang di level Rp10.375, maka saham TPIA sudah turun 12,53%.

Kinerja saham yang melemah ini tampaknya memang sejalan dengan kinerja keuangan TPIA yang juga melemah sepanjang 2020 lalu akibat pandemi. Bisnisnya yang tertekan sepanjang tahun lalu menyebabkan TPIA harus rela merugi.

Berikut ini kinerja neraca dan laba rugi TPIA per September 2020 lalu (dalam US$ juta):

Dari data tersebut, terlihat bahwa secara umum kinerja keuangan TPIA melemah cukup dalam tahun lalu. Total aset perseroan turun, seiring turunnya modal dan liabilitas. Kas perseroan juga tergerus.

Hal ini tidak terlepas dari dampak kerugian yang dialami perusahaan tahun lalu. Pendapatan TPIA turun cukup dalam mencapai -8,6% yoy, sedangkan beban pokok pendapatan justru tidak berkurang. Alhasil, laba kotor turun sangat dalam dan menyebabkan perusahaan harus menanggung rugi bersih senilai US$20 juta.

Sejatinya penurunan kinerja TPIA sudah terjadi bahkan sejak 2019 atau sebelum pandemi. Berikut ini perkembangan kinerja keuangan TPIA beberapa tahun terakhir (dalam US$ juta):

Dari data tersebut, tampak bahwa kinerja laba TPIA terus turun dalam tiga tahun belakangan. Tahun 2019 lalu, kinerja TPIA tertekan akibat ketidakpastian global yang dipicu oleh berlanjutnya perang dagang antara Amerika Serikat dan China.

Selain itu, sejumlah pabrik petrokimia baru di negara-negara lain juga mulai beroperasi, terutama di Amerika Serikat dan China. Hal ini menambah pasokan global sehingga persaingan bisnis pun makin ketat. Alhasil, margin usaha pun tergerus. 

Manajemen TPIA sendiri mengakui bahwa industri petrokimia ditandai oleh siklus 8-10 tahun. Siklus puncak sudah dinikmati perseroan pada 2016-2018, sehingga selanjutnya melandai pada tahun-tahun berikutnya. Hal ini merupakan dinamika wajar dalam industri ini.

Baca juga: Nasib Sritex (SRIL) Setelah Joe Biden Dilantik

Prospek Masa Depan

Salah satu langkah strategis yang sedang ditempuh TPIA dan akan berdampak signifikan terhadap kinerjanya di masa depan adalah pengembangan kompleks pabrik petrokimia kedua di Cilegon, yakni Chandra Asri Petrochemical II (CAP II) dengan luas 200 hektare.

Proyek CAP II itu membutuhkan investasi hingga US$5 miliar. Dengan kurs Rp14.000 per dolar AS, nilai tersebut setara dengan Rp70 triliun. CAP II akan meningkatkan kapasitas produksi TPIA hingga dua kali lipat atau mencapai 8 juta ton per tahun pada 2024/2025 mendatang.

Adapun, bisnis perusahaan tertolong juga oleh meningkatkan berbagai kebutuhan plastik selama pandemi, terutama terkait produk-produk penanganan Covid-19, seperti masker, alat pelindung diri (APD), dan alat test swab.

Selain itu, setelah sebelumnya merger dengan anak usahanya yakni PBI, TPIA akan merger lagi dengan anak usahanya yang lain, yakni PT Styrindo Mono Indonesia (SMI). Tujuannya sama, yakni untuk meningkatkan integrasi dan efisiensi seluruh proses bisnis petrokimia perseroan.

Penggabungan ini diyakini akan meningkatkan kapasitas produksi dan aset perusahaan, sehingga dapat meningkatkan daya saing secara keseluruhan. Biaya-biaya tambahan yang tidak diperlukan dalam transaksi antarperusahaan dipangkas secara signifikan dengan penggabungan ini.

SMI sendiri adalah anak usaha yang memiliki pabrik untuk memproduksi styrene monomer. Pabrik itu berkapasitas produksi 340 kiloton per annum (KTA) dan terletak di Merak, Banten. Styrene monomer adalah bahan baku untuk industri hilir.

Produk-produk hilir tersebut antara lain yakni polystyrene, expanded polystyrene, styrene acrylonitrile, acrylonitrile butadiene styrene, styrene butadiene rubber, styrene butadiene latex, dan unsaturated polyester resin.

Adapun, pada awal tahun ini, saham TPIA sudah meningkat lagi. Sahamnya ditutup di level Rp10.350 pada akhir perdagangan Selasa (26 Januari 2021) dan tercatat sudah melesat 14% ytd jika dibandingkan level harga akhir tahun 2020 lalu.

Dengan masuknya TPIA sebagai anggota indeks LQ45, besar peluang kinerjanya akan makin terapresiasi, sebab para manajer investasi akan melakukan penataan ulang portofolio mereka yang berbasis pada indeks LQ45. Hal itu kemungkinan akan mendorong tekanan beli pada saham TPIA yang bisa mendongkrak lagi harganya.