Skandal Bre-X: Panggung Sandiwara Dunia Pertambangan (Bagian Pertama)
“Ini sangat besar. Ini menakutkan. Anjing! Ini hal yang besar!”
John Felderhof, seorang geolog asal Kanada, menyerukan kalimat tersebut terkait penemuannya di cebakan emas Busang, Kalimantan Timur. Dari serangkaian penggalian dan eksplorasi di kawasan tersebut dalam rentang 1993-1997, ia menyebut secara sekiranya terdapat sumber daya emas sebesar 70,9 juta troy ounce ekuivalen 2,17 metrik ton.
Felderhof memang berpengalaman di bidang pertambangan mineral. Reputasinya mulai moncer ketika pada 1968, saat usianya baru 28 tahun, ia menemukan potensi galian emas dan perak di kawasan Ok Tedi, Papua Nugini. Kelak, terbukti Ok Tedi menjadi salah satu penyimpan cadangan emas terbesar dunia yang dikelola oleh Broken Hill, Pty, Co. Ltd.
Prestasi di Ok Tedi menjadi alat jualan utama Felderhof kepada para investor, termasuk David Walsh—pialang saham dari Kanada, yang langsung jatuh hati padanya saat mereka pertama kali bertemu pada 1983. Pertemuan tersebut terjadi karena Peter Howe, seorang pemilik perusahaan tambang yang saat itu mempekerjakan Felderhof untuk eksplorasi di Kalimantan.
Sejak awal bertemu, Felderhof menceritakan potensi ekonomi dari emas di Busang kepada Walsh. Namun, kala itu Felderhof belum mampu menyebut secara pasti kandungan emas di Busang. Ia hanya menyebut bahwa di Kalimantan termasuk Busang, berdasarkan teori termutakhir tentang pertambangan mineral dan aktivitasnya menelusuri wilayah tersebut, mempunyai cadangan emas.
Rupanya, cerita itu terus terngiang di benak Walsh. Ia berusaha menemui Felderhof lagi setelah mendirikan Bre-X Mineral, Ltd pada 1989 yang berkantor pusat di Calgary, Kanada. Perusahaan pertambangan ini menjadi anak usaha dari Bresea Resource, Ltd, perusahaan milik Walsh sebelumnya.
Upaya Walsh menemui Felderhof terutama setelah Bre-X tersuruk akibat kegagalan penambangan di kawasan Yellow Knife. Ia gagal menarik minat investor untuk membiayai eksplorasi. Saham Bre-X yang tercatat di Elberta Stock Exchange, Calgary, anjlok. Pada 1992, bahkan sempat tercatat hanya seharga dua sen.
Mimpi Walsh menjadi orang kaya sedang di ujung tanduk saat itu. Keuangannya terpuruk dan tak mampu membayar utang. Gaji istrinya, Janette, yang bekerja sebagai sekretaris sebesar 20 ribu dolar Kanada dalam setahun, tak mampu menutup utangnya. Mereka kemudian menyatakan bangkrut dengan utang di 15 kartu kredit dengan nilai sebesar 59.500 dolar Kanada.
Dengan sisa uang sebesar 10 ribu dolar Kanada, Walsh terbang ke Jakarta pada Maret 1993. Ia berusaha menemukan Felderhof dengan harapan mampu mewujudkan iming-iming cebakan emas Busang dan mengubah nasibnya. Setelah lebih kurang seminggu mencari, akhirnya ia bertemu Felderhof.
Pertemuan mereka terjadi di Hotel Sari Pacific, Jakarta. Felderhof tak sendirian dalam pertemuan itu. Ia mengajak rekannya seorang geolog asal Filipina bernama Michael de Guzman yang juga berpengalaman melakukan eksplorasi di kawasan Kalimantan.
Kisah Guzman nantinya akan menjadi satu babak yang membuat skandal ini kian misterius. Bahkan misteri menyangkut Guzman belum terungkap sampai jauh hari setelah publik mengetahui duduk perkara skandal ini melalui hasil liputan investigatif banyak jurnalis dari seluruh dunia.
Salah satu jurnalis tersebut adalah Bondan Winarno yang kemudian membukukan liputannya dengan judul Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi dan menjadi salah satu bahan utama tulisan ini. Bahan lain dari hasil liputan lain yang antara lain dimuat di The Globe and Mail, Business Insider, dan Calgary Herald.
Ternyata bukan hanya Walsh yang sangat mengharapkan pertemuan tersebut. Felderhof dan Guzman pun demikian. Mereka sedang terkatung-katung tanpa pekerjaan. Kedatangan Walsh dan segala rencana yang akan mereka lakukan bersama bagaikan kapal penyelamat bagi Felderhof dan Guzman.
Makan malam di Hotel Sari Pacific itu berjalan dalam suasana yang karib. Seolah mereka adalah sahabat lama yang dalam beberapa tahun ke depan bakal mengguncang dunia. Felderhof mempresentasikan lagi soal potensi emas di perut Kalimantan dan menyarankan Walsh meninjau langsung. Meminjam kalimat Bondan, sebuah aliansi terbentuk malam itu.
Walsh meninjau ke Kalimantan beberapa hari kemudian. Selama dua belas hari, ia bersama Felderhof keluar masuk hutan Kalimantan, termasuk di Busang. Tiga bulan usai perjalanan ini, ia sudah membeli Montague Gold, NL yang telah mengeksplorasi Busang antara 1987-1989 atas saran dari Felderhof.
“Saya tahu pasti ada mineralisasi di sana,” kata Felderhof kepada Walsh usai kunjungan ke Kalimantan terkait potensi Busang.
Montague berkedudukan di Perth, Australia. Perusahaan ini membawahi beberapa anak usaha, salah satunya Westralian Resources Project Ltd (WRP). Sementara, WRP punya kongsi usaha bernama PT Westralian Atan Minerals (WAM) dengan PT Sungai Atan Perdana dan PT Krueng Gasui. WRP memegang 80% saham dalam kongsi itu. Sisa saham dibagi rata untuk dua perusahaan lain.
Saham PT Sungai Atan Perdana dimiliki tiga orang: Jusuf Merukh—politikus dan anggota DPR dari PDI Perjuangan (32%), H Syakerani (32%), dan Gerry Mbatemooy (12%). PT Krueng Gasui sepenuhnya dimiliki Jusuf Merukh, yang bakalan menjadi orang terkaya versi Forbes di tahun 2000-an.
WAM memegang Kontrak Karya Generasi IV untuk Proyek Busang I. Dengan diakuisisinya Montague oleh Bre-X, maka saham mayoritas WAM menjadi milik Walsh. Melalui sebuah surat tertanggal 3 Agustus 1993, Bre-X mengambil alih pengerjaan Proyek Busang I.
Walsh yang lahir dan tumbuh sebagai pialang saham mengembuskan kabar Proyek Busang I ke pasar. Dalam kurun setahun, Bre-X sudah mengantongi 1 juta dolar Kanada untuk mendanai proyek ini. Paragraf pertama catatan hitam bagi industri pertambangan Indonesia dan dunia baru saja ditulis.
Berebut Saham Bre-X dan Proyek Busang
Robert Lomban, seorang pemuda Dayak, menunggu dengan sabar butiran emas yang bisa diperolehnya dari ayakan pasir di tangannya. Ia adalah satu dari banyak penambang emas tradisional yang masih berharap harta karun di dalam perut Busang.
“Lihat! Ini ada emas,” kata Lomban kepada wartawan Calgary Herald yang menemuinya pada 2007 lalu.
Harapan yang sama kuatnya dengan Lomban juga ditunjukkan ribuan investor Bre-X pada masa jayanya, perusahaan pesaing, dan pemerintah Indonesia. Mereka ingin turut menikmati untung dari isi perut Busang. Bahkan jika itu harus melalui jalur kolusi seperti nanti dilakukan pemerintah Indonesia dan Barrick Gold Company.
Setelah eksplorasi Proyek Busang berjalan, Bre-X secara berkala mengumumkan temuan demi temuannya dari ratusan lubang galian. Setiap pengumuman potensi emas baru, saham Bre-X terkerek naik. Saat mengumumkan potensi emas sebesar 3 juta ounce pada Mei 1995, saham perusahaan ini mencapai 2,5 dolar Kanada. Menanjak dari yang semula hanya seharga sepersekian sen.
Dua bulan setelahnya, Felderhof mengumumkan penemuan diaterma maar yang selama ini hanya menjadi teori dalam kepala mereka. Felderhof menuliskan temuannya ini dalam sebuah makalah berjudul Diaterma Maar-Kubah: Cebakan Emas Busang, Kalimantan Timur, Indonesia. Temuan inilah yang disebutnya mengandung puluhan juta ounce emas dan salah satu terbesar di dunia.
Harga saham Bre-X terus menanjak setelahnya. Dalam hitungan hari sudah mencapai 14,90 dolar Kanada per lembar. Lalu, meningkat menjadi 20 dolar Kanada per lembar usai perusahaan pialang saham asal Kanda, Pacific International Securities Inc, mengakumulasikan penemuan Bre-X bisa mencapai 8 juta ounce emas pada Desember 1995. Perusahaan ini sudah mulai memperdagangkan saham Bre-X pada Agustus 1994.
Titik puncak saham Bre-X adalah pada pertengahan 1996. Harganya mencapai 200 dolar Kanada per lembar seiring potensi cebakan emas Busang yang disebut telah lebih dari 40 juta ounce. Hal ini menciptakan jutawan-jutawan baru di Kanada. Khususnya Walsh dan Felderhof.
Saat pemerintah Indonesia membatalkan Surat Izin Penelitian Pendahuluan (SIPP) pada 15 Agustus 1996 yang menghalangi Bre-X mendapatkan Kontrak Karya baru untuk Proyek Busang II dan III, misalnya, Walsh berhasil mengantongi 35 juta dolar Kanada dari menjual sebagian sahamnya. Sementara Falderhof meraup 47,7 juta dolar Kanada dari hasil penjualan sebagian sahamnya.
Tak ketinggalan, pada waktu itu Guzman yang menjadi kompatriot mereka berdua dalam Proyek Busang mengantongi 4,2 juta dolar Amerika Serikat dari penjualan sebagian sahamnya. Kapal Bre-X benar-benar telah membawa Walsh, Felderhof, dan Guzman ke pelabuhan kemewahan.
Bondan Winarno menulis, Walsh membeli properti jutaan dolar di Nassau, Kepulauan Bahama dan pelbagai hal mewah lainnya. Felderhof membeli sebuah mansion dan tanah yang luas di Cayman Island, Kepulauan Karibea. Sementara Guzman membeli banyak properti berharga milyaran rupiah di Indonesia, tempat dua istrinya berada.
Ada gula, ada semut. Kiranya pepatah lama itu sangat pas untuk menggambarkan yang terjadi setelahnya. Jusuf Merukh yang memiliki saham pada Proyek Busang I menggugat Bre-X melalui surat bertanggal 2 Juli 1996 karena mengajukan Kontrak Karya baru untuk Proyek Busang II dan III. Dalam surat berkop kantor pengacara Soebagjo, Roosdiono, Jatim & Djarot itu, tertulis bahwa tindakan Bre-X merupakan pelanggaran atas kewajiban sebagai mitra perusahaan patungan dan pengelola Kontrak Karya wilayah Muara Atan.
Sebetulnya Merukh tak punya dasar hukum yang kuat dalam gugatan tersebut. Ia dan perusahaannya hanya pemilik saham minoritas dalam usaha patungan tersebut. Tak ada peraturan tertulis pula yang melarang pengajuan aplikasi Kontrak Karya baru oleh Bre-X. Tak ayal langkah Merukh tersebut di kemudian hari disebut sebagai pertunjukan sirkus belaka dan membuat kebobrokan di masa lalu justru diungkap media massa.
Beberapa waktu setelahnya, giliran Barrick Gold Company mengajukan surat kepada Menteri Pertambangan dan Energi, IB Sudjana. Surat ini diajukan Airlangga Hartarto yang mengaku mewakili Barrick melalui kantor pengacara Dermawan & Co. Isinya dugaan pelanggaran Pasal 29 ayat (2) Kontrak Karya.
Barrick adalah perusahaan pertambangan emas terbesar ketiga di dunia milik Peter Munk yang berbasis di Kanada. Semula perusahaan ini menarik minat Walsh untuk menjadi rekan investasi untuk Proyek Busang I. Namun, tak terjadi kesepakatan di antara mereka.
Penemuan diaterma maar membuat Barrick kembali tertarik dan menawarkan skema investasi kepada Bre-X. Namun, Walsh yang sudah kaya raya menganggap nilai investasi Barrick terlalu receh. Walsh yang telah terlanjur merasa terhina oleh sikap Munk, pun membalasnya dengan menolak tawaran tersebut. Perseteruan lantas terjadi antara dua taipan ini.
Keputusan Barrick menggunakan tangan Airlangga tepat. Ia adalah putra Ir Hartarto yang saat itu menjabat Menteri Koordinator Produksi dan Distribusi. Membuat surat tersebut mendapat perhatian khusus dari Sudjana dan berujung pada pembatalan SIPP Bre-X untuk Proyek Busang II dan III.
Ditambah lagi, Barrick sempat mengirim utusan kepada Presiden Soeharto untuk memberikan surat dari mantan Presiden AS George Bush dan mantan Perdana Menteri Kanada Brian Mulroney. Kedua tokoh penting itu menjadi dewan penasihat di Barrick. Isi surat tersebut saran agar mengikutsertakan Barrick dalam Kontrak Karya Proyek Busang II dan III.
Dua anak Presiden Soeharto, Sigit Harjojudanto dan Siti Hardijanti Rukmana pun tergoda dengan manisnya Proyek Busang. Mereka turut berusaha terlibat di dalamnya. Tak ketinggalan Mohammad Hasan atau karib disapa Bob Hasan dan PT Freeport Indonesia.
Sigit melalui anak usahanya bernama PT Panutan Duta berhasil sepakat dengan Bre-X untuk terlibat dalam Proyek Busang II dan III. Perusahaan ini akan memperoleh 10% saham Bre-X di kedua proyek tersebut. Sementara, Siti Hardijanti berada di sisi Barrick.
Bob Hasan yang kerap disebut sebagai wakil presiden de facto tersebut tak ketinggalan manuver. Ia bicara langsung empat mata dengan Presiden Soeharto untuk melibatkan Freeport dalam Proyek Busang II dan III. Selain itu, ia juga mengakuisisi sedikit saham PT Askatindo Karya Mineral dan PT Amsya Lina yang nantinya masing-masing akan memegang Kontrak Karya Proyek Busang II dan III. Sigit pun punya saham di Amsya Lina.
Hasil dari senarai kemelut ini adalah kemenangan bagi “tuan tanah” dan kroninya. Pada Maret 1997, Menteri Sudjana mengumumkan konsorsium pemegang Kontrak Karya Proyek Busang sebagai berikut:
Barrick yang ngotot terlibat dalam Proyek Busang II dan III dan sempat mendapat angin segar dari Menteri Sudjana, akhirnya gigit jari. Meskipun, bisa juga berarti ketidakikutsertaan perusahaan Peter Munk sebagai berkah bila melihat ujung dari skandal ini.
Sebaliknya, keikutsertaan pemerintah Indonesia yang semula dianggap bisa menguntungkan, justru akan menyisakan comeng di muka sendiri nantinya. Dunia internasional pun jadi tahu betapa serakahnya kroni-kroni Soeharto dan tidak profesionalnya pemerintah dalam menangani bisnis pertambangan.
Lanjut ke bagian berikutnya untuk meneruskan bahan bacaaan: Skandal Bre-X: Berebut Kuasa di Tanah Borneo (Bagian Kedua)
________________________________________________
Tulisan ini adalah bagian dari serial #SkandalEkonomi dan akan terbit setiap akhir pekan.
Semua orang berhak mendapatkan akses informasi keuangan. Kami bertujuan untuk terus menyampaikan informasi tanpa adanya potensi konflik kepentingan. Menganalisa sebuah isu agar mudah dipahami dan mengapa hal tersebut penting. Kontribusi dari kamu memastikan kami untuk tetap independen serta terus memproduksi konten secara inklusif. Jika kamu suka dengan tulisan ini, kamu bisa traktir kami satu gelas kopi yang biasa kamu beli.
Date: