Di Balik Hasrat SWF Boyong Investor ke Bandara Soekarno-Hatta

Date:

[Waktu baca: 5 menit]

Sekitar dua pekan setelah resmi terbentuk, lembaga pengelola investasi alias sovereign wealth fund (SWF) Indonesia, Indonesia Investment Authority (INA) telah merumuskan beberapa proyek prioritas.

Dalam paparan terakhirnya, INA dan Kementerian BUMN mengklaim telah menghimpun 24 ruas tol, 2 proyek bandara dan 3 proyek pelabuhan untuk ditawarkan ke investor dari berbagai penjuru dunia.

Skemanya berbeda-beda. Bila investasi ke ruas tol akan dilakukan dengan divestasi saham anak usaha BUMN karya ke investor langsung, investasi di segmen pengelolaan bandara dan pelabuhan bakal dilakukan dengan pembentukan lembaga baru. Lembaga ini bakal dibentuk oleh INA dan calon investor asing, yang kemudian bakal mengakuisisi, sekaligus mengelola dan menyuntik modal ke bandara atau pelabuhan terkait.

Menariknya, dari 2 proyek bandara yang sudah "bocor", satu di antaranya justru merupakan bandara paling mutakhir di Indonesia. Mana lagi kalau bukan Bandara Soekarno Hatta yang terletak di Cengkareng, Jakarta Barat.

Sepintas, dipilihnya Soekarno-Hatta sebagai prioritas investasi bikin sebagian kalangan mengernyitkan dahi lantaran infrastruktur bandara ini tergolong sudah lebih lengkap dibandingkan titik-titik lain. Artinya, masih banyak bandara yang tidak kalah mendesak untuk dapat guyuran modal tambahan.

Bila syarat bandara tersebut adalah “harus berstandar internasional,” pemerintah pun sebenarnya punya banyak opsi lain. Saat ini Indonesia juga sudah punya 30 bandara kelas internasional.

Akan tetapi, pemilihan Soekarno-Hatta menjadi masuk akal bila dikaitkan ke pernyataan CEO INA Ridha Wirakusumah.  Dalam salah satu sesi diskusi publik yang dihelat secara virtual oleh Mandiri Investment, Rabu (10/9/2021), Ridha berkata bahwa salah saat ini Bandara Soekarno Hatta adalah bandara paling potensial di Indonesia untuk bertransformasi menyerupai Bandara Changi, Singapura.

“Kami menilai [Soekarno-Hatta] masih perlu pengembangan dan pengelolaan yang lebih baik. Adanya investasi tambahan penting karena salah satu harapan kami adalah agar Indonesia punya bandara yang punya reputasi seperti Changi.”

Changi, bandara yang disebut Ridha, memang patut jadi acuan. Bandara yang terletak di Singapura ini merupakan bandara yang rutin menyabet penghargaan bandara terbaik dunia versi Skytrax World Airport selama 8 tahun berturut-turut. Tepatnya dari 2013 hingga 2020.

Profesor asal Srinakharinwirot University Thailand, Thanavutd Chutiphongdech pernah menulis sebuah riset untuk menganalisis kunci sukses Changi menjadi bandara terbaik dunia. Thanavutd menyimpulkan ada empat kunci yang bikin Changi istimewa. 

Di antaranya adalah pengelolaan yang dilakukan perusahaan kemitraan yang profesional, strategi proaktif mencari pendapatan tambahan lewat e-commerce, pembentukan kerja sama kemitraan lewat diversifikasi bisnis, serta utilisasi alias pemanfaatan kawasan sekitar menjadi sumber-sumber pendapatan dengan maksimal.

“Changi sendiri merupakan objek wisata. Mereka memanfaatkan setiap lahan yang dimilikinya dengan baik untuk menciptakan hal-hal yang selalu menarik wisatawan,” tulisnya. 

Itu pula alasan mengapa pemilihan Soekarno-Hatta penting.

Dalam konteks pengembangan layanan ke e-commerce dan kemitraan profesional, bandara manapun di Indonesia barangkali potensial. Namun soal tujuan diversifikasi bisnis dan pemanfaatan wilayah sekitar, Soekarno Hatta tak diragukan lagi punya daya tarik paling besar. Ini lantaran lahan luas yang telah dimiliki bandara tersebut.

Saat ini, lahan tempat berdirinya Bandara Soekarno Hatta meliputi tanah 2.137 hektare, jauh melampaui bandara-bandara besar lain seperti Kertajati (1.800 hektare), Hang Nadim (1.760 hektare) atau Kualanamu (1.365 hektare).

Lahan adalah hal yang penting bagi calon investor—dalam hal ini adalah lembaga-lembaga pengelola aset. Mereka cenderung tergiur dengan bandara yang sudah memiliki bekal lahan yang luas, lantaran diversifikasi bisnis bisa dilakukan dengan leluasa. Alokasi suntikan modal pun bisa diarahkan dengan lebih efektif karena tidak akan terpangkas biaya akuisisi lahan.

Sinyal kecenderungan semacam itu tampak dari pemberitaan akhir tahun lalu, saat CNBC sempat mewartakan bahwa beberapa lembaga manajemen aset asal Inggris berminat mengelola Bandara Soekarno Hatta dan Kualanamu. 

Kedua bandara ini, seperti yang sudah kita tahu, merupakan dua dari segelintir bandara Indonesia yang sudah punya bekal lahan melampaui 1.000 hektare.

10 Bandara Terbesar di Indonesia

Baca juga: Apakah Wijaya Karya (WIKA) Bakal Kena Dampak SWF?

Potensi yang dimaksud Ridha juga ditopang statistik penumpang Bandara Soekarno Hatta.

Rutin menjadi bandara paling sibuk di Indonesia dalam belasan tahun terakhir, Soekarno-Hatta adalah bandara di Indonesia dengan jumlah penumpang paling mendekati rapor Bandara Changi.

Meski tren di tahun-tahun sebelumnya relatif berjarak jauh, pada 2020 tekanan akibat pandemi Covid-19 nyatanya tetap membuat jumlah penumpang di bandara Soekarno Hatta tetap melebihi 10 juta. Mereka menjadi satu-satunya bandara yang tahun lalu punya penumpang total di atas 10 juta, dan berjarak paling dekat dari Changi yang mengalami pukulan telak. Akibat pandemi, penumpang Changi susut jadi 11,8 juta saja, jauh dari rapor 2019 yang mencapai 68,3 juta.

Jumlah Penumpang Soekarno Hatta vs Changi (dalam jutaan):

*Sumber: BPS dan Statista

Baca juga: SWF: Apa Dampaknya ke Saham 2021?

Potensi Soekarno-Hatta mendekati Changi juga sudah dapat dorongan pemerintah seiring dimulainya pembangunan terminal 4 sejak tahun lalu. Pembangunan terminal baru ini diproyeksi akan mengerek jumlah penumpang tahunan di kisaran 35-40 juta, guna menunjang target penumpang tahunan 100 juta yang ditargetkan Presiden Joko Widodo bakal terwujud pada 2025.

Di saat bersamaan, Changi yang saat ini sudah memiliki 4 terminal penerbangan mematok target 150 juta penumpang tahunan untuk jangka panjang. Hanya saja, target tersebut diproyeksikan baru terwujud seiring pembangunan terminal kelima yang direncanakan rampung pada 2030 mendatang. 

Sampai pembangunan terminal kelima itu terwujud, artinya, Soekarno-Hatta punya kans terbuka berada di kasta yang sama dengan Changi.
Namun, berada di kasta yang sama secara jumlah penumpang saja jelas tidak akan cukup. Terlepas dari potensi selisih jumlah penumpang yang kian terpangkas, rapor pendapatan Bandara Changi dan Soekarno-Hatta sejauh ini masih bagai langit dan bumi.

Mengacu laporan kinerja untuk periode fiskal 2019-2020 misal, Bandara Changi total mencatatkan pendapatan 3,11 miliar dolar Singapura, naik 2,5 persen secara year on year. Dengan asumsi kurs 1 dolar Singapura sama dengan Rp10.600, nominal ini setara dengan Rp32,96 triliun. 

Bandingkan, misal, dengan kinerja Bandara Soekarno-Hatta. Seturut laporan kinerja Angkasa Pura II, pada 2019 bandara ini mencatatkan pendapatan total sebelum eliminasi sebesar Rp9,3 triliun saja. (sumber: hal.585 di Laporan Tahunan).

Dengan asumsi kelak jumlah penumpang naik 3-4 kali lipat sesuai target jangka panjang pemerintah, jelas angkanya belum akan cukup menyaingi rapor Bandara Changi.

Seperti pernah disinggung Thanavutd dalam risetnya, tren pendapatan jumbo Changi lebih banyak ditopang segmen non-aeronautical alias segmen non-penerbangan. Dalam 10 tahun terakhir, kontribusi segmen ini rata-rata berada di kisaran 55 persen terhadap pendapatan total perusahaan. 

Artinya, dengan rapor tahun 2019 saja, segmen ini berkontribusi terhadap pundi-pundi pemasukan Changi hingga lebih dari Rp18 triliun.

Di saat yang sama, mengacu laporan Angkasa Pura pada 2019, pendapatan non-penerbangan Bandara Soekarno Hatta baru ada di kisaran Rp4,04 triliun. Angka ini cuma setara 43,4 persen pendapatan total, dan tak sampai 25 persen estimasi pendapatan non-penerbangan Changi pada periode yang sama.

Kini, dengan ambisi blak-blakan INA mengundang investor dan memompa pendapatan non-penerbangan Bandara Soekarno Hatta, patut dinanti seberapa mampu bandara andalan Indonesia ini membuktikan dirinya sebagai penantang Changi.