TBIG: Persaingan Ketat di Bisnis Menara
Dibandingkan dengan emiten lain dalam sektor penyewaan dan pemeliharaan Base Transceiver Station (BTS) atau biasa kita sebut tower sinyal, PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. (TBIG) mendapat atensi lebih banyak. Sebab, pergerakan sahamnya selama setahun terakhir sudah naik dua kali lipat.
Kita tidak bisa melepaskan isu perihal rencana pembangunan infrastruktur jaringan 5G di Indonesia. Mau tidak mau sentimen tersebut membuat saham TBIG ikut terkerek. Apalagi penyediaan menara telekomunikasi menjadi vital sebab arus data 5G membutuhkan frekuensi lebih padat ketimbang jaringan saat ini.
Belajar dari pengalaman membangun 4G/LTE, pengembangan jaringan 5G harus didukung oleh infrastruktur yang solid, terutama ketersediaan jumlah menara yang banyak. Oleh sebab itu, bisnis menara melesat dengan cepat sepanjang tahun ini.
TBIG sendiri sadar bahwa potensi untuk naik kelas terbuka lebar. Bak gayung bersambut, mereka tampak agresif untuk menjadi pemain utama dalam skena industri menara telekomunikasi. Terlihat dari cara mereka meningkatkan kapasitas bisnisnya, melalui akuisisi menara, pendirian menara baru, dan hingga melakukan efisiensi keuangan.
Sejalan dengan itu, belakangan, TBIG bersiap untuk menerbitkan obligasi sebesar 1,2 triliun rupiah dengan tingkat bunga tetap 4,25 persen per tahun dan tenor 370 hari, yang merupakan bagian dari Obligasi Berkelanjutan V Tower Bersama Infrastructure dengan total target dana Rp 15 triliun. Obligasi tahap I telah diperdagangkan pada Jumat 20 Agustus 2021 lalu.
Dana yang terkumpul akan diserahkan kepada anak perusahaan dari TBIG, yaitu PT Solusi Sindo Kreasi Pratama. Nantinya, pinjaman akan digunakan untuk pembayaran sebagian kewajiban keuangan terkait dengan pinjaman bergulir (revolving) senilai US$ 375 juta yang akan dibayarkan kepada para kreditur melalui United Overseas Bank Ltd. sebagai Agen. Selain itu, TBIG melalui anak usahanya berencana melakukan ekspansi untuk membiayai modal sewa lahan, pembelian material dan jasa kontraktor untuk pembangunan menara jangka panjang.
Namun, bagaimana kinerja TBIG setahun belakangan?
Kinerja Solid
Tower Bersama Infrastructure adalah salah satu dari sekian portofolio investasi milik Saratoga. Ya, perusahaan investasi aktif milik Sandiaga Uno. Saratoga memang jeli, sejak dibeli pada 2004, TBIG sudah menghasilkan cuan beratus-ratus kali lipat kepada Saratoga.
Secara akumulasi, per 30 Juni 2021, TBIG telah memiliki 37.232 penyewaan dan 19.709 sites telekomunikasi. Sites telekomunikasi milik TBIG terdiri dari 19.598 menara telekomunikasi dan 111 jaringan DAS. Dengan angka total penyewaan pada menara telekomunikasi sebanyak 37.121, maka rasio kolokasi (tenancy ratio) TBIG menjadi 1,89x. Rasio kolokasi adalah satuan jumlah penyewa menara telekomunikasi. Semakin tinggi nilainya maka sebuah perseroan akan mendapat untung lebih banyak dari margin operasional.
Sementara itu, dari sisi kinerja keuangan perusahaan, TBIG membukukan pertumbuhan yang signifikan. Berdasarkan laporan semester I tahun ini, perseroan mampu membukukan pendapatan sebesar 15,56% menjadi Rp 2,97 triliun. Angka ini jauh lebih baik jika dibandingkan raihan senilai Rp 2,57 triliun pada Semester I-2020.
Perusahaan juga mampu menaikan laba bersih periode berjalan menjadi Rp 689,83 miliar atau tumbuh 28,24% dibandingkan periode tahun sebelumnya. Kinerja bottom line TBIG juga tak kalah moncer, perseroan berhasil mencatatkan laba bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp 663,26 miliar atau naik 29,92% dibandingkan pada Juni 2020.
Jika dibandingkan dengan PT Sarana Menara Nusantara Tbk. (TOWR) milik Grup Djarum, TBIG bersaing ketat dalam memperebutkan pangsa pasar menara telekomunikasi nasional. Jika dilihat dari laba bersih, keduanya kompak mengalami kenaikan dibanding tahun sebelumnya.
Pada 2020, TBIG mencatatkan kenaikan laba bersih menjadi Rp 1,01 triliun dari Rp 819,45 miliar pada setahun sebelumnya. Sedangkan TOWR, mencatatkan kenaikan laba bersih untuk tahun 2020 menjadi Rp 2,83 triliun dari Rp 2.34 triliun pada setahun sebelumnya.
Sementara itu, jika mengukur pada sisi market cap, secara posisi, TOWR tergolong lebih baik dengan besaran Rp 69,63 triliun dibandingkan TBIG dengan nilai Rp 65,93 triliun. Meski dari sisi aset, TBIG lebih unggul dengan Rp 41,8 triliun sedangkan TOWR hanya Rp 34,6 triliun pada semester pertama tahun ini.
Dari sisi modal dan kewajiban, TBIG memiliki total ekuitas yang lebih kecil dengan nilai Rp 9,2 triliun, sementara TOWR lebih besar yakni Rp 10,6 triliun. Pada sisi liabilitas terlihat perbedaan yang cukup lebar TBIG memiliki Rp 32,6 triliun sedangkan TOWR sebesar Rp 24 triliun.
Performa ini sejalan dengan perbandingan utang terhadap ekuitas atau debt to equity ratio (DER) di antara kedua perusahaan. TOWR memiliki nilai yang lebih kecil hanya 2,27 kali. Sedangkan TBIG sebesar 3,54 kali pada semester tahun inii. Ini menunjukkan beban membayar utang jangka panjang terhadap modal yang dimiliki TOWR lebih baik dibandingkan TBIG.
Namun jika dicermati, DER TBIG mampu ditekan secara signifikan, jika di tahun 2018 masih bercokol di level 6,9 kali. Kita bisa melihat angkanya jauh lebih kecil pada akhir tahun lalu sebesar 2,9 kali.
Kemudian, TOWR dan TBIG sama-sama rajin mencatatkan pertumbuhan pendapatan tiap tahunnya. Nilainya berkisar 9-12 persen tiap tahunnya.
Sampai akhir semester I tahun ini, keduanya mencatatkan kinerja positif. TOWR unggul di sisi penjualan dan pendapatan kotor yang masing-masing Rp 3,97 triliun dan Rp 2,88 triliun. Sedangkan TBIG mencatatkan penjualan Rp 2,97 triliun dan pendapatan Rp 2,24 triliun.
Ada perbedaan dari sisi net income dan net profit margin. TOWR memiliki keuntungan lebih besar yakni Rp 1,68 triliun dan 42,54%. Berbeda dengan TBIG yang mencatatkan pendapatan bersih Rp 689 miliar dengan margin lebih kecil yakni 22,76%
Rasio kolokasi keduanya juga seimbang di angka 1,89 kali. Nilai TBIG turun dari yang sebelumnya 1,98 kali pada kuartal pertama tahun ini menjadi 1,89 imbas pembelian 3000 menara IBST. Sedangkan TOWR didongkrak akuisisi SUPR sebanyak 90%.
Beberapa data di atas menunjukkan bahwa secara kinerja operasional keduanya bersaing ketat.
Bersaing Ketat
Menilik data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) hingga kuartal kedua tahun 2020 lalu, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 196,7 juta jiwa atau 73,7% dari total populasi Indonesia sejumlah 266,9 juta penduduk. Sebuah angka yang sangat potensial untuk bisnis pengelolaan menara telekomunikasi. Apalagi, masih ada 70 juta orang yang belum terliterasi secara digital. Artinya, potensi untuk mengembangkan bisnis menara masih sangat terbuka.
APJII juga mencatat bahwa 97,1% masyarakat yang disurvei masih menggunakan layanan data via gawai masing-masing. Hal yang menarik, masih ada 12.543 desa yang belum memiliki akses broadband yang optimal serta 4.793 desa merupakan blank spot atau tak memiliki sinyal komunikasi sama sekali.
Peluang ini tentunya jadi opportunity besar bagi TBIG. Pada tahun ini TBIG menyiapkan Rp 2 triliun untuk capital expenditure yang bersumber dari kas internal dan pinjaman bank. Fokusnya adalah untuk menambah jumlah menara baru dan menaikan rasio kolokasi.
Lewat keterbukaan informasi yang dirilis pada Selasa (24/8/2021), TBIG akan mendapatkan dana segar lewat penerbitan surat utang alias obligasi. Dalam prospektus yang diunggah oleh manajemen, pokok keseluruhan obligasi akan dipatok maksimal US$900 juta atau sekitar 12,97 triliun dengan bunga obligasi maksimal sebesar 6% per tahun.
Jika melihat pesaing terdekatnya di bursa, TOWR memiliki skema yang berbeda. Emiten milik Grup Djarum akan mencari dana tambahan lewat penandatanganan fasilitas utang baru ke Bank CIMB Niaga.
Fasilitas yang ditekan mencapai angka Rp 1 triliun dengan tenor 4 tahun, yang akan diatribusikan kepada dua entitas anak usahanya yakni Protelindo dan Iforte. Skema ini bukan kali pertama dilakukan oleh TOWR. Sebelumnya, sejak awal tahun, perseroan juga telah menandatangani sejumlah fasilitas kredit baru maupun penarikan fasilitas lama dengan beberapa bank dengan jangka waktu pinjaman yang beragam mulai dari 1 tahun hingga 4 tahun, antara lain; Bank Permata, MUFG Bank, Bank Danamon, Bank HSBC Indonesia, Maybank Indonesia, hingga Bank Mizuho.
TBIG juga akan kedatangan Mitratel, perusahaan yang tergabung dalam Grup Telkom ini akan segera melakukan penawaran umum saham perdana (IPO). Mitratel juga menjadi pemilik menara paling banyak di antara keduanya, total ada 35.822 menara yang dioperasikan berdasarkan laporan akhir tahun 2020.
Yang menarik, Mitratel adalah satu-satunya perusahaan menara yang mempunyai sister company pengelola layanan telekomunikasi seluler yaitu Telkomsel dan Telkom yang memiliki layanan IndiHome dengan pangsa pasar internet Fixed-Broadband sebesar 80% dan dikabarkan sedang menjajaki potensi merger dengan ICON+, layanan internet dari PLN. Apalagi Telkom memenangkan lelang spektrum 5G.
Tentunya ini akan semakin mengetatkan bisnis menara telekomunikasi di Indonesia.
Jika melihat dari sisi konsumen. TOWR memiliki portofolio seperti PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) dengan sumbangan pendapatan kepada perusahan mencapai 15%, kemudian ada PT XL Axiata Tbk (EXCL) yang menyumbang 30%, PT Indosat Tbk (ISAT) dengan kontribusi 11%, dan yang paling besar adalah PT Hutchison 3 Indonesia (H3I) sebesar 32% pada tahun 2020.
TBIG sendiri memiliki klien yang hampir serupa, yaitu Telkomsel dengan kontribusi yang cukup signifikan sebesar 39,1%, selanjutnya Indosat menyumbang pendapatan kepada TBIG sebesar 21,5%, XL Axiata sejumlah 16,9%. Selanjutnya ada Smartfren dengan kontribusi 7,1% dan Hutchison 3 dengan 14,7%.
Secara valuasi nilai saham TBIG berada pada level Rp 2.910 pada penutupan perdagangan Senin (13/09/2021) dengan tren peningkatan senilai 66,68% sepanjang tahun alias year-to-date (ytd). Seiring dengan sentimen 5G, TOWR juga terdongkrak secara tahun berjalan dengan kenaikan mencapai 40,72% di harga Rp 1.365 pada penutupan kemarin.
Namun, apabila menelisik kemampuannya dalam sepekan terakhir. TBIG mengalami tren pelemahan sekitar 2,15 persen.
Yang jadi pertanyaan, mana yang lebih baik diantara keduanya? The answer is yours. TOWR memiliki price to earning ratio (PER) saham sekitar 21,15 kali dengan price to book value (PBV) senilai 6,5 kali. Sedangkan TBIG memiliki PBV sebesar 7,1 kali dengan PER 52.22 kali. Berdasarkan nilai tersebut keduanya sudah ‘cukup’ mahal.
Sebagai penutup. TBIG punya banyak PR untuk menjadi raja menara telekomunikasi nasional. Tak menutup kemungkinan bahwa persaingan harga akan menjadi penentu. Apalagi TBIG punya fokus untuk meningkatkan rasio penyewaan yang terlihat dari strateginya sepanjang tahun ini.
Harga penyewaaan akan sangat berpengaruh pada kinerja TBIG. Jika harga sewa turun maka pendapatannya otomatis terkerek.
Yang pasti, TBIG punya dua lawan yang secara matematis jauh lebih kuat. Namun, seiring dengan kehidupan yang berangsur pulih, kebiasan orang yang mulai bergantung pada layanan digital serta keseriusan pemerintah untuk menggarap teknologi 5G, prospek bisnis menara telekomunikasi masih menjanjikan.
Date: