Bersiap Menuju Berakhirnya Pamor Minyak Bumi

Date:

[Waktu baca: 6 menit]

Laporan terbaru dari International Energy Agency (IEA) tentang prospek bisnis minyak bumi global yang dipublikasikan pada Rabu (17 Maret 2021) lalu memberikan gambaran yang cukup mengejutkan tentang masa depan permintaan minyak bumi global setelah pandemi.

Pandemi yang berlangsung sejak tahun lalu hingga tahun ini telah menekan perekonomian global dengan sangat dalam. Permintaan terhadap komoditas minyak bumi pun jatuh hingga ke titik terendah dalam sejarah, bahkan hingga mendorong pergerakan harga ke teritori negatif. Kami pernah mengulasnya dalam artikel: Harga Minyak Negatif, Artinya Apa?

Namun, setelah itu permintaan terhadap komoditas emas hitam ini pun perlahan mulai bangkit, seiring mulai membaiknya perekonomian dunia dan kembali dilonggarkannya karantina wilayah. Harga minyak dunia pun kembali bangkit. Pada tahun ini, tren peningkatan ini pun terus meningkat.

Hanya saja, kondisi beberapa waktu terakhir cukup berbeda. Harga minyak mulai terkoreksi selama beberapa hari secara berturut-turut.

Pagi ini, Jumat (19 Maret 2021) harga minyak global anjlok cukup dalam. Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Mei 2021 turun 6,9% atau US$4,72 menjadi US$63,28 per barel, sedangkan minyak mentah West Texas International (WTI) AS anjlok 7,1% atau US$4,60 menjadi US$60 per barel.

Pelemahan terus berlanjut bahkan setelah penutupan pasar. Faktor penyebabnya ditengarai karena peningkatan kasus Covid-19 di banyak negara Eropa sehingga mendorong beberapa negara kembali melakukan lockdown, misalnya Italia dan Polandia.

Selain itu, program vaksinasi melambat karena ada kekhawatiran tentang efek samping dari vaksin merek AstraZeneca yang didistribusikan secara luas di Eropa. Hal ini menyebabkan laju program vaksinasi bakal melambat, sehingga meredupkan optimisme pelaku pasar.

Pengiriman jutaan dosis suntik vaksin AstraZeneca dari India pun harus ditunda. Sejumlah negara Eropa pun menghentikan penggunaan suntikan AstraZeneca.

Baca juga: Kinerja BULL di Tengah Fluktuasi Harga Minyak

Jika lockdown berlanjut, artinya permintaan bahan bakar bakal tetap lemah. Jika vaksin melambat, artinya prospek pemulihan ekonomi pun akan lebih lama terwujud, sehingga normalisasi permintaan energi minyak bumi pun bakal melambat.

Sementara itu, pasokan minyak mentah di AS naik untuk empat minggu beruntun akibat cuaca dingin yang parah di Texas dan bagian tengah AS pada Februari lalu atau February Freeze. Hal itu memaksa penutupan kilang-kilang minyak di AS.

Persedian minyak mentah di AS naik 2,4 juta barel menjadi 500 juta barel pada pekan lalu, level tertinggi sejak Desember 2020. Hal ini mendorong tekanan jual yang cukup besar sehingga harga minyak terus melemah selama beberapa hari terakhir

Di tengah kondisi ini, laporan IEA memberikan gambaran yang cukup mengkhawatirkan tentang masa depan bisnis minyak bumi global. Menurut laporan tersebut, konsumsi minyak bumi global akan lama untuk pulih hingga bisa kembali seperti kondisi sebelum pandemi.

Pada 2019 lalu, konsumsi minyak global rata-rata mencapai 99,7 juta barel per hari, sedangkan pada 2020 turun menjadi 91 juta barel per hari. Pemulihan akan berjalan lambat dan diperkirakan baru pada 2023 nanti permintaan minyak akan mampu melebihi tingkat permintaan 2019.

Berikut ini proyeksi permintaan minyak global (juta barrel per hari) :

Namun, perlu menjadi catatan bahwa proyeksi tersebut didasarkan atas perkiraan terhadap pemulihan bertahap perekonomian global pascapandemi, di luar faktor-faktor luar biasa lain.

Proyeksi ini bahkan sudah lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya yang rata-rata lebih tinggi 2,5 juta barel per hari pada 2025.

Selain itu, khusus untuk negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), permintaan minyak diperkirakan tidak akan kembali ke level sebelum pandemi bahkan hingga 2026 nanti.

Anggota OECD ini mencakup negara-negara Amerika Utara, mayoritas Eropa, Australia, Turki, Israel, Chili, Jepang, dan Korea Selatan.

Sayangnya, ada faktor-faktor lain yang diperkirakan akan turut mengganggu prospek pemulihan dalam skenario ini, yang mungkin saja akan menghantar konsumsi minyak global tidak akan pernah lagi kembali seperti level 2019.

Setelah berakhirnya sentimen-sentimen sesaat seperti faktor musim dingin dan dinamika karantina wilayah oleh negara-negara dunia akibat kekhawatiran pandemi, bisnis minyak bumi global akan menghadapi tantangan yang lebih serius dan berpotensi bersifat permanen.

IEA melihat bahwa pandemi telah mendorong perubahan tren gaya hidup yang diperkirakan bakal berlanjut dan mengganggu permintaan minyak dunia.

Pandemi telah membiasakan orang-orang untuk bekerja dari rumah dan mengurangi perjalanan bisnis dan rekreasi. Jika tren baru yang dianggap sebagai kenormalan baru ini dipertahankan setelah pandemi, laju peningkatan kebutuhan energi minyak kemungkinan tidak akan tumbuh dengan cepat.

Selain itu, kini makin banyak negara-negara yang berkomitmen untuk beralih ke energi hijau dan mencari sumber energi baru terbarukan sebagai pengganti minyak bumi. Komitmen menuju energi bersih dan masa depan emisi rendah karbon ini terlihat kian serius saat ini.

Jika hal-hal ini dapat terealisasi dengan cepat, permintaan minyak global kemungkinan tidak akan pernah lagi kembali seperti ke level sebelum pandemi. Selisih terhadap permintaan minyak global dalam skenario normal seperti di tabel di atas diperkirakan akan lebih rendah 5,6 juta barel per hari pada 2026.

Skenario ini akan menjadi perhatian serius para investor minyak bumi di masa mendatang sehingga kemungkinan laju peningkatan aktivitas produksi dan pengembangan kapasitas baru akan melambat. Sebab, produksi baru berpotensi akan berakhir tidak terpakai atau idle.

Kalkulasi yang kurang matang terkait produksi ini kemungkinan akan mendorong risiko kekurangan pasokan di kemudian hari dan berimplikasi secara geopolitik.

Hanya saja, setelah kapasitas produksi melonggar akibat tekanan permintaan selama pandemi, kapasitas tersisa dari produsen saat ini tampaknya masih cukup memadai untuk mengimbangi risiko peningkatan permintaan itu.

Adapun, IEA juga menyusun proyeksi pasokan minyak global. IEA memperkirakan peningkatan pasokan minyak oleh negara-negara non-OPEC akan meningkat sekitar 4,5 juta barel per hari pada 2026 nanti dibanding kondisi 2020 lalu.

Berikut ini proyeksi pasokan minyak global (juta barel per hari):

Lantas, seberapa besar kemungkinan skenario bakal terjadi?

Berhubung pandemi belum berakhir dan tren bekerja dari rumah serta pembatasan aktivitas sosial pun masih dipertahankan, masih sukar untuk memperkirakan apakah tren ini akan berlanjut setelah pandemi benar-benar berakhir.

Namun, mengingat bahwa sebagian pihak kini sudah merasakan efektivitas bekerja dari jauh dan makin terbiasa mengandalkan teknologi digital untuk mengganti kehadiran fisik dan perjalan dinas, tren ini mungkin saja akan bertahan.

Selain itu, terkait transisi menuju sumber energi bersih, IEA sendiri memberikan catatan bahwa skenario ini bakal terjadi jika pemerintahan negara-negara bekerja dengan cepat untuk mendukung peralihan ini.

Hal ini antara lain mencakup adaptasi regulasi dengan segera, peningkatan standar efisiensi bahan bakar, peningkatan penjualan kendaraan listrik, dan eksplorasi sumber energi baru terbarukan dengan lebih cepat. Ini menuntut juga perubahan perilaku untuk mengurangi konsumsi energi berlebih.

Kemungkinan tersebut tampaknya cukup sulit terwujud, sebab ini merupakan bentuk peralihan besar yang tidak mudah untuk terjadi dalam waktu singkat. Beberapa sektor seperti industri penerbangan, perkapalan, dan petrokimia, tampaknya masih akan tetap bergantung pada energi minyak bumi.

Alternatif lain yang kemungkinan harus ditempuh untuk menuju komitmen rendah emisi karbon adalah pengembangan teknologi di kalangan perusahaan minyak dan gas untuk menekan tingkat emisi selama proses produksi.

Lantas, apa implikasinya untuk Indonesia?

Indonesia sendiri masuk dalam kelompok negara non-OECD yang diperkirakan permintaan minyaknya masih akan tetap meningkat dalam 5 tahun ke depan. IEA menghitung sekitar 90% dari nilai peningkatan permintaan minyak bumi pada 2019-2026 akan berasal dari Asia.

Kendati demikian, penurunan permintaan minyak secara global bakal berimbas pada rendahnya harga minyak. Hal ini akan menguntungkan bagi perkembangan ekonomi Indonesia yang masih sangat bergantung pada impor minyak bumi.

Sementara itu, di kalangan emiten, penurunan harga minyak tentu menjadi sentimen yang kurang menguntungkan bagi emiten-emiten yang berbisnis minyak bumi, seperti PT Elnusa Tbk. (ELSA), PT Medco Energi International Tbk. (MEDC), PT AKR Corporindo Tbk. (AKRA).

Namun, bagi beberapa emiten yang menggunakan minyak bumi sebagai bahan baku utama produksi mereka, pelemahan harga ini justru akan menguntungkan. Beberapa emiten itu misalnya PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. (TPIA), PT Barito Pacific Tbk. (BRPT), dan PT Panca Budi Idaman Tbk. (PBID).

Tags: