Menerka Ulah Spekulan di Balik Anomali IDX Sector Technology

Date:

Sistem klasifikasi indeks sektoral baru di Bursa Efek Indonesia, yakni IDX Industrial Classification (IDX-IC) menyediakan salah satu indeks khusus yang mengukur kinerja saham-saham sektor teknologi dalam satu keranjang indeks. Indeks tersebut yakni IDX Sector Technology. 

Sebelumnya, dalam model klasifikasi lama yakni Jakarta Stock Industrial Classification (JASICA) tidak ada indeks khusus sebagai keranjang saham-saham teknologi. Saham-saham sektor ini masuk dalam klasifikasi besar indeks perdagangan, jasa, dan investasi.

Di dalamnya ada subsektor jasa komputer dan perangkatnya, tetapi bukan sebagai indeks khusus. Adanya IDX IC yang mulai berlaku pada Senin (25 Januari 2021) lalu memungkinkan pelaku pasar untuk secara lebih spesifik mengukur kinerja emiten-emiten di sektor teknologi.

Hal yang menarik, IDX Sector Technology menunjukkan kinerja yang anomali ketimbang indeks-indeks IDX-IC lainnya. Kinerjanya melesat jauh melampaui yang lain. Per Rabu (3 Februari 2021), kinerja IDX Sector Technology tercatat sudah melesat 98,16% year to date (ytd), padahal IHSG hanya naik 1,65% ytd.

Di posisi kedua menyusul indeks tersebut yakni IDX Sector Basic Materials, tetapi itu pun kenaikannya hanya 8,88% ytd. Lantas, apa yang menyebabkan anomali kinerja IDX Sector Technology? Apakah hal ini masih wajar?

Baca juga: Indeks Tekno: Untuk Meyambut Gojek, Tokopedia dkk?

Konstituen Sedikit

IDX Sector Technology merupakan anggota indeks IDX-IC dengan konstituen atau jumlah emiten anggota indeks paling sedikit, yakni hanya 19 emiten. Di atas indeks ini ada IDX Sector Healthcare, yakni 21 emiten, dan IDX Sector Transportation & Logistic dengan 26 emiten.

Selain ketiganya, indeks-indeks IDX-IC lainnya memiliki anggota konstituen lebih dari 50 emiten. Tertinggi yakni IDX Sector Consumer Cyclicals dengan anggota 123 emiten dan IDX Sector Financials sebanyak 105 emiten.

Jumlah konstituen yang sedikit inilah yang menyebabkan kinerja IDX Sector Technology sangat mudah mengalami anomali, sebab pergerakan yang tidak wajar pada salah satu atau beberapa anggota saja bisa berdampak signifikan pada seluruh indeks.

Benar saja, di antara 19 anggota IDX Sector Technology, ada beberapa emiten yang kinerjanya sangat tinggi, bahkan cenderung tidak wajar. Sebaliknya, masih ada beberapa emiten di sektor ini yang masih bergerak di zona merah atau masih turun harganya ketimbang posisi akhir 2020 lalu.

Berikut ini daftar anggota IDX Sector Technology dan kinerjanya secara ytd per Kamis (4 Februari 2021) pukul 9.55 WIB:

Dari data tersebut terlihat bahwa hanya 7 emiten dari indeks ini yang kinerjanya menghijau atau naik secara ytd, selebihnya 4 emiten stagnan dan 8 emiten turun. Di antara 7 emiten yang menghijau, ada DCII, emiten pendatang baru tahun ini yang harganya melesat 1.548% ytd.

DCII atau PT DCI Indonesia Tbk. baru mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia pada 6 Januari 2021 lalu. Namun, sejak saat itu harga sahamnya terus meningkat secara drastis sehingga kini dari harga IPO yang hanya Rp420 per saham, saham emiten ini sudah menjadi Rp6.925 per saham.

Adanya anggota konstituen indeks yang mengalami lonjakan harga luar biasa inilah yang menyebabkan kinerja IDX Sector Technology terlihat sangat tinggi dibanding indeks-indeks sektoral lainnya, bahkan di saat banyak konstituennya yang masih berkinerja negatif.

Hal ini berarti kinerja yang ditunjukkan oleh indeks IDX Sector Technology jelas tidak dapat merepresentasikan dengan adil kondisi sebenarnya dalam sektor industri ini. Hal ini patut diwaspadai oleh investor.

Baca juga: Tokopedia dan Antisipasi Euforia Saham Startup

Kinerja Tak Masuk Akal

Kenaikan harga saham DCII hingga ribuan persen dalam waktu singkat jelas bukanlah pergerakan yang masuk akal. Kenaikan harga setinggi itu menyebabkan level price to earning ratio (PER) DCII kini sudah di level 154,8 kali berdasarkan perhitungan RTI. DCII sendiri adalah perusahaan penyedia data center.

Sejak listing hingga akhir Januari 2021, saham DCII selalu bergerak meningkat dan terkenal auto rejection atas (ARA). Sahamnya selalu meningkat 25% dalam sehari hingga akhirnya BEI melakukan suspensi perdagangan saham DCII pada 22-27 Januari 2021.

Namun, setelah suspensi dibuka, saham DCII kembali meningkat dan terkena ARA, kali ini naik 20% dalam sehari, sebab harganya sudah bergerak di atas Rp5.000 per saham. Sesuai ketentuan BEI, batas ARA bagi emiten dengan harga saham di atas Rp5.000 adalah 20%.

Nah, kondisinya mulai berbalik pada pekan ini. Dalam 3 hari terakhir, yakni 2-4 Februari 2021, saham DCII mulai dilepaskan oleh para spekulan saham ini. Selama 3 hari berturut-turut, saham DCII mulai turun dan terkena auto rejection bawah (ARB) karena turun 7% dalam sehari.

Penurunan setinggi itu bahkan tidak menunggu sampai akhir sesi pertama, tetapi terjadi segera ketika pasar dibuka. Pada hari ini, Kamis (4 Februari 2021), saham DCII anjlok 6,73% ke level Rp6.925 per saham begitu pasar dibuka dan hanya disebabkan oleh 11 kali transaksi senilai Rp11,0 juta!

Gejala pergerakan harga saham seperti ini sudah berkali-kali terjadi di bursa, terutama sepanjang awal tahun ini. Kita menyaksikan banyak saham yang naik gila-gilaan pada awal tahun, sebelumnya akhirnya turun drastis secara berjemaah dan terkena ARB menjelang akhir Januari 2021.

Hal ini menyebabkan IHSG pada akhir Januari 2021 lalu turun hingga menembus level psikologisnya di 6.000, tepatnya 5.862,35. Kini IHSG mulai bangkit lagi pada awal Februari 2021. Investor mesti waspada agar kejadian serupa pada Januari 2021 tidak terulang lagi.

Pengalaman tersebut mestinya akan cukup untuk menjadi pembelajaran bagi investor, bahwa kenaikan harga yang tidak wajar di pasar saham sangat mungkin disebabkan oleh ulah para spekulan atau yang sering dicurigai sebagai “bandar” untuk mengeruk keuntungan dari pelaku pasar lainnya. Hal ini kini tengah terjadi pada saham DCII.

Sebelumnya, saham-saham farmasi dan alat kesehatan menjadi sasaran ulah oknum-oknum tersebut. Investor yang tergoda karena kenaikan harganya yang drastis berpotensi tidak dapat keluar lagi dengan hasil yang menguntungkan ketika para oknum ini mulai merealisasikan keuntungannya dan menjual saham-saham tersebut.

Tidak Banyak Jadi Acuan

IDX Sector Technology merupakan indeks baru di pasar saham. Selain itu, rata-rata kapitalisasi pasarnya pun masih sangat kecil, yakni kurang dari Rp500 miliar. Kapitalisasi pasar yang kecil dan saham publik yang terbatas menjadi salah satu faktor yang menyebabkan saham-saham di indeks ini mudah dipermainkan oleh oknum “bandar”.

Sebagai indeks baru dengan kapitalisasi pasar yang kecil, kelompok emiten di indeks ini umumnya tidak terlalu menarik minat para manajer investasi dalam meracik portofolio reksa dana. Pasalnya, saham-saham seperti itu cenderung kurang likuid, yakni tidak mudah untuk ditransaksikan.

Artinya, setiap kali pemilik saham tersebut hendak menjual sahamnya, tidak selalu ada pembeli yang bersedia membeli. Demikian pun sebaliknya, ketika ada yang ingin membeli, tidak selalu ada yang bersedia menjual. Hal ini tidak ideal bagi manajer investasi yang sering melakukan penataan portofolio.

Memang benar, sektor teknologi menjadi salah satu sektor yang tampaknya ketiban berkah oleh kebijakan pembatasan aktivitas sosial, entah PSBB maupun PPKM. Penggunaan sarana teknologi dan internet meningkat cukup tinggi dan turut berdampak pada emiten-emiten ini.

Namun, tetap saja hal itu masih harus diuji. Kenyataannya, tidak semua emiten teknologi menikmati berkah yang sama dari tren tersebut. KIOS, misalnya, justru rugi Rp12,58 miliar per September 2020 lalu, tetapi harganya melesat 349% ytd.

Saham-saham teknologi di Indonesia belum sekuat saham-saham teknologi di bursa AS atau China yang memang menjadi sasaran beli banyak investor, misalnya saham Facebook, Amazon, Netflix, dan Google.

Saham-saham teknologi asing ini justru lebih banyak dibeli oleh manajer investasi lokal untuk meracik portofolio reksa dana efek luar negeri. Kamu dapat juga membeli produk-produk reksa dana tersebut jika memang meminati saham teknologi, tanpa harus ikut-ikutan membeli saham di indeks IDX Sector Technology yang pergerakannya cenderung tak lagi wajar.