Dihajar Sentimen Negatif, Mengapa Proyeksi Harga CPO Masih Cerah?
Keputusan pemerintah India menaikkan pajak tambahan impor untuk produk-produk minyak kelapa sawit (CPO) per awal pekan ini menjadi pusat lampu sorot. Pengumuman tersebut tak pelak bikin harga CPO global mengalami sentimen tekanan, meski pergerakannya masih cenderung volatil.
India akan menerapkan pajak dasar impor CPO mentah jadi 15 persen, namun menambah penerapan pajak terpisah sebesar 17,25 persen. Secara efektif, perubahan tersebut berpotensi mengerek pajak ke kisaran 35,75 persen, naik dari 30,25 persen pada tahun-tahun sebelumnya.
Menteri Keuangan Negeri Anak Benua, Nirmala Sitharaman berkata kebijakan tersebut diambil untuk memperkuat modal India membangun infrastuktur pertanian. Namun, pasar bereaksi negatif lantaran manuver India otomatis menyulitkan negara-negara yang rutin menjadi penyuplai utama mereka, termasuk Indonesia.
Menariknya, beberapa hari setelah kabar itu tersiar, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) justru merilis outlook positif mereka terhadap permintaan CPO global tahun ini. Ada kesan seolah produsen sawit dalam negeri tetap optimistis permintaan dan harga komoditas andalan mereka hingga pengujung 2021 tetap solid.
Untuk pasar ekspor saja misal, GAPKI memproyeksi tahun ini Indonesia bisa mengekspor CPO sampai 37,5 juta ton, naik 10,29 persen dari tahun lalu.
Proyeksi GAPKI tersebut seolah memantapkan prediksi yang sebelumnya terlontar dari Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto. Didasari optimismenya akan permintaan yang kian meningkat, sejak Desember 2020 lalu Airlangga memproyeksi harga rata-rata CPO sampai akhir tahun 2021 bisa tembus US$668 per metrik ton. Nominal yang tentu saja lebih baik bila dibandingkan harga rata-rata CPO tahun lalu yang ada pada kisaran US$650 per metrik ton.
Cenderung urung goyahnya optimisme pelaku CPO dalam negeri sebenarnya beralasan. Kendati India masih berperan besar dalam porsi permintaan CPO Idonesia, sejak beberapa tahun terakhir posisi negara tersebut sebagai tujuan ekspor utama terus berangsur menurun.
Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), per 2019 misal, posisi India bahkan mulai digeser China yang konsisten meningkatkan permintaan terhadap produk-produk CPO Indonesia. Dan bukan cuma itu, tren permintaan dari India juga semakin berjarak tipis dengan negara-negara lain seperti Pakistan dan Amerika Serikat (AS).
Di saat bersamaan, pergeseran dan penurunan ekspor ke India itu terbukti tidak mengurangi jumlah ekspor Indonesia. Dengan asumsi catatan prapandemi, ekspor CPO Indonesia secara total bahkan justru konsisten menguat.
Data BPS sepanjang rentang 2012-2019 menyebutkan jelas bila ekspor tahunan Indonesia hanya pernah turun sekali, yakni pada 2016. Selebihnya, jumlah CPO yang diekspor selalu naik.
Dengan asumsi data di atas saja, dapat dimaklumi mengapa Airlangga dan kalangan pengusaha CPO cenderung tidak ambil pusing dengan tekanan yang muncul dari India.
Optimisme tersebut juga semakin masuk di akal bila melihat kondisi terkini negara-negara yang terus meningkatkan permintaan impor dari Indonesia, seperti China dan Pakistan. Hingga kini belum ada tanda-tanda bahwa pertumbuhan permintaan CPO Indonesia dari kedua negara bakal terganjal.
Di China, sentimen tekanan impor CPO bukannya tidak ada. Cenderung tergantikannya kebutuhan CPO dengan minyak kedelai belakangan menurunkan permintaan impor. Sentimen ini juga terbukti telah berhasil menekan harga CPO sepanjang pekan lalu.
Meski demikian, sisi positifnya pun ada. Kendati relatif menurunkan permintaan, sebagaimana diwartakan Reuters dan CNBC China telah menggaransi bahwa mereka akan lebih memprioritaskan untuk mengimpor produk-produk CPO dari Indonesia, alih-alih Malaysia.
Keputusan China memilih Indonesia di atas Malaysia memang tidak sepenuhnya menguntungkan bagi harga sawit global, lantaran efek serapan produksi dari Malaysia tidak kalah vital dari Indonesia.
Meski demikian, untuk perusahaan-perusahaan sawit di Indonesia, kabar ini tetaplah hal positif. Bagaimanapun, mereka telah mendapat jaminan produksinya akan terserap dengan optimal.
Di Pakistan kondisinya lebih menjanjikan lagi. Masih minimnya kemampuan produksi lokal untuk memenuhi permintaan membuat ruang bagi tujuan ekspor Indonesia masih terbuka.
Baca Juga: Menilai Kinerja Tiga Bank BUMN (BMRI, BBRI, BBNI)
GAPKI bahkan sempat mengklaim bahwa untuk tahun lalu, Pakistan termasuk negara yang permintaan CPOnya cenderung stabil, bersama Uni Eropa dan Timur Tengah.
Itu dari sisi eksternal. Secara internal, produksi dan serapan produk-produk sawit dari perusahaan dalam negeri akan bergantung banyak dari bagaimana keputusan-keputusan pemerintah.
Misalnya, terkait dari seberapa cepat pemerintah menyusun regulasi pelaksana untuk pengesahan aturan-aturan baru di Undang-Undang Cipta Kerja yang berpengaruh langsung ke sektor CPO.
Atau, yang tidak kalah penting, terkait seberapa cepat pemerintah melakukan implementasi aturan yang mendorong transformasi CPO menjadi produk berkelanjutan. Terutama Peraturan Presiden Nomor 44 tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan.
Penggalakan sertifikasi ISPO bakal punya dampak positif bagi citra industri sawit yang selama ini acap ditengarai menjadi dalang masalah-masalah lingkungan, mulai dari keterlibatan dalam kebakaran hutan dan lahan (karhutla) hingga pencemaran lingkungan. Beleid ini juga berpotensi mendorong industri sawit kian inovatif untuk mendiversifikasi usahanya.
Terlepas dari berbagai kontroversinya, harus diakui bahwa hingga kini sawit masih memegang peranan kunci dalam perekonomian negara. Bila mengacu hitung-hitungan kasar GAPKI misal, sepanjang 2020 ekspor produk sawit diproyeksi menyumbang US$22,97 miliar bagi neraca dagang Indonesia.
Dengan asumsi bahwa neraca perdagangan Indonesia pada 2020 surplus US$ 21,27 miliar, artinya tanpa sawit neraca perdagangan negara ini bisa minus.
Sebesar itulah ketergantungan Indonesia pada kinerja sektor sawit. Dan, tampaknya, akan sebesar itu pula pergerakan harga serta permintaan CPO mempengaruhi perekonomian Indonesia di tahun Kerbau Logam.
Date: