Tentang Budaya Utang Perusahaan Plat Merah

Date:

Elizabeth Harmon atau Beth, tokoh fiksi dalam film The Queen’s Gambit memiliki pembawaan dingin dan selalu berpikir rasional. Meski ia punya kepribadian yang kacau: pemalas, pemurung, adiksi pada minuman keras dan obat-obatan terlarang. Namun, Beth selalu terjaga sebelum tidur, memikirkan strategi apa yang cocok untuk setiap bidak dan lawan mainnya.

Berisikan tujuh episode, The Queen’s Gambit mengisahkan kehidupan pecatur perempuan tahun 1960 yang punya ambisi menjadi pecatur terbaik dunia. Hadir dengan alur yang pesimistis dan penuh ketegangan, Scott Frank berhasil menyulap catur sebagai permainan yang teknokratis menjadi lebih dekat dengan keseharian manusia. 

Mungkin dalam bayangan para ekonom, Beth adalah titik balik bagaimana menjelaskan sebuah konsep ekonomi secara sederhana. Utang tak ayal seperti catur, sebagai kata, dia populer tapi syarat akan miskonsepsi. Kita misalnya, kerap terkejut bagaimana kelompok penagih utang (debt collector) bertindak. Ada masalah etika moral ketika melihat pendekatan yang dilakukan. Padahal, kita sadar kalau tidak ada magic solution tentang utang. Sederhananya, Anda meminjam dan harus bayar. 

Menjelaskan utang individu barangkali lebih cepat dimengerti, tapi bagaimana utang korporasi? 

Kita bisa mulai dengan analogi anatomi manusia untuk menjelaskan perihal utang korporasi. Tubuh manusia yang tadinya baik-baik saja bisa drop seketika akibat pola hidup yang tidak sehat. Misalnya, mengkonsumsi es saat cuaca sedang dingin dapat mengakibatkan flu dan sakit kepala yang ujungnya tidak bisa menjalani aktivitas seperti biasa. 

Utang korporasi pun demikian, anggap saja sebuah pinjaman adalah suplemen untuk tubuh agar lebih energetik dan mampu menjalani aktivitas yang lebih lama dari biasanya. Tentu saja ada batas toleransi sejauh mana tubuh kita mampu menerima suplemen tersebut. Jika terus dipaksakan, maka tubuh akan menolak reaksi dari suplemen, alhasil terjadi gangguan yang mungkin menyebabkan tubuh manusia menjadi sakit. Laju pompa jantung yang tidak teratur, serangan jantung hingga pembekuan pembuluh darah.

Selayaknya suplemen pada tubuh, saat perseroan tidak wise spending maka akan berujung pada krisis keuangan.Jika pembiayaan yang dilakukan tidak kunjung mendatangkan laba, persero akan mengalami risiko gagal bayar utang berjangka dan mendapat skenario paling buruk, yaitu bailout. Menjaga tubuh untuk tetap bugar memang sulit, sama halnya menjaga kewarasan untuk sadar bahwa utang sebaiknya tidak menjadi bom waktu di masa depan. 

Sebagai korporasi plat merah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi salah satu kreditur terbesar di tanah air. Pasalnya, mereka punya tugas tersendiri sebagai korporasi milik negara. Ia adalah bandul untuk akselerasi pembangunan. Kewajiban lain yang tak tersirat ialah BUMN harus memfasilitasi setiap kebijakan pemerintah — membangun infrastruktur dan meminjamkan kredit dengan bunga rendah — singkatnya, BUMN adalah kepanjangan tangan pemerintah untuk mengatur perekonomian. 

Mereka “dipaksa” hadir di berbagai sektor untuk mewujudkan kredo membantu program pemerintah dan seolah - olah menjadi amanat bagi BUMN. 

Contohnya saat krisis keuangan tahun 1998. Presiden Soeharto saat menandatangani letter of intent pinjaman siaga (standby loan) dari IMF sebesar 43 miliar dollar dengan gamblang bilang kalau BUMN bisa menjadi alat tukar guling pemerintah untuk membayar utang. 

Kata-kata Soeharto membekas dan menjadi cikal bakal BUMN dikelola secara korporasi untuk mendapatkan profit dan membayar utang negara. Dibalik itu semua, BUMN juga memiliki kesempatan untuk mengajukan pinjaman demi memperluas jangkauan pasar dan menjalankan program pemerintah. 

Lebih-lebih BUMN punya beberapa keistimewaan. Sumber pendanaan dari APBN dan kepastian memenangkan proyek adalah satu dari sekian alasan mereka mudah untuk dapat pinjaman. Hal ini menjadikan BUMN punya privilege untuk mendapatkan pinjaman dengan nilai besar berbeda dengan pihak (swasta) lain. Meski sering dirundung kabar gagal bayar, pinjaman ke BUMN terus berjalan. 

Contohnya, sejak 2017 banyak BUMN karya berkembang pesat dan melakukan konglomerasi karena unit usahanya terus bertambah serta merambah aneka bidang usaha di sektor berbeda.

Data Statistik Utang Sektor Publik Indonesia (SUSPI) Bank Indonesia mengungkapkan kalau trend BUMN cenderung meningkat selama empat tahun terakhir. Peningkatan utang terjadi di BUMN lembaga keuangan maupun bukan keuangan. Tercatat sejak 2015 utang BUMN lembaga bukan keuangan konsisten naik dari Rp 524,67 triliun pada triwulan III-2015 menjadi Rp 1053,18 triliun (triwulan IV-2020). 

Utamanya BUMN yang bergerak di sektor konstruksi sedang menjadi sorotan karena rasio utang terhadap ekuitas (debt-to-equity ratio/DER) sudah mengkhawatirkan. Kami mencatat sejumlah BUMN Karya memiliki DER diatas 1 kali. Contohnya, Adhi Karya memiliki rasio utang sebesar 5,76 kali, Waskita Karya sebesar 3,42 kali, PP Properti sebesar 2,9 kali, Pembangunan Perumahan sebesar 2,81 kali, dan PT Wijaya Karya 2,7 kali. Sebagai catatan, perusahaan dengan kinerja keuangan sehat dan penuh kehati-hatian nilai DER di bawah 1 kali.

 

Nasib BUMN

Dengan gambaran itu bagaimana kinerja BUMN? Apakah utang membuat BUMN tertekan di tengah pandemi? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu kita harus memperhatikan beberapa hal.

Pertama, hanya 10 dari 143 BUMN yang berhasil menyumbang dividen ke kas negara, sisanya boncos. Pada tahun 2020, BUMN hanya mengantongi laba bersih sebesar Rp 28 triliun, anjlok 77% dibanding perolehan laba 2019 sebesar Rp 124 triliun secara tahunan atau year on year (yoy). Padahal sebagian besar BUMN menguasai beberapa sektor: telekomunikasi, perbankan, infrastruktur, penerbangan dan pelabuhan. Ada pula yang mendapatkan keistimewaan hak monopoli.

Saat kondisi normal dan dengan pengelolaan yang baik, utang bukan ancaman bagi BUMN. Perlu diakui bahwa pandemi memberikan tekanan besar yang membuat utang memiliki risiko tinggi pada perusahaan. Membuat kinerja BUMN terhambat dan berujung pada gagal bayar, serta kesulitan likuiditas.

Saat ini, BUMN sedang dirundung pada tumpukan utang yang telah melewati batas aman dan bisa membuat korporasi gulung tikar. Ada beberapa contoh, misalnya Garuda Indonesia yang santer dibicarakan dan memikul beban utang sekitar Rp 146,8 triliun pada kuartal-III 2020. Utang Garuda tak terlepas dari efek pandemi yang membuat pendapatan merosot tajam. Kini, manajemen Garuda sedang berupaya mencari solusi, salah satunya lewat upaya restrukturisasi dan wacana Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Selanjutnya, ada kekhawatiran pada perusahan plat merah yang terkena imbas lesunya sektor pariwisata, yakni PT ASDP Indonesia Ferry, PT Pelni dan Angkasa Pura. Laba mereka kompak terkoreksi pada 2020. Himbara juga perlu was-was, ihwal kredit yang disalurkan ke beberapa BUMN Karya untuk membiayai sejumlah proyek menjadi catatan. Jika pembayaran utang macet, kinerja Himbara bakalan kena imbasnya. Hampir dipastikan, keuangan bank terganggu dan bisa menjadi benih yang membuat ekonomi dalam negeri berantakan.

Perlu diingat bahwa utang BUMN memiliki risiko fiskal setara. Potensi terjadinya gagal bayar akan berdampak besar pada APBN. World Bank lewat Kajian Belanja Publik Indonesia bertajuk Spending for Better Results mengingatkan Indonesia untuk mengawasi utang BUMN dengan ketat. Secara tidak langsung, utang BUMN yang sudah membuat sesak nafas juga punya hubungan dengan beban penugasan program dari pemerintah. BUMN seakan menjadi penadah dari sejumlah proyek milik negara. 

Dalam pengelolaan korporasi atau perseroan, utang memang dibutuhkan dan menjadi hal umum sebagai sumber pembiayaan baru. Utang bisa menjadi corong sebuah perusahaan bergerak ke arah yang lebih produktif. Tetapi ada hal yang perlu diingat, utang bisa menjadi bom waktu andai pengelolaannya buruk.

 

Mencari Solusi

Saat Beth kalah dari pecatur terbaik dunia asal Uni Soviet, Vasily Borgov dan secara bersamaan Ibu angkatnya meninggal karena hepatitis. Beth melakukan kontemplasi untuk menemukan celah mengalahkan Borgov. Lewat salah satu lawannya, Beth mendapatkan info bahwa Borgov selalu bekerja sama membentuk sebuah tim dan membuat simulasi untuk mengalahkan lawan mainnya. 

Beth menyadari kalau akar masalahnya selama ini adalah ego, kecanduan alkohol dan oportunis. Alhasil Beth dibantu oleh beberapa pecatur lain menduplikasi cara yang dilakukan Borgov. Dalam kasus Beth, dia berhasil mengenali akar masalah dan menemukan solusi. 

Lalu apa jalan keluar untuk masalah utang BUMN? Ada beberapa solusi: restrukturisasi, penyertaan modal negara dan divestasi saham BUMN. Soal restrukturisasi, pemerintah harus cermat dalam merumuskannya, memang ada beberapa BUMN yang kinerjanya positif setelah melalui restrukturisasi, seperti Krakatau Steel dan PTPN Group. Tapi itu dilakukan ketika kondisi ekonomi dalam negeri belum babak belur dihajar pandemi. Restrukturisasi harus berfokus pada bisnis utamanya dan anak perusahaan yang sudah begitu banyak bisa melalui proses likuidasi atau akuisisi.

Pasalnya restrukturisasi utang BUMN akan membebankan bank himbara. Eksposur kredit dari Bank plat merah ke beberapa BUMN memiliki nilai yang cukup besar, rata-rata 18 persen. Proses restrukturisasi harus menjalankan prinsip kehati-hatian, jangan justru membebankan industri keuangan. Setelah melakukan restrukturisasi, pemerintah bisa menyuntikan penyertaan modal negara (PMN) untuk menambah modal demi menggenjot kinerja korporasi dapat membaik. 

Terakhir, untuk melakukan mitigasi. Pemerintah sebaiknya menghitung ulang beberapa proyek yang membebani BUMN. Sebaliknya, BUMN juga bisa melakukan aksi korporasi guna mengurangi beban utang serta menambah modal. Divestasi saham atau aset bisa menjadi dana segar dan melalui proses yang akuntabel. Memang terkesan pahit menjual aset negara kepada swasta, tapi apa mau dikata kalau hal ini adalah jalan terbaik. 

Terbentuknya Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau sovereign wealth fund bisa menjadi solusi alternatif untuk menyehatkan keuangan BUMN. LPI bisa memberi ruang likuiditas bagi perseroan dengan mengambil alih aset-aset BUMN sebagai upaya restrukturisasi.

Yang paling terpenting, kita harus realistis dalam menghadapi utang BUMN

Tags: