Nasib Sritex (SRIL) Setelah Joe Biden Dilantik
[Waktu baca: 7 menit]
Di tengah panasnya suasana politik Amerika Serikat (AS), Joe Biden dilantik menjadi Presiden AS ke-46 pada Kamis, 21 Januari 2021, menggantikan Donald Trump. Pelantikan Joe Biden yang berasal dari Partai Demokrat ini diharapkan membawa angin segar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
AS adalah salah satu mitra dagang penting Indonesia. Tidak sedikit perusahaan Indonesia yeng mengekspor produknya, terutama produk manufaktur, ke negara adidaya ini. Tidak mengherankan jika pemerintah Indonesia berusaha terus menjaga hubungan baik dengan AS.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada Agustus 2020, neraca perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat surplus US$1 miliar dimana Indonesia mengekspor US$1,6 miliar dan mengimpor US$578,8 juta. Dengan kata lain, ekspor Indonesia ke AS lebih banyak daripada impor dari AS ke Indonesia.
Dari berbagai produk ekspor itu, AS adalah pasar terbesar bagi produk tekstil dan produk testil (TPT) Indonesia. Menurut data Kementerian Perdagangan, AS adalah negara tujuan ekspor TPT terbesar dengan porsi hingga 36%, selain Jepang (10%), Tiongkok (6%), Korea Selatan (5%), Jerman (4%) dan pasar non-tradisional dari Filipina hingga Belanda.
Namun, pandemi corona kemudian memukul ekspor produk TPT Indonesia ke berbagai negara tersebut. Menurut data Kementerian Perdagangan, ekspor TPT dari Indonesia turun 16,6% menjadi US$3,64 miliar pada Januari-April 2020 dibandingkan dengan US$4,36 miliar.
Kondisi itu terjadi karena berbagai negara tujuan ekspor, seperti AS, mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi. Seperti diketahui, ekonomi AS sempat turun 32,9% pada kuartal 2/2020 karena terdampak pandemi corona. Kendati sempat pulih pada kuartal 3/2020, masih banyak pihak yang khawatir terhadap ekonomi AS pada saat ini yang terdampak pandemi corona.
Di tengah situasi genting di AS ini, Joe Biden terpilih sebagai Presiden AS. Dia menawarkan program "American Rescue Plan" untuk menyelamatkan AS dari kondisi yang tidak diharapkan ini.
Baca Juga: Biden Terpilih Menjadi Presiden US, Apa Dampaknya Ke Indonesia?
Stimulus Untuk Dongkrak Ekonomi
Dalam "American Rescue Plan", salah satu rencana mantan Wakil Presiden AS periode 2009-2017 itu adalah memberikan stimulus berupa cek senilai US$1.400 per orang untuk membantu masyarakat AS membayar aneka tagihannya.
Dalam dokumen "American Rescue Plan", Biden menyatakan 1 dari 3 rumah tangga kesulitan membayar biaya rumah tangga seperti sewa dan belanja sehari-hari selama pandemi. Setiap keluarga yang bekerja (working family) membutuhkan lebih dari US$600 atau nilai bantuan yang telah disetujui Kongres AS sebelumnya.
Oleh karena itu, Biden meminta Kongres AS untuk memberikan bantuan finansial senilai total US$2.000 untuk masyarakat AS tersebut. Nah, tambahan US$1.400 itu akan membantu rumah tangga membayar aneka biaya kehidupan, belanja dan menstimulasi ekonomi.
Dengan kata lain, daya beli masyarakat AS diharapkan membaik berkat stimulus tersebut. Peningkatan daya beli berarti potensi peningkatan permintaan terhadap barang-barang yang dipasarkan di pasar AS, tidak terkeculi produk TPT asal Indonesia seperti jersey, pullover, cardigan, kemeja, benang dan sebagainya.
Apabila permintaan barang-barang tersebut, termasuk TPT, kembali pulih maka sejumlah perusahaan tekstil Indonesia akan diuntungkan setelah ekspornya turun pada awal 2020. Salah satunya, tidak lain adalah Sri Rejeki Isman (SRIL), salah satu pemain lama di industri tekstil yang berbasis di Solo, Jawa Tengah.
SRIL dan Pasar AS
AS adalah salah satu pasar ekspor terbesar bagi SRIL. Berdasarkan laporan keuangan 2019, porsi ekspor SRIL ke AS (beserta Amerika Latin) berada di peringkat kedua setelah seluruh Asia pada 2019 dari seluruh penjualan ekspor. Dari seluruh pasar ekspor, porsi ekspor Sritex ke AS sekitar 16% pada 2019.
Jumlah ekspor SRIL ke AS serta Amerika Latin mengalami peningkatan drastis pada 2019. Jumlah ekspor SRIL ke AS mencapai US$110 juta pada 2019 atau melesat 64% dibandingkan dengan US$67 juta pada 2018. Dalam berbagai pernyataannya di media, manajemen SRIL menyatakan peningkatan ekspor itu karena faktor perang dagang AS-China.
Dalam perang itu, AS memasang tarif impor yang tinggi dari China sehingga produk China kesulitan masuk pasar AS. Situasi itu dimanfaatkan oleh berbagai negara lain yang mengekspor produk ke AS, salah satunya Indonesia. Sampai kuartal 3/2020, ekspor SRIL ke AS masih meningkat menjadi US$74 juta dibandingkan dengan US$72 pada periode yang sama 2019.
Pada 2021, manajemen juga berencana terus memperkuat penjualan ke AS. Produk yang paling banyak diekspor SRIL antara lain benang, diikuti oleh kain jadi, pakaian jadi serta kain mentah.
Pada saat ini belum ada tanda-tanda perang dagang AS-China akan berakhir. Terpilihnya Biden bukan berarti perang dagang akan berakhir mengingat Biden juga memiliki kepentingan membawa neraca perdagangan AS menjadi surplus terhadap China. Pada 2019, defisit perdagangan AS terhadap China mencapai US$345,6 miliar.
Jika perang dagang berlanjut, bukan tidak mungkin perusahaan-perusahaan tekstil dari Indonesia akan meraup berkah dari kondisi tersebut. Di samping itu, kondisi perekonomian AS juga berdampak terhadap kondisi perekonomian negara-negara lain yang menjadi tujuan ekspor Sritex. Saat kondisi perekonomian AS membaik, secara langsung dan tidak langsung, akan berdampak terhadap kinerja Sritex.
Kinerja Konsisten
Bagaimana dengan kinerja Sritex secara keseluruhan?
Secara fundamental, kinerja Sritex terbilang cukup konsisten yang ditandai dengan peningkatan penjualan dan laba bersih dalam beberapa tahun terakhir. Kendati demikian, peningkatan itu ditandai dengan sejumlah perlambatan seperti yang terjadi pada 2019 dimana laba SRIL hanya tumbuh 3,64% dibandingkan dengan pertumbuhan 24% (2018).
Kinerja Keuangan SRIL 2016- kuartal 3/2020
*Dalam US$ ribu
Sampai kuartal 3/2020, SRIL juga masih mampu membukukan peningkatan penjualan sebesar 1% di tengah kerasnya pandemi yang berdampak terhadap penjualan berbagai produk manufaktur. Sebagai perbandingan, menurut data BPS, PDB sektor tekstil dan pakaian jadi turun 9% pada kuartal 3/2020 seiring penurunan permintaan domestik dan ekspor.
Dengan kata lain, SRIL mampu membukukan peningkatan penjualan di tengah penurunan sektor tekstil secara nasional. SRIL juga masih mampu membukukan peningkatan laba sebesar 2% menjadi US$73 juta pada kuartal 3/2020 dibandingkan dengan kuartal 3/2019.
Sementara itu, ditilik dari berbagai rasio profitabilitas, SRIL juga terbukti mampu membukukan pertumbuhan ROE dengan digit ganda dalam beberapa tahun terakhir. Begitupula dengan marjin laba bersihnya dimana SRIL membukukan rata-rata NPM sebesar 8,32% pada 2016-2019.
Kendati demikian, dalam rasio solvabilitas, DER SRIL mengalami peningkatan menjadi lebih dari 1 kali pada 2019. Salah satu penyebabnya adalah peningkatan utang jangka panjang sebesar lebih dari 1.000% menjadi US$358,49 juta pada 2019 dibandingkan dengan US$29,18 juta pada 2018 seiring keputusan perusahaan mengambil kredit sindikasi dari sejumlah bank.
Bagaimana dengan sahamnya? SRIL adalah salah satu saham yang masuk ke dalam Indeks LQ-45 periode Agustus 2020-Januari 2021. SRIL menjadi saham dengan harga pasar paling rendah dibandingkan dengan 44 perusahaan lain dalam Indeks LQ-45 tersebut yaitu di level Rp200an. Secara keseluruhan, hanya 3 saham LQ-45 yang harga pasarnya di bawah Rp1.000.
Secara valuasi, SRIL kini diperdagangkan di PER 3,54 kali dan PBV di bawah 1x yaitu 0,53 kali. Di antara perusahaan sejenis yaitu tekstil dan garmen (23 emiten), PER SRIL adalah PER yang paling rendah pada saat ini. Kendati demikian, DER SRIL di atas 1x menjadi pengingat investor saham bahwa Sritex memiliki utang yang tidak sedikit.
Apakah masih ada ruang bagi saham SRIL untuk beranjak dari level Rp200an? Apakah terpilihnya Joe Biden akan berdampak signifikan terhadap perekonomian AS yang akhirnya berdampak terhadap kinerja perusahaan tekstil Indonesia, termasuk Sritex? Apakah saham SRIL akan bergerak senada dengan kinerja fundamentalnya? Kita tunggu saja.
Date: