Tantangan di Tengah "Mimpi Indah" Industri Keuangan Syariah
[Waktu baca: 5 menit]
Penduduk Indonesia memang banyak yang beragama Islam. Namun, bukan berarti industri keuangan syariah sudah lebih maju daripada industri keuangan konvensional.
Kendati masih relatif kecil dibandingkan dengan industri keuangan konvensional, industri keuangan syariah menunjukkan perkembangan yang lumayan progresif dalam beberapa tahun terakhir.
Progresivitas itu salah satunya ditandai dengan peningkatan jumlah aset yang kian besar dari waktu ke waktu. Otoritas Jasa Keuangan mencatat bahwa aset keuangan syariah meningkat hingga 23% pada 2020 dibandingkan dengan 2019.
Persentase kenaikan di tengah pandemi itu bahkan lebih tinggi daripada pertumbuhan 14% pada 2019. Pada 2018, menurut data OJK, aset industri keuangan syariah sekitar Rp1.287 triliun.
Ditilik lebih dalam lagi, salah satu indikator yang menunjukkan progresivitas perkembangan industri syariah adalah data kredit bank umum syariah. Pada 2020, pembiayaan bank umum syariah tumbuh 9,5% di tengah kontraksi kredit kredit bank umum konvensional sebesar 2,41%.
Tentu saja bukan hanya kredit bank syariah yang tumbuh. Dalam beberapa tahun terakhir, lini industri keuangan syariah yang lain seperti industri keuangan non-bank (asuransi, pembiayaan) serta pasar modal (saham, reksa dana, surat berharga) juga mengalami peningkatan.
Data itu juga menunjukkan ruang bertumbuh industri jasa keuangan syariah begitu besar di Indonesia mengingat fakta bahwa negara ini memiliki penduduk Muslim dengan mayoritas penduduk Muslim.
Pemerintah memiliki sejumlah target di bidang keuangan syariah ini. Dalam Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024, misalnya, pemerintah ingin adanya kenaikan pangsa pasar keuangan syariah menjadi 20% dari seluruh industri keuangan dalam 5 tahun (2019-2020).
Pada 2020, pangsa pasar tersebut telah mencapai 9,9% atau sesuai target pemerintah sebesar 9%. Sebelum mencapai 20% pada 2024, pemerintah menargetkan pangsa pasar itu terus bertumbuh menjadi 10% (2021), 15% (2022), 17.5% (2023) dan 20% (2024).
Di tengah "mimpi indah", industri keuangan syariah menghadapi sejumlah tantangan yang tidak mudah. Misalnya, soal eksklusivitas dan literasi keuangan syariah.
Inklusivitas Syariah
Pada awalnya dan dalam perkembangannya, produk syariah dikembangkan dan ditujukan untuk kalangan Muslim yang memiliki pandangan tertentu terhadap jasa keuangan.
Hal tersebut adalah sangat wajar karena produk keuangan syariah adalah produk industri jasa keuangan yang dikelola berdasarkan prinsip-prinsip syariat Islam, sesuatu yang berbeda dari produk keuangan konvensional.
Kendati dikelola berdasarkan prinsip agama Islam, bukan berarti produk keuangan syariah adalah produk eksklusif untuk umat Muslim. Produk keuangan ini, seperti sering disebut para pelaku industri dalam sejumlah kesempatan, adalah produk yang inklusif.
Artinya, produk ini tidak hanya dapat digunakan oleh umat Muslim, tapi juga oleh umat dari agama lain. Inklusivitas ini yang berusaha dibangun oleh pegiat industri jasa keuangan syariah dalam beberapa tahun terakhir.
Tidak kurang seorang Presiden Joko Widodo dalam suatu kesempatan juga mengingatkan bahwa kalangan non-Muslim juga harus dilayani sebagai nasabah bank syariah. Menurutnya, siapapun harus dilayani ketika hendak bertransaksi dan berinvestasi secara syariah.
Inklusivitas ini yang menjadi salah satu kunci berkembangnya industri keuangan syariah karena di kalangan Muslim pun tidak semuanya bersedia menjadi konsumen produk keuangan syariah. Sebagian Muslim beranggapan bahwa menjadi konsumen syariah bukanlah suatu keharusan apalagi kewajibannya sebagai Muslim.
Namun, membangun inklusivitas ini bukanlah sesuatu yang mudah mengingat "label" syariah itu tersendiri. Di satu sisi label syariah ini dapat menarik banyak peminat baru khususnya dari kalangan Muslim, di sisi lain label ini justru menjadi semacam "pembatas" bagi kalangan non-Muslim untuk menjadi konsumen produk ini.
Literasi Syariah
Selain soal inklusivitas, literasi keuangan syariah juga menjadi salah satu tantangan yang dihadapi oleh para pemangku kepentingan industri syariah. Salah satu contoh simpelnya, produk-produk syariah seringkali dijelaskan dalam berbagai istilah berbahasa Arab.
Bagi sebagian orang, istilah itu mudah dipahami. Namun, bagi sebagian orang lainnya bahkan yang beragama Islam, istilah-istilah itu sangat tidak mudah dipahami. Padahal, literasi adalah salah satu pintu masuk para konsumen baru dalam menggunakan produk industri keuangan syariah.
Dalam 3 tahun terakhir (2016-2019), perkembangan literasi syariah masih kalah tertinggal dibandingkan dengan literasi konvensional. Menurut data OJK, indeks literasi syariah sebesar 8,93% (2019) atau hanya naik 0,83% dibandingkan dengan 8,1% (2016).
Bandingkan dengan indeks literasi konvensional yang naik 7,7% menjadi 37,2% (2019) dari 29,5% (2016). Angka-angka tersebut menunjukkan PR besar dalam peningkatan literasi keuangan syariah di Indonesia.
Seperti dikutip dari riset Promoting Islamic Financial Ecosystem to Improve Halal Industry Performance in Indonesia: A Demand and Supply Analysis
yang dirangkum dalam Laporan Perkembangan Keuangan Syariah Indonesia (2019), literasi, sikap, dan kesadaran atas keuangan syariah sangat mempengaruhi niat pelaku industri halal dalam menggunakan produk keuangan syariah.
Selain itu, menurut riset tersebut, norma subyektif yaitu persepsi seseorang mengenai keuangan syariah secara signifikan mempengaruhi literasi, sikap dan kesadaran atas keuangan syariah. Di samping itu, religiusitas tidak secara signifikan mempengaruhi sikap terhadap produk keuangan syariah.
Selain tantangan literasi syariah dan inklusivitas ini, tentu saja industri keuangan syariah menghadapi berbagai tantangan lainnya, mulai dari edukasi, sertifikasi, kualitas pendidikan tinggi dan sebagainya.
Namun, melihat perkembangan dalam beberapa tahun terakhir, termasuk upaya pemerintah dan pelaku industri mengembangkan industri ini, rasanya tidak berlebihan jika kita lebih optimis terhadap "nasib" industri keuangan syariah Indonesia di masa depan.
Date: