Mungkinkah Sarbanes-Oxley Act Diterapkan di Indonesia?

Date:

Sarbanes-Oxley (SOX) adalah aturan perundangan yang berlaku di Amerika Serikat yang mengharuskan setiap perusahaan publik untuk membuat laporan keuangan yang sangat mendetail, termasuk memberikan analisa mengenai kekurangan dan risiko yang dihadapi perusahaan.

SOX diresmikan di Amerika Serikat pada 30 Juli 2002 di masa kepemimpinan Presiden George W. Bush. Rancangan aturan ini berawal dari banyaknya persoalan dan skandal yang melibatkan profesi akuntan publik di Amerika Serikat. Termasuk di antaranya adalah skandal Enron, Worldcom, dan Tyco Internasional yang sempat menghebohkan sektor pasar modal Amerika Serikat di awal tahun 2000-an. Di mana ketiga perusahaan tersebut terbukti telah melakukan manipulasi laporan keuangan yang menyesatkan investor publik.

Meskipun laporan keuangan perusahaan-perusahaan tersebut sudah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik yang punya reputasi baik, tetapi penyalahgunaan peran auditor masih terjadi. Saat itu, investor publik di Amerika Serikat justru bertanya-tanya mengenai kemampuan dan keandalan setiap akuntan publik yang terlibat.

Misalnya pada kasus Enron, akuntan publik yang ditugaskan untuk mengaudit kinerja perusahaan adalah Arthur Andersen, kantor akuntan publik yang telah berdiri selama lebih dari satu abad. Arthur Andersen bahkan masuk ke dalam jajaran 5 besar kantor akuntan terbesar di dunia, atau yang lebih dikenal dengan istilah “Big Five”. Namun setelah skandal Enron terungkap ke publik, perusahaan akuntan ini kolaps, yang menyebabkan istilah Big Five berganti menjadi Big Four.

Enron didakwa telah melakukan akrobat metode akuntansi dengan mencatatkan pendapatan jauh lebih besar dari yang semestinya, di bawah pengawasan akuntan publik yang terlibat di dalamnya. Terungkapnya skandal ini membuat harga saham Enron terjun bebas akibat “dihukum oleh pasar” dari level tertingginya di level US$ 90.75 pada Agustus 2000, jatuh ke level US$ 0.12 di Januari 2002.

Kongres Amerika Serikat paham betul bahwa hilangnya kepercayaan publik terhadap pasar modal akan memberikan dampak buruk bagi arus modal secara signifikan. Profesi akuntan publik perlu diawasi secara ketat karena perannya sangat mempengaruhi keputusan investor. Sehingga regulasi yang diajukan oleh Senator Paul Sarbanes dan anggota legislatif Michael Oxley langsung diresmikan pada pertengahan 2002 untuk mengantisipasi potensi kolaps yang berlanjut dan menghindari hal serupa kembali terjadi.

Bagaimana dengan Pasar Modal Indonesia?

Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Indonesia. Ingatan publik tentu masih segar soal kisruh laporan keuangan PT. Garuda Indonesia (GIAA). Persoalan ini bermula dari pertanyaan publik mengenai laporan tahunan GIAA yang “secara ajaib” mampu menghasilkan profit. Padahal, maskapai penerbangan milik negara ini masih menderita rugi yang cukup besar dari kuartal 1 hingga kuartal 3 tahun 2018.

Jauh sebelum kasus GIAA, pasar modal nasional pernah dihebohkan oleh kasus rekayasa laporan keuangan yang dilakukan oleh PT. Kimia Farma (KAEF) pada tahun 2002. Saat itu, KAEF dinilai melaporkan laba bersih lebih besar dari yang seharusnya.

Setelah dilakukan penyajian kembali, ternyata ditemukan berbagai kesalahan mendasar pada pencatatan pendapatan perusahaan. KAEF dianggap melakukan penggelembungan harga jual produk yang ada dalam daftar harga persediaan. Pada laporan keuangan yang telah disajikan ulang, laba KAEF ternyata hanya sebesar Rp 99.56 miliar atau 25% lebih rendah dari yang disajikan sebelumnya.

Imbas dari kedua kasus tersebut, baik GIAA maupun KAEF hanya mendapatkan sanksi ringan berupa denda yang jumlahnya dinilai terlalu kecil dan sulit untuk memberikan efek jera. Di luar sanksi Direksi, GIAA hanya diberikan sanksi denda sebesar Rp 100 juta dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan sebesar Rp 250 juta dari Bursa Efek Indonesia.

Bahkan, Direktur Utama GIAA yang sudah sepantasnya bertanggung jawab atas kejadian tersebut masih memimpin perusahaan dan belum digantikan hingga saat ini. KAEF sendiri hanya dikenai sanksi administratif dengan denda sebesar Rp 500 juta di luar sanksi direksi.

Yang kemudian menjadi kecurigaan publik adalah, kalau emiten yang terbukti secara hukum melakukan rekayasa laporan keuangan hanya diberikan sanksi administratif berupa denda tanpa ada upaya penindakan lebih lanjut, pastinya tinggal menunggu waktu kesalahan yang sama akan kembali terulang. Sebab saat ini, aturan soal perlindungan investor dari tindak kecurangan perusahaan publik masih terlalu minim.

Pentingnya Sarbanes-Oxley Act di Indonesia

Meskipun kondisi pasar modal Indonesia belum sebaik di Amerika Serikat, tapi prinsip-prinsip yang menjadi dasar SOX sangat relevan untuk diterapkan di Indonesia. Karena setiap investor publik harus dilindungi dari penyalahgunaan peran akuntan publik.

Undang-undang ini tujuannya adalah untuk memperbaiki transparansi perusahaan, perbaikan secara terus menerus terhadap kontrol internal perusahaan, serta menekankan pentingnya independensi auditor eksternal dalam menjalankan tugasnya.

Karena aturan ini menjunjung tinggi transparansi dan pengawasan yang ketat terhadap auditor, maka biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk merilis laporan keuangan atau keterbukaan informasi menjadi lebih mahal secara biaya dan memakan lebih banyak waktu.

Di Amerika Serikat, bahkan banyak perusahaan yang keberatan dan memutuskan untuk delisting atau keluar dari bursa karena adanya regulasi ini. Banyak juga perusahaan kecil yang memutuskan untuk delisting karena tidak sanggup dengan biaya laporan keuangan yang mahal. Banyak juga perusahaan yang nilai credit rating-nya harus turun karena aturan ini.

Melalui aturan yang dijalankan secara ketat ini, perusahaan dituntut untuk punya komitmen sebagai perusahaan publik untuk transparan pada laporan keuangan dan informasi perubahan neraca yang sering digunakan untuk menyembunyikan tindakan kecurangan. Sehingga perusahaan publik yang tidak bersedia untuk berkomitmen bisa dipersilahkan untuk keluar dari bursa. Hal ini agar setiap investor publik dapat dilindungi dari praktik yang tidak kelihatan di permukaan ini.

Sudah sebaiknya badan-badan yang bertanggung jawab untuk membentuk kebijakan mulai merancang undang-undang serupa yang disesuaikan prinsipnya dengan kondisi di Indonesia. Negara harus punya iklim pasar modal yang sehat, pasar modal yang bisa melindungi investor publik dari risiko kecurangan, sebab pasar modal yang sehat akan menghasilkan penguatan dan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.

Karena, apabila hanya menggunakan aturan yang ada sekarang, setiap perusahaan publik bisa saja melakukan rekayasa informasi keuangan, kemudian menerima sanksi administratif, dan pada akhirnya saham perusahaan yang curang itu kembali dapat diperdagangkan seperti biasa. Seolah tidak ada masalah yang terjadi.

Pada akhirnya, investor publik lah yang dirugikan.