Transformasi Digital Tak Bertaji dan Kejatuhan Saham MAYA
PT Bank Mayapada Internasional Tbk. tampaknya menjadi salah satu bank yang gagal memanfaatkan momentum euforia bank digital untuk mendorong kenaikan harga sahamnya. Alih-alih meningkat, saham emiten berkode MAYA ini malah sudah anjlok lebih dari 80% secara year-to-date (YtD).
Saham MAYA sempat naik hingga terkena auto rejection atas (ARA) pada 22 Juli 2021 lalu sebesar 24,46% ke level Rp2.010. Namun, rupanya itu adalah ARA terakhir saham MAYA sekaligus menjadi hari terakhir saham MAYA menyentuh level Rp2.000, sebab setelahnya saham MAYA justru terus memerah.
Padahal, saham MAYA sebelumnya sempat menyentuh level Rp6.225 pada 10 Maret 2021. Saham MAYA terus melemah setelah menyentuh level tersebut. Level terendah yang sempat dicapai MAYA yakni Rp695 pada 7 Oktober 2021 lalu.
Akhir-akhir ini, terutama sepekan terakhir, saham MAYA cenderung kembali menghijau. Pada sesi pertama perdagangan hari ini, Kamis (28 Oktober 2021), saham MAYA memang turun lagi 3,68% dari hari sebelumnya ke level Rp785, tetapi sudah meningkat selama 4 hari berturut-turut sebelumnya.
Dengan level harga terbaru itu, saham MAYA tercatat sudah turun 82,88% YtD. Namun, jika dibandingkan dengan level harga tertingginya yakni Rp6.225, saham MAYA sudah turun 87,4%. Ini jelas penurunan yang sangat tajam. Apa yang sebenarnya terjadi pada MAYA?
Bermula dari Tekanan Pandemi
Bank Mayapada cukup banyak mendapatkan sorotan tahun lalu, terutama karena kondisi pandemi disinyalir menyebabkan kondisi likuiditas di bank tersebut mengalami pengetatan. Selain itu, perseroan terindikasi melanggar batas minimum penyaluran kredit (BMPK).
Perseroan menyalurkan kredit Rp23,56 triliun kepada empat grup konglomerasi besar, hampir separuh dari total kredit perseroan kala itu yang senilai Rp56 triliun. Meskipun perseroan menegaskan sudah menyelesaikan persoalan itu, nasabah terlanjur panik dan melakukan penarikan dana dari MAYA.
Pada paruh pertama 2020, dana pihak ketiga (DPK) MAYA turun menjadi Rp62,6 triliun dari sebelumnya Rp77 triliun pada akhir 2019.
Memang benar, posisi rasio kredit berbanding DPK atau loan to deposit ratio (LDR) MAYA saat itu masih longgar, yakni 89,4%. Namun, pelonggaran LDR ini terjadi terutama karena kredit perseroan juga turun tajam dari Rp72 triliun pada akhir 2019 menjadi tinggal Rp56 triliun.
Jadi, kondisi bisnis MAYA jelas sedang tidak sehat. Alhasil, banyak nasabah khawatir bank ini bakal gagal dan dana mereka tersangkut dan tidak bisa ditarik. Kepanikan nasabah tersebut cukup mengancam keberlangsungan bisnis MAYA saat itu.
Meskipun demikian, perseroan masih berhasil melewati periode berat tersebut. Kala itu, MAYA dikabarkan akan berganti pengendali dari Dato’ Sri Tahir ke Cathay Life Insurance Co Ltd. Cathay sendiri sudah memiliki saham MAYA sekitar 37,33%.
Keluarga Dato’ Sri Tahir sendiri memiliki MAYA melalui kepemilikan pribadi Dato’ Sri Tahir sebesar 4,79%, melalui PT Mayapada Karunia sebesar 26,42%, PT Mayapada Kasih 3,30%, dan Jonathan Tahir 2,08%. Kala itu, Tahir mengatakan tidak keberatan pengendali MAYA beralih, asalkan banknya sehat.
Saat itu, Cathay juga dikabarkan sudah menyelesaikan proses due diligence untuk melakukan suntikan modal pada MAYA sekaligus menjadi pemegang saham pengendali yang baru, kendati belum ada kesepakatan tentang target peningkatan kepemilikan sahamnya pada MAYA.
Sebelumnya, Keluarga Tahir juga sudah bersiap untuk ikut serta dalam penambahan modal pada MAYA. Per Juli 2020, Tahir sudah menempatkan dana di MAYA senilai Rp1 triliun, yakni Rp252,09 miliar pada 28 April 2020 dan Rp750 miliar pada 1 Juli 2020.
Nantinya, dana itu akan dikonversi menjadi saham saat rights issue. Selanjutnya, Tahir juga menjual tiga aset gedungnya kepada MAYA. Selama ini, ketiga gedung tersebut disewa oleh MAYA untuk kantornya, sehingga penjualan ini menjadikan MAYA memiliki langsung gedung itu dan menghemat biaya sewa.
Nilai pembelian ketiga gedung tersebut mencapai Rp3,5 triliun. Nah, dana yang diterima Tahir dari MAYA tersebut selanjutnya disetorkan kembali oleh Tahir sebagai penempatan dana pada MAYA.
Dengan demikian, total penempatan dana untuk MAYA dari Tahir yang siap dikonversikan menjadi saham mencapai Rp4,5 triliun. Namun, rights issue berupa Penawaran Umum Terbatas (PUT) XIII yang diagendakan untuk konversi tersebut tertunda hingga 2021.
Adapun, kondisi pandemi benar-benar menekan bisnis MAYA, sehingga upaya penambahan modal itu menjadi perlu.
Kinerja MAYA sepanjang 2020 tertekan cukup dalam. Pada akhir 2020, kreditnya turun 21,7% YoY menjadi Rp56,3 triliun, sedangkan DPK turun 6% YoY menjadi Rp72,3 triliun. DPK tertolong karena adanya penempatan dana Tahir tersebut.
Seiring dengan turunnya kredit, pendapatan bunga anjlok 42% YoY menjadi tinggal Rp5,2 triliun dari sebelumnya Rp8,9 triliun pada 2019. Sementara itu, laba bersih terjun bebas -87,9% YoY menjadi tinggal Rp64 miliar dari sebelumnya Rp528 miliar pada 2019.
Di luar dampak dari kondisi pandemi, secara umum kinerja keuangan MAYA memang cenderung melemah beberapa tahun terakhir. Pada 2016, labanya bahkan sempat mencapai Rp820 miliar, padahal asetnya hanya Rp60,8 triliun. Namun, di tahun-tahun selanjutnya, labanya terus menurun.
Berikut ini historis kinerja keuangan MAYA:
Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya kondisi MAYA sedang tidak begitu sehat bahkan sebelum pandemi terjadi. Kondisi pandemi akhirnya makin memperburuk keadaan.
Bagaimana Tahun Ini?
Tekanan bisnis masih membayangi MAYA tahun ini. Apalagi, penurunan kinerja pada 2020 lalu terjadi cukup parah. Pada awal tahun ini, kesibukan utama MAYA adalah membereskan agenda rights issue yang tertunda sejak tahun lalu.
Sayangnya, komitmen Cathay untuk menjadi pengendali baru MAYA tak jelas rimbanya, sedangkan perseroan sudah membutuhkan tambahan modal demi mengamankan likuiditas. Belakangan, MAYA justru mengumumkan kehadiran investor baru dalam aksi rights issue yang tuntas awal tahun ini.
Investor baru tersebut yakni Liang Xian Limited, perusahaan investasi yang berada dalam hukum British Virgin Island (BVI). Perusahaan ini mengambil alih hak rights issue dari pemegang saham lainnya yang tidak menebus haknya, termasuk Cathay.
Perusahaan itu akhirnya memiliki 12,39% saham MAYA, sedangkan Mayapada Karunia tinggal 29,89%, Cathay 21,25%, Galasco Investments Limited 12,67%, Unity Rise Limited 7,31%, Masyarakat 16,22%, dan Dato’ Sri Tahir 4,79%.
Liang Xian Limited membeli 1,47 miliar saham MAYA di harga hanya Rp400 per saham. Dengan demikian, total modal yang disetornya mencapai Rp596,41 miliar. Adapun, total dana yang diterima MAYA dari rights issue tersebut mencapai Rp1,99 triliun. Transaksi rampung pada akhir Maret 2021.
Aksi korporasi itu pun akhirnya tidak mengubah posisi pengendali utama atas MAYA. Dato’ Sri Tahir masih tetap menjadi pemegang saham pengendali terakhir (PSPT) atas MAYA. Menariknya, setelah aksi korporasi itu, saham MAYA justru terus gugur.
Patut diperhatikan bahwa harga rights issue MAYA hanya Rp400, sedangkan harga saham di pasar kala itu ada di kisaran Rp5.000-an. Artinya, Liang Xian Limited memperoleh saham MAYA di harga yang sangat terdiskon.
Kondisi ini tampaknya tidak begitu disukai oleh pemegang saham MAYA, terutama Cathay. Apalagi, Cathay gagal menjadi pengendali baru MAYA. Alhasil, perusahaan tersebut tercatat berkali-kali menjual sahamnya di MAYA sepanjang tahun ini. Aksi tersebut disinyalir menjadi salah satu penyebab utama rontoknya saham MAYA.
Cathay mulai menjual saham MAYA sejak April 2021. Perusahaan itu menjual saham MAYA hampir setiap hari, antara 26.000 lembar hingga 486.300 lembar. Pada Mei 2021, Cathay menjual MAYA di 10 hari perdagangan mulai dari 61.100 lembar hingga 998.400 lembar.
Aksi serupa terus berlanjut di bulan-bulan selanjutnya. Sepanjang September 2021, Cathay menjual saham MAYA selama 14 hari. Total kepemilikannya turun dari 21,09% menjadi 20,77%. Pada Oktober 2021, aksi itu masih berlanjut. Saham Cathay kini tinggal 20,41%.
Sementara itu, menanggapi gejolak saham MAYA, Dato’ Sri Tahir mengaku tidak mengetahui penyebabnya, demikian juga manajemen MAYA. Menurut mereka, pergerakan saham MAYA sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar.
MAYA sendiri tidak memiliki informasi signifikan yang dinilai bisa mempengaruhi pergerakan saham yang sedemikian itu. Meskipun demikian, perseroan mengakui bahwa akan ada aksi korporasi lanjutan dalam waktu dekat.
Kendati perseroan enggan mengungkapkan perinciannya, tetapi sinyalnya yakni berupa penambahan modal kembali.
Di sisi lain, dari sisi kinerja keuangan, MAYA masih tertekan pada paruh pertama tahun ini. Kinerja kreditnya masih turun 1,13% YtD menjadi Rp55,66 triliun, tetapi DPK perseroan naik tajam 24,6% YtD menjadi Rp90,2 triliun.
Perseroan berhasil meningkatkan pendapatan bunga sebesar 17,58% YoY menjadi Rp2,99 triliun, tetapi laba bersihnya turun tajam 57,67% YoY dari Rp143,6 miliar pada paruh pertama 2020 menjadi Rp60,77 miliar pada periode yang sama tahun ini. Hal ini terutama karena naiknya beban operasional perseroan.
Di luar kinerja keuangannya, perseroan juga menyampaikan sejumlah inisiatif, terutama di bidang perbankan digital. Namun, informasi tersebut tampaknya tidak cukup kuat untuk mengerek kinerja sahamnya seperti bank-bank lain yang juga menjual isu digitalisasi ini.
Perseroan mempersiapkan belanja modal Rp200 miliar tahun ini untuk memperkuat teknologi informasi. MAYA juga menegaskan bahwa bank ini bakal mengarah ke pengembangan produk digital. Perseroan juga berencana untuk mengembangkan super app, sama seperti bank-bank besar lainnya.
Selain itu, perseroan juga memperluas kemitraan dengan pemain digital, khususnya fintech untuk membantu menyalurkan kredit. Namun, semua informasi ini tampaknya tak cukup untuk menggerakkan sahamnya.
Tampaknya, saham MAYA baru akan kembali bergerak meningkat jika Cathay menghentikan aksi jualnya, sebab hal itu memberikan sinyal buruk bagi pasar.
Date: