Dampak Laju Harga CPO Bagi Emiten Perkebunan (AALI, LSIP, TBLA)
[Waktu baca: 7 menit]
Kenaikan harga minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) tidak terbendung selama setahun terakhir. Pada awal tahun ini, laju kenaikan harga CPO bahkan kian kencang, menuju level 4.000 ringgit per ton.
Kenaikan harga CPO yang sangat pesat sepanjang tahun lalu telah mempertebal pundi-pundi keuntungan emiten-emiten yang bergerak di sektor perkebunan, khususnya perkebunan sawit. Mayoritas laba mereka meningkat cukup tinggi.
Adanya sinyal penguatan harga CPO pada awal tahun ini tentu memberi harapan kinerja emiten-emiten ini bakal makin kuat tahun ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kita akan membahas penyebab kenaikan harga CPO serta peluang kenaikan lanjutannya.
Selanjutnya, akan dibahas tentang potensi saham-saham emiten kebun tahun ini untuk menilai sejauh mana saham-saham ini layak dikoleksi.
Rekor Kenaikan Harga CPO
Kenaikan harga komoditas apapun ditentukan oleh prinsip ekonomi sederhana, yakni relasi permintaan dan penawaran. Harga akan naik jika permintaan meningkat, sedangkan penawaran berkurang. Hal yang sama terjadi di komoditas CPO.
Permintaan konsumen CPO meningkat cukup tinggi setahun terakhir, sedangkan produksinya cenderung terganggu akibat cuaca dan pandemi. Alhasil, ketidakseimbangan sempurna itu menyebabkan kenaikan harga tidak terbendung.
Selain itu, dinamika harga CPO juga tidak berdiri sendiri, melainkan erat berhubungan dengan komoditas lainnya yang terkait, seperti minyak mentah dan minyak nabati lainnya. Salah satu komoditas penghasil minyak nabati ini adalah kedelai.
Hubungan ini disebabkan karena minyak nabati kini menjadi bahan bakar alternatif pengganti minyak bumi. CPO sendiri saling bersubstitusi atau berkomplementer dengan minyak nabati lain sebagai bahan baku biofuel, seperti minyak kedelai, minyak kanola, dan minyak biji bunga matahari.
Oleh karena itu, pergerakan harga komoditas-komoditas ini akan saling terintegrasi dan cenderung bergerak beriringan
Mengapa harga CPO meningkat akhir-akhir ini?
Mari kita mulai dengan faktor cuaca. Tahun ini ditandai dengan fenomena cuaca La Nina. Fenomena ini menyebabkan curah hujan yang meningkat di kawasan Asia Tenggara, lokasi produksi utama CPO. Curah hujan juga meningkat di kawasan Amerika Selatan tempat produksi komoditas minyak nabati lainnya.
Curah hujan yang meningkat tinggi bahkan hingga 40% di atas curah hujan normal ini kerap kali bakal disertai dengan bencana hidrometeorologis, seperti banjir dan tanah longsor. Hal ini dapat mengganggu aktivitas panen, menghambat proses transportasi dan distribusi CPO, serta merusak stok.
Sementara itu, di Amerika Selatan dan Amerika Serikat, proses penanaman biji kedelai juga terganggu akibat tingginya curah hujan secara berkepanjangan. Secara umum, hal ini mengganggu pasokan minyak nabati dunia. Pasokan biji kedelai saat ini tidak mampu mengimbangi tingginya permintaan global. Alhasil, harga kedelai meningkat, harga CPO pun ikut terkerek.
Kondisi ini pun sudah mulai diantisipasi oleh sejumlah negara pengimpor minyak nabati sejak jauh-jauh hari, seperti China, Korea Selatan, dan India. Ada kekhawatiran pasokan CPO bakal terbatas seiring dengan puncak musim hujan tahun ini, sehingga mereka cenderung mengimpor CPO lebih banyak sejak tahun lalu.
Prospek pemulihan ekonomi China juga mendorong permintaan CPO meningkat sejak tahun lalu. Di sisi lain, kondisi pandemi menyebabkan aktivitas pertanian terganggu, sehingga pasokan hasil panen pun terganggu, termasuk CPO.
Penutupan batas-batas negara akibat pandemi juga menghambat alur keluar masuknya komoditas. Secara umum, faktor-faktor ini mengerek naik harga CPO sejak April 2020 lalu.
Bagaimana dengan awal tahun ini?
Fenomena La Nina belum sepenuhnya berakhir, sehingga efeknya terhadap harga CPO dan kedelai pun masih berlanjut. Sementara itu, harga CPO kembali dipanaskan oleh faktor peningkatan tensi geopolitik di Timur Tengah.
Awal pekan ini, pemberontak Houthi melakukan serangan ke jantung industri minyak Arab Saudi menggunakan drone. Salah satu yang disasar yakni fasilitas Saudi Aramco di Ras Tanura. Ini merupakan situs kilang minyak dan fasilitas pemuatan minyak lepas pantai terbesar dunia.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya harga minyak dunia. Pemerintah setempat juga meyakini serangan ini bertujuan untuk mengganggu stabilitas pasokan energi global. Adapun, selama sebulan terakhir harga minyak dunia sudah bergerak di atas US$60 per barel.
Naiknya harga minyak bakal turut mengerek produk substitusinya yakni minyak nabati, salah satunya yakni CPO.
Sementara itu, di dalam negeri, sentimen pendorong harga CPO antara lain berlanjutnya rencana pemerintah untuk kembali mengembangkan bahan bakar biodiesel B30 dan B40. Hal ini bakal mendorong permintaan CPO yang meningkat.
Selain itu, pasar CPO juga digairahkan oleh kabar lolosnya kesepakatan perdagangan bebas antara Indonesia dengan Swiss untuk ekspor kelapa sawit.
Semua faktor ini menjadikan harga CPO terus memanas dan kini menembus level 4.000 ringgit per ton, rekor tertinggi yang pernah dicapai oleh komoditas ini. Berikut ini data perkembangan harga CPO berdasarkan data grafik bulanan Investing.com per 8 Maret 2021:
Dari grafik tersebut, terlihat bahwa puncak harga CPO sebelumnya pernah dicapai masing-masing pada awal 2008 dan awal 2011, tetapi tidak sampai menembus level 4.000 ringgit per ton. Kini, harga CPO menembus level psikologisnya karena terlalu banyak sentimen pendorong kenaikan harganya.
Berikut ini perkembangan harga CPO berdasarkan data grafik harian Investing.com untuk setahun terakhir hingga 8 Maret 2021:
Pada grafik tersebut terlihat bahwa harga CPO cenderung konsisten meningkat selama setahun terakhir.
Lantas, apakah peningkatan ini akan terus konsisten?
Kenaikan harga CPO yang sangat pesat selama setahun terakhir, khususnya dalam 3 bulan pertama tahun ini, memang terlihat sangat berlebihan. Lagi pula, kenaikan harganya tidak semata-mata ditopang oleh fundamental bisnis CPO sendiri, tetapi karena dukungan faktor-faktor eksternal.
Secara teknikal, pergerakan harga CPO disulut oleh sentimen kenaikan harga minyak dunia dan kedelai, tidak semata-mata karena meningkatkan permintaan dunia terhadap produk olahan CPO. Oleh karena itu, hal ini rentan menimbulkan potensi koreksi harga di masa mendatang.
Jika penanaman kedelai mulai dilakukan lagi oleh negara-negara di benua Amerika dan efek konflik geopolitik Timur Tengah terhadap harga minyak bumi mendingin, harga CPO kemungkinan bakal terkoreksi.
Belum lagi jika euforia kenaikan harga CPO ini mendorong perusahaan-perusahaan perkebunan memacu produksi hingga akhirnya terjadi kelebihan pasokan di pasar. Jika hal itu terjadi, reli harga CPO kemungkinan akan melambat.
Emiten CPO Ketiban Berkah?
Jika menilik laporan keuangan sejumlah emiten perkebunan pada akhir 2020 lalu, terlihat bahwa kenaikan harga CPO berperan signifikan terhadap kinerja mereka di tengah pandemi. Mayoritas emiten-emiten ini berhasil membukukan kenaikan pendapatan dan laba, padahal kondisi ekonomi tengah resesi.
Beberapa emiten perkebunan, khususnya perkebunan sawit, telah merilis laporan keuangannya untuk periode akhir tahun 2020. Hasilnya, secara umum kinerja keuangan mereka sangat baik.
Beberapa emiten tersebut yakni PT Astra Agro Lestari Tbk. (AALI), PT Dharma Satya Nusantara Tbk. (DSNG), PT PP London Sumatra Indonesia Tbk. (LSIP), PT Salim Ivomas Pratama Tbk. (SIMP), dan PT Tunas Baru Lampung Tbk. (TBLA).
Berikut ini kinerja pendapatan dan laba masing-masing emiten tersebut:
Meskipun masih banyak emiten perkebunan lainnya yang belum merilis kinerja keuangan akhir tahun 2020 mereka, tetapi capaian yang dilaporkan oleh sejumlah emiten perkebunan ini sudah dapat menjadi cerminan kinerja industri perkebunan sawit secara umum.
Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa selain LSIP, semua emiten lainnya mencatatkan pertumbuhan pendapatan, kendati bervariasi. Sementara itu, dari sisi laba semua emiten berhasil mencatatkan kinerja yang mengesankan.
Pertumbuhan laba emiten-emiten ini bahkan mencapai ratusan persen, kecuali TBLA yang hanya meningkat tipis. Sementara itu, SIMP berhasil membalikkan kondisi rugi pada 2019 menjadi laba pada 2020.
TBLA juga menjadi satu-satunya emiten kebun yang margin keuntungannya menipis, sedangkan emiten-emiten lainnya menunjukkan peningkatan yang pesat.
Kenaikan kinerja emiten-emiten CPO ini tentu saja tidak terlepas dari kenaikan harga CPO yang sangat tinggi tahun lalu. DSNG misalnya, mencatatkan kenaikan harga jual rata-rata CPO mereka sebesar 26% yoy, dari Rp6,5 juta per ton pada 2019 menjadi Rp8,1 juta per ton pada 2020.
Dalam beberapa pemberitaan, manajemen emiten perkebunan juga percaya meskipun La Nina mengganggu proses panen dan pengiriman, fenomena ini juga bakal meningkatkan produksi tandan buah segar sawit tahun ini karena curah hujan yang tinggi, berbalik ketimbang El Nino pada 2019 yang kering.
Hanya saja, bisnis komoditas sawit ini secara umum memang sangat volatil karena penuh ketidakpastian. Oleh karena itu, pada umumnya emiten-emiten sawit ini masih bersikap hati-hati tahun ini, apalagi dampak pandemi belum sepenuhnya berakhir.
Kenaikan harga CPO di pasar global yang terus berlanjut tentu saja akan menjadi sentimen positif bagi emiten-emiten perkebunan ini. Namun, sentimen penopang kenaikan harganya yang tidak cukup solid menjadikan potensi pembalikkan arah harga selalu terbuka.
Harga CPO yang kini makin tinggi tentu akan mempertebal pundi-pundi laba emiten-emiten ini, sehingga wajar jika harganya akan terapresiasi. Meskipun demikian, investor harus selalu siap untuk mengantisipasi potensi pembalikkan arah pergerakan harga.
Sementara itu, harga saham emiten-emiten perkebunan ini juga belum cukup stabil akhir-akhir ini. Beberapa emiten justru masih terkoreksi harganya.
Berikut ini perbandingan kinerja saham emiten-emiten perkebunan hingga sesi pertama perdagangan hari Rabu (10 Maret 2021):
Jika melihat kinerja sahamnya yang belum sejalan dengan kinerja keuangannya, beberapa emiten perkebunan ini justru terlihat menarik untuk mulai dijajaki. Kamu berminat?
Date: