Setelah Setahun Pandemi: Mengintip Pekerjaan Pemerintah (Bagian 3 dari 3 Tulisan)

Date:

Artikel ini adalah bagian kedua dari tiga artikel yang membahas perkembangan pasar modal dan ekonomi setelah satu tahun pandemi corona di Indonesia pada awal 2021. Simak bagian pertama: Setelah Setahun Pandemi, Siapkah Pasar Saham Bangkit Lagi? dan bagian kedua: Setelah Setahun Pandemi: Ekonomi Membaik atau Tidak?

[Waktu baca: 6 menit]

Baru pertengahan pekan ini pemerintah menyampaikan proyeksinya terhadap perekonomian Indonesia sepanjang kuartal pertama 2021. Rentang -1 hingga -0,1 adalah angka Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang dipatok Menteri Keuangan Sri Mulyani. 

Angka tersebut ditanggapi dengan pro dan kontra oleh para ekonom. Ada yang menilai proyeksi Sri Mulyani wajar, ada pula yang menilai pemerintah terlampau optimistis. 

Mari kesampingkan dulu perdebatan tersebut. Fakta bahwa pemerintah sekalipun masih memproyeksi perekonomian Indonesia saat ini dalam kondisi kontraksi merupakan bukti bahwa situasi belum benar-benar kondusif.

Selain masalah kasus Covid-19 aktif yang masih bertumpuk, lemahnya daya beli masyarakat masih jadi soal.

Memang, kinerja pemerintah tidak bisa sepenuhnya dikatakan buruk. Toh di tengah berbagai sorotan, Sri Mulyani masih diganjar berbagai penghargaan.

Pada Oktober 2020 misal, Menkeu dinobatkan sebagai Menteri Keuangan terbaik Asia Timur Pasifik Tahun 2020 oleh Majalah Global Market. Dalam pernyataannya Global Market menjelaskan bahwa pertimbangan besar terpilihnya Sri Mulyani “sangat dipengaruhi kebijakan-kebijakan fiskal yang solid selama pandemi.”

Secara konsep dan program, pemerintah memang telah menggagas ide dengan maksimal. Berbagai kebijakan dan insentif berupaya dikucurkan dengan pertimbangan yang matang.

Kemenkeu mengucurkan stimulus pertama pada Februari 2020 sebesar Rp8,5 triliun untuk mendorong belanja padat karya, yang kemudian disusul tambahan stimulus tahap 2 sebesar Rp22,5 triliun untuk menopang daya beli masyarakat.

Pengujung Maret, belum sebulan dari temuan kasus positif Covid-19 pertama, stimulus tahap ketiga dianggarkan dengan nominal fantastis Rp405,1 triliun. Seiring berjalannya waktu, pemerintah kemudian bahkan menyempurnakan lagi nominal ini jadi Rp695,2 triliun.

Nominal akhir pada tahap ketiga inilah yang kemudian kita kenal dengan sebutan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Anggaran untuk PEN tersebut telah disahkan disahkan lewat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020.

Walau secara teori bagus, praktik masih jadi soal. Realisasi yang belum berjalan maksimal adalah hambatan terbesar yang belum mampu dikalahkan pemerintah hingga akhir tahun.

Anggaran dan Realisasi PEN 2020 (dalam triliun) per 31 Desember 2020

Sumber: Antara

Bila melihat tabel di atas, insentif usaha dan biaya kesehatan menjadi dua pos anggaran yang realisasinya belum berjalan efektif. Realisasi anggaran biaya kesehatan baru 63,8 persen dan insentif usaha bahkan hanya 46,5 persen.

Dua realisasi belum optimal adalah penjelasan sederhana mengapa saat ini Indonesia masih punya dua masalah besar terkait pandemi, yakni: 1) kasus aktif Covid-19 di Indonesia belum berkurang drastis kendati vaksinasi sudah berjalan agresif, dan 2) mengapa daya beli masyarakat masih rendah.
Kasus Aktif Masih Tinggi

Masalah pertama, terkait kasus yang masih tinggi, tidak bisa dilepaskan dari biaya kesehatan yang tidak terserap optimal.

Realisasi Biaya Kesehatan dalam PEN 2020

Untuk insentif nakes misal, pemerintah baru merealisasikan Rp9,55 triliun dan masih punya tunggakan sebesar Rp3,39 triliun. Artinya, masih ada sekitar 26,19 persen dari keseluruhan nakes yang belum terbayarkan insentifnya.

Kondisi tersebut patut mendapat perhatian mengingat nakes merupakan ujung tombak pertama untuk mengurangi penularan kasus. Apalagi, tingginya tunggakan tersebut diselimuti duka jumlah korban nakes meninggal yang besar. Bergugurannya nakes punya peranan penting menggoyang upaya penekanan jumlah kasus.

Mengacu laporan Kompas, sejak pandemi Covid-19, Indonesia menjadi negara dengan jumlah kematian nakes terbanyak Asia akibat Covid-19, yakni 647 jiwa. 

Bukan berarti kucuran insentif yang tepat waktu bisa menjamin nakes tidak berguguran. Namun, dengan treatment yang lebih baik pada tenaga kesehatan, setidaknya pemerintah bisa melakukan upaya preventif pertama untuk menjamin kesiapan mental para tenaga medis dalam menjaga pasien.

Aspek lain yang tampak masih kurang adalah realisasi bantuan JKN berikut alokasi anggaran yang. Realisasinya bantuan iuran JKN per akhir tahun lalu baru Rp4,11 triliun. Di tengah pandemi Covid-19, adanya tanggungan iuran jaminan sosial jelas menjadi aspek yang krusial untuk menekan persebaran kasus, khususnya di kalangan perekonomian menengah ke bawah.

Per Kamis (25/3) kemarin jumlah kasus aktif Covid-19 di Indonesia masih berada di angka 125.279 kasus. Angka ini patut disayangkan karena meningkat 1.000 kasus lebih dibanding sehari sebelumnya. Padahal, sebelumnya jumlah kasus aktif sempat membukukan penurunan 5 hari berturut-turut.

Penting bagi pemerintah untuk menjamin agar angka tersebut tak terus bertambah.

Kasus Aktif Covid-19 Sepekan Terakhir

 

Daya Beli Rendah

Kemudian terkait hal kedua, yakni daya beli yang masih rendah, realisasi insentif usaha yang masih minim juga patut digarisbawahi. Sebenarnya, daya beli masyarakat per pengujung tahun lalu sudah relatif membaik bila dibandingkan pada saat awal pandemi.

Indonesia sempat mengalami deflasi selama tiga kuartal beruntun, yakni kuartal pertama hingga ketiga 2020. Kepala BPS Suhariyanto pernah menyinggung bahwa deflasi tiga bulan beruntun merupakan pertanda daya beli masyarakat lemah.

Namun, pada kuartal IV, Indonesia sudah mampu mencatatkan inflasi kuartal ke kuartal sebesar 0,79 persen.

Kondisi membaik tersebut, lagi-lagi tidak bisa dilepaskan dari agresifnya realisasi bantuan perlindungan sosial dan bantuan UMKM yang hampir 100 persen.

Akan tetapi, patut digarisbawahi bahwa meski inflasi kuartal ke kuartal Indonesia lebih baik, inflasi inti masih rendah yakni di kisaran 0,04 persen. Iniflasi inti biasanya lebih menggambarkan interaksi permintaan-penawaran lebih akurat. Artinya, daya beli masyarakat Indonesia masih tetap rendah meski membaik.

Absennya realisasi investasi usaha yang efektif bisa jadi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi.

Insentif pada program tersebut, yang banyak penyasar ke pemotongan pajak, memang tak punya peranan langsung terhadap konsumen. Namun, dengan keberadaan insentif ini, pengaruhnya ke daya beli jelas ada.

Pengucuran insentif pajak bakal membantu sektor usaha untuk menjaga kondisi keuangan mereka. Kondisi keuangan yang baik, pada akhirnya, bakal membuat hal-hal yang cenderung tak diinginkan seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa diminimalisir.

Insentif Usaha

Sumber: Antara

Adapun menurut data Kementerian Keuangan per Desember 2020, pandemi Covid-19 membuat peningkatan pengangguran sebanyak 2,67 juta orang. Secara total, pemerintah memperkirakan jumlah pengangguran sudah mencapai 9,77 juta orang. 

Bagaimana Berikutnya?

Untuk tahun 2021, setidaknya per akhir Februari lalu anggaran PEN yang telah disepakati pemerintah berada pada kisaran Rp699,43 triliun atau nyaris Rp700 triliun.

Jumlah anggaran yang meningkat sekitar 21 persen dari realisasi tahun lalu tersebut patut diapresiasi. Yang kemudian jadi hal dilematis, realisasi di lapangan sejauh ini belum istimewa-istimewa amat.

Per akhir Februari 2021, realisasi PEN tahun ini baru mencapai Rp76,59 triliun atau 10,9 persen.

Anggaran PEN 2020

Sumber: Antara

Dari distribusi tabel di atas, agresivitas penyaluran dalam program perlindungan sosial (16,5 persen) dan insentif usaha (12,2 persen) mengindikasikan bahwa pemerintah sudah berbenah.

Menimbang pentingnya perlindungan sosial, dan fakta bahwa realisasi insentif usaha tahun lalu adalah yang paling kecil, itikad pemerintah memperbaiki kekurangan sudah tampak jelas.

Realisasi di atas rata-rata pada program sektor UMKM juga menjadi pertanda bagus. Dampak program ini untuk perbaikan daya beli telah terbukti pada kuartal IV tahun lalu, dan andai realisasi sektor ini berjalan mulus sampai akhir tahun bukan mustahil target pemerintah untuk mencatatkan pertumbuhan ekonomi di atas 4 persen pada akhir tahun bisa tercapai.

Yang kini perlu dipikirakan adalah agar bagaimana realisasi pagu kesehatan dan program prioritas bisa sejalan.

Tahun ini anggaran kesehatan memang jadi sektor yang naik paling drastis yakni 77,18 persen. Tepatnya dari nominal Rp99,5 triliun pada PEN tahun lalu jadi Rp176,3 triliun.

Kementerian Kesehatan, yang jadi penanggung jawab utama sektor ini, sempat menjelaskan kenaikan anggaran didorong oleh proyeksi anggaran untuk vaksinasi dan pengadaan alat tes PCR Swab.

Namun, bagaimanapun terealisasi atau tidaknya visi tersebut tergantung apakah pemerintah berhasil mengamankan pasokan dosis vaksin dari perusahaan-perusahaan kesehatan. Sejauh ini baru pesanan vaksin dari Sinovac yang telah terjamin keberlanjutannya.
Program prioritas, yang merupakan sektor baru pada tahun ini, juga tidak kalah penting.

Mengacu paparan Sri Mulyani, program-program prioritas yang bakal didanai dengan duit Rp122,42 triliun tersebut meliputi pariwisata, ketahanan pangan, pengembangan ICT, pinjaman ke daerah dan subsidi ke daerah, padat karya kementerian dan lembaga, hingga pembangunan kawasan industri.

Artinya, penyerapan untuk pagu tersebut bakal cenderung terjadi di akhir—ketika angka kasus sudah menurun dan ekonomi sudah pulih. Di sinilah letak krusialnya, sebab artinya waktu efektif penggunaan anggaran ini cenderung lebih singkat dibanding pagu-pagu lain.

Ibarat makanan, program kesehatan adalah hidangan pembuka sementara program prioritas adalah hidangan pencuci mulut.