Sinyal Kuat Prospek LPPF di Balik Langkah Investasi Grup Lippo
Grup Lippo tahun ini melakukan sejumlah langkah strategis dalam keputusan investasinya pada emiten-emiten dalam grupnya. Salah satu langkah tersebut yakni pada PT Matahari Department Store Tbk. atau LPPF yang dilakukan oleh Auric Digital Retail Pte. Ltd.
Auric Digital Retail resmi menjadi pengendali emiten ritel tersebut sejak 14 Juli 2021 lalu dengan kepemilikan mencapai 32% setelah melakukan voluntary tender offer (VOT) kepada seluruh pemegang saham LPPF, termasuk publik. VOT berlangsung pada 4 Juni hingga 3 Juli tahun ini.
Namun, semula perusahaan ini mengungkapkan rencana untuk mengincar kepemilikan hingga 50,12%. Perusahaan tersebut melakukan VTO kepada pemegang saham LPPF maksimal hingga 1,05 miliar yang mewakili 40% dari total saham LPPF. Harga penawaran tender kala itu adalah Rp1.530 per saham.
Rencananya, setelah VTO tuntas, Auric Digital juga bakal membeli 139,82 juta saham LPPF dari Greater Universal Ltd dan 125,97 juta saham dari OUE Investment Pte Ltd. Jumlah saham tersebut mewakili 10,12% dari seluruh saham LPPF. Jadi, totalnya 50,12%.
Kini, PT Multipolar Tbk. (MLPL), yakni perusahaan holding investasi Grup Lippo yang semula adalah pengendali LPPF harus menyerahkan status pengendali itu kepada Auric Digital, sebab MLPL hanya memiliki 19,42% saham LPPF.
Adapun, sisa saham LPPF saat ini dimiliki oleh College Retirement Equities Fund 5,95%, masyarakat 40,57%, dan saham treasury 2,04%.
Sebelum VOT oleh Auric Digital, saham LPPF dimiliki oleh banyak pemegang saham lain dengan kepemilikan di atas 5%. Mereka adalah Multipolar 19,42%, UBS AG Singapore S/A Greater Universal Ltd 5,32%, dan UBS AG Singapore Non-Treaty 5,07%.
Pemegang saham lain yakni SSB C21 S/A College Retirement Equities Fund 5,42%, UOB Kayhian Pte Ltd 6,02%, dan Phillip Securities Pte Ltd 6,19%. Sementara itu, investor publik tercatat memiliki 52,55% saham LPPF.
Dengan demikian, terlihat bahwa langkah VOT oleh Auric Digital tidak mengurangi kepemilikan Multipolar. Di sisi lain, langkah ini juga justru memperkuat kendali Grup Lippo atas LPPF, sebab Auric mengambil alih kepemilikan saham LPPF dari banyak pemegang saham besar lain, termasuk publik.
Adapun, Auric Digital tidak lain adalah perusahaan yang juga terafiliasi dengan Grup Lippo. Hanya saja, perusahaan ini didirikan di Singapura berdasarkan hukum negara tersebut.
Auric merupakan perusahaan yang bergerak khusus di bidang investasi. Perusahaan ini dikendalikan secara tidak langsung oleh Stephen Riady dan menantunya yakni Andy Adhiwana. Adapun, Stephen Riady adalah salah satu putra pendiri Grup Lippo, Mochtar Riady.
Alur kepemilikannya yakni sebagai berikut. Sebanyak 60% saham Auric Digital dikuasai oleh Auric Bespoke I Pte Ltd, dan 40% sisanya dimiliki OUE Retail Holdings Pte Ltd. Nah, Auric Bespoke dimiliki secara langsung oleh Auric Capital Holdings Ltd. Fka. Acme Vision International Ltd (BVI).
Sementara itu, Auric Capital Holding dikendalikan secara tidak langsung oleh Stephen Riady dan Andy Adhiwana. Perusahaan ini secara tidak langsung dimiliki oleh Lippo China Resources Ltd. yang tercatat di Bursa Efek Hong Kong.
Jadi, aksi investasi ini hanya menggeser kepemilikan Lippo Group dari kantong kiri ke kantong kanan. Namun, mengingat Auric Digital juga mengambil alih saham banyak pemegang saham non-Lippo lainnya, langkah ini menegaskan keseriusan Lippo untuk mengendalikan LPPF.
Jika dihitung, dengan harga tender sukarela VOT sebesar Rp1.530 per saham, total dana yang dikucurkan Auric untuk membeli saham LPPF hingga 32% mencapai Rp1,29 triliun.
Lantas, adakah rencana strategis Lippo Group pada LPPF sehingga grup ini berusaha memperkuat kendalinya?
Rencana Pengembangan Strategis
Sayangnya, belum ada informasi yang cukup konkret terkait rencana Auric Digital terhadap LPPF. Dalam surat keterangan LPPF kepada Bursa Efek Indonesia terkait perubahan pengendalian saham perseroan, manajemen LPPF mengaku belum mengetahui rencana dari Auric Digital atas LPPF.
Meskipun demikian, perseroan berharap masuknya Auric Digital bakal membantu perseroan untuk memperbaharui strategi pengembangan bisnis dengan memanfaatkan pengetahuan sektoral yang mendalam dan wawasan strategisnya, serta mengidentifikasi dan melaksanakan serangkaian prakarsa yang konkret. Sejauh ini pun belum ada perubahan signifikan pada proses bisnis perseroan.
Perseroan juga tidak melihat adanya urgensi atau keharusan untuk mengubah rencana bisnis, kegiatan operasi, dan keuangan dalam 3 tahun ke depan akibat adanya pergantian pengendali ini. Meskipun demikian, perseroan mengakui bahwa LPPF akan lebih serius memanfaatkan teknologi digital untuk bertumbuh.
Terlepas dari itu, LPPF sendiri tampaknya cukup mampu untuk mempertahankan kinerjanya, bahkan membalikkan keadaan dari semula rugi sepanjang 2020 lalu menjadi berbalik laba pada tahun ini. Jika diamati trennya dalam satu dekade terakhir, kinerja pendapatannya pun cenderung terus bertumbuh.
Hanya saja, tampaknya kinerja laba perseroan mulai tertekan sejak 2017 lalu. Laba perseroan sempat mencapai titik tertingginya yakni sebesar Rp2 triliun pada 2016 lalu sebelum mengalami penurunan pada 2017-2018. Pada 2019 ada peningkatan yang signifikan, tetapi segera anjlok pada 2020 akibat pandemi.
Berikut ini historis kinerja keuangan LPPF (dalam Rp juta):
Kinerja laba perseroan pada paruh pertama tahun ini mencerminkan peningkatan yang signifikan. Hal ini terutama jika diukur dari sisi margin laba bersihnya atau net profit margin (NPM). Dengan capaian laba bersih senilai Rp532 miliar, NPM LPPF mencapai 14,9%.
Capaian NPM tersebut adalah yang tertinggi sejak 2017. Namun, NPM ini belum setinggi capaian pada periode 2013-2017 yang konsisten di atas 17%, bahkan mencapai 20,4% pada 2016 lalu. Meskipun demikian, peningkatan NPM ini tentu adalah kabar baik bagi LPPF.
Capaian laba yang cukup tinggi tahun ini pun mencerminkan kemampuan perseroan untuk mencetak laba di tengah kondisi pandemi yang belum berakhir. Hal ini membuktikan kemampuan perseroan untuk bertahan dalam situasi sulit sekaligus mencerminkan kuatnya brand perseroan di benak konsumen.
Hal ini menjadi kekuatan utama perseroan. Brand Matahari hingga kini masih dianggap sebagai gerai ritel fesyen dengan produk berkualitas dan harga yang relatif terjangkau.
Lippo juga memiliki jaringan properti ritel berupa pusat perbelanjaan yang menempatkan Matahari sebagai anchor tenant dan menjadikan sinergi antarbisnisnya jauh lebih kuat. Hal ini menjadikan prospek Matahari secara jangka panjang pun cukup menjanjikan.
Di sisi lain, Matahari juga tampaknya belum berhenti untuk melakukan ekspansi gerai. Pada paruh kedua tahun ini, perseroan menargetkan dapat membuka sedikitnya dua gerai baru. Namun, jumlah gerai perseroan secara total memang tidak lagi setinggi dulu.
Pada prinsipnya, perseroan melakukan penataan ulang wilayah operasional agar produktivitasnya menjadi lebih tinggi. Dengan demikian, strategi penempatan lokasi gerai pun ditata ulang agar dapat berkinerja lebih optimal.
Pada 2019 lalu, Matahari mempunyai 169 gerai dengan luas 1 juta m2. Namun, kondisi pandemi yang memukul bisnis perseroan menyebabkan jumlah gerai perseroan turun hingga tinggal 147 gerai pada 2020. Hingga September 2021 lalu, total gerai perseroan tinggal 145 unit dengan luas 939.627 m2.
Langkah buka dan tutup gerai adalah hal biasa bagi emiten ritel. Perusahaan secara berkesinambungan mengevaluasi kinerja tiap gerai. Gerai yang tidak berkinerja optimal tentu lebih baik jika ditutup daripada dipertahankan operasinya dan malah meningkatkan kerugian.
Selama masa pengetatan PPKM pada pertengahan tahun ini, perseroan juga banyak melakukan penutupan gerai secara sementara. Namun, segera setelah PPKM diperlonggar, gerai-gerai tersebut mulai dibuka secara bertahap. Kinerja perseroan pun perlahan normal kembali.
Selain dari sisi gerai, perseroan juga melakukan evaluasi atas sejumlah brand atau mode fesyen yang dijualnya. Brand atau mode yang berkinerja buruk dihentikan penjualannya dan diganti dengan yang baru.
Di sisi lain, perseroan juga mulai meningkatkan kehadirannya di e-commerce sehingga akses masyarakat terhadap produk-produk yang dipasarkan perseroan pun makin luas. Hal ini menjadi masa depan bagi bisnis ritel Matahari.
Dengan semua strategi itu, perseroan berhasil mencetak kinerja yang baik pada paruh pertama tahun ini. Artinya, strategi tersebut cukup tepat untuk kondisi saat ini. Langkah perseroan untuk masuk ke ranah penjualan digital juga memastikan kesinambungan bisnisnya dalam jangka panjang.
Lippo Group tampaknya mengamati peluang tersebut sehingga berusaha memantapkan posisinya di emiten ini. Manajemen LPPF bahkan memutuskan untuk melakukan buyback atas sahamnya di pasar dengan alokasi dana Rp450 miliar pada Agustus 2021 lalu. Target saham yang dibeli kembali mencapai 15%.
Hal itu menunjukkan tingginya kepercayaan perseroan terhadap prospek bisnisnya dan berkepentingan untuk meningkatkan valuasinya di pasar. Perseroan memandang saat ini harga sahamnya dinilai terlalu murah oleh pasar sehingga aksi buyback diharapkan dapat meningkatkan lagi valuasinya.
Adapun, saham LPPF sepanjang tahun ini berada dalam tren bullish. Hingga Selasa (19 Oktober 2021), saham LPPF sudah ada di level Rp2.910 per saham, melonjak 128,24% secara year-to-date (YtD). Lonjakan tertingginya memang terjadi pada Agustus 2021 lalu sejak aksi buyback dimulai.
Namun, sebagai pengingat, saham LPPF sempat mencapai level Rp7.550 pada awal 2019 lalu, bahkan Rp21.500 pada pertengahan 2016 lalu. Jika dibandingkan dengan level harga tersebut, saham LPPF memang sudah anjlok sangat dalam.
Berdasarkan data RTI, price to earning ratio (PER) LPPF saat ini hanya 7,18 kali. Bandingkan misalnya dengan pesaingnya seperti PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk. (RALS) yang PER-nya mencapai 19,82 kali.
Langkah strategis investasi Grup Lippo yang tengah memantapkan posisinya di LPPF bisa jadi memberikan sinyal kuat bahwa ada rencana besar yang dipersiapkan perseroan untuk emiten ritelnya ini. Meskipun sekarang belum diungkapkan, investor tampaknya sudah mulai ancang-ancang mengambil posisi, sehingga saham LPPF kembali menguat akhir-akhir ini.
Date: