Saat Bayang-bayang Krisis Chip Global Semakin Nyata

Date:

[Waktu baca: 6 menit]

Produksi PS5 dibatasi, peluncuran iPhone 12 molor, berkurangnya produksi mobil Ford, hingga melambungnya harga pasaran konsol Nintendo Switch mewarnai kejutan di tengah berkabungnya dunia akibat pandemi Covid-19 sepanjang tahun lalu.

Fakta bahwa pandemi berpengaruh terhadap fenomena-fenomena tersebut sudah jadi rahasia umum. Namun, yang mungkin masih kerap dipandang sebelah mata adalah bagaimana krisis chip semikonduktor punya andil tidak kalah besar terhadap rentetan peristiwa di atas.

Mengapa chip berperan penting terhadap kehadiran perangkat-perangkat tersebut?

Meminjam kalimat pakar teknologi Mirabaud Neil Campling,  jawabannya “karena chip adalah segalanya.”  Ibarat organ tubuh chip semikonduktor adalah otak bagi hampir semua perangkat elektronik. Gawai, konsol, komputer, mobil bahkan hingga kulkas mustahil bisa dirakit tanpa kehadiran benda ini.

Tahun lalu, di tengah pembatasan sosial di berbagai belahan dunia, perusahaan-perusahaan perakit chip semikonduktor sebenarnya tak kurang-kurang akal. Dengan berbagai cara mereka tetap menunjukkan pertumbuhan produksi yang—setidaknya—tampak dari pertumbuhan hasll penjualan mereka, sebagaimana tergambar dalam tabel berikut.

Pertumbuhan Penjualan Chip Semikonduktor di 15 Produsen Semikonduktor Terbesar di Dunia dalam 5 Tahun Terakhir (dalam miliar dolar AS):

Sumber: Statista

Hanya saja, adanya pembatasan sosial membuat permintaan terhadap barang-barang elektronik naik melebihi batas wajar membuat keseimbangan hukum penawaran-permintaan tetap goyah. Pasokan chip yang sebenarnya masih relatif tinggi tidak mampu memenuhi permintaan pasar yang terus menuntut semakin banyak keberadaan perangkat elektronik di pasaran.

Saking seriusnya ketidakseimbangan tersebut, baru-baru ini Samsung memperingatkan bahwa mereka kemungkinan akan menunda perilisan versi terbaru salah produk ponsel flagship mereka, Galaxy Note.

“Model-model ponsel kelas atas [yang membutuhkan chip lebih rumit] mungkin akan kesulitan kami luncurkan. Setelah Samsung S21, akan menjadi beban berat jika tahun ini kami merilis produk flagship lain,” tutur Wakil Direktur dan Kepala Divisi Seluler Samsung, Koh Dong-jin kepada BBC. 

Untuk produk-produk gawainya, Samsung tidak saja mengandalkan chip Exynos yang mereka kembangkan sendiri, namun juga bergantung pada Qualcomm, perusahaan yang memproduksi lini produk Snapdragon.

Jika Samsung, produsen perangkat elektronik yang juga punya segmen bisnis produksi chip saja mengalami kesulitan, bisa kita bayangkan betapa pontang-panting produsen perangkat elektronik lain yang harus berebut pasokan chip dari perusahaan lain.

Hyundai, rekan sejawat Samsung dari Korea Selatan contohnya. Pekan ini perusahaan produsen mobil ini mengumumkan rencana penghentian sementara produksi seluruh produknya karena kelangkaan chip. Penghentian produksi bakal dilakukan pada awal hingga pertengahan April 2021.

“Kami terus memantau situasi untuk mengambil tindakan yang cepat dan diperlukan, serta mengoptimalkan produksi sesuai pasokan,” tutur Hyundai dalam pernyataan resminya awal pekan ini, seperti diwartakan Reuters. 

Hyundai tentu bukan satu-satunya yang melakukan pembatasan produksi barang elektronik karena kelangkaan chip. Di industri otomotif saja, riset terkini yang dilakukan AlixPartners Februari lalu memperkirakan pabrikan-pabrikan mobil tahun ini bakal kehilangan pendapatan US$60 miliar, atau setara Rp871,62 triliun akibat pembatasan produksi hingga akhir tahun. 

Langkah-langkah mitigasi yang dilakukan perusahaan macam Samsung dan Hyundai bisa dimengerti lantaran mereka juga perlu menyelamatkan diri. Bagaimanapun, keterbatasan chip yang berpotensi membuat harga benda tersebut melambung bisa bikin produsen-produsen perangkat elektronik seperti mereka semakin mengalami penyusutan keuntungan.

Secara gambaran umum, efek krisis chip yang terjadi kemungkinan cenderung lebih menekan perusahaan-perusahaan dengan profit margin (margin keuntunan) kecil. Ini, tentu saja, lantaran perusahaan dengan mergin keuntungan yang sudah besar lebih punya ruang gerak untuk meredam kenaikan harga produk-produknya dan menjaga pangsa pasar tidak pindah ke merek kompetitor yang lebih terjangkau.

Margin Laba Bersih Perusahaan-perusahaan Teknologi Tahun Buku 2020:


Sumber: situs Wall Street Journal. Xiaomi dan Huawei belum merilis kinerja tahunan terakhirnya

Meski demikian, sekali lagi, angka di atas baru perkiraan di luar asumsi perkembangan yang bisa terjadi di lapangan.

Toh Apple misal, kendati punya ruang gerak lebih besar untuk mengatur harga, bukannya tidak tertekan. Pekan ini Foxconn, perusahaan produsen chip untuk produk-produk iPhone, sempat menyatakan bahwa ada kemungkinan krisis chip yang mereka alami bisa terjadi hingga 2022.

“Suplai di dua bulan awal kuartal pertama 2021 masih stabil, tapi mengingat banyaknya klien kami, kami mulai merasakan adanya kesulitan bulan ini,” ujar CEO Foxconn Young Liu seperti diwartakan Nikkei Asia. 

Xiaomi, salah satu kompetitor Apple di segmen ponsel pintar, bahkan telah lebih jelas menebar sinyal potensi kenaikan harga-harga produknya di tahun ini.

“Kami akan terus berusaha mengoptimasi biaya produksi kami, itu jelas. Jujur saja kami telah melakukan yang terbaik untuk menjual produk semurah mungkin ke konsumen, tapi terkadang kami harus membebankan kenaikan biaya produksi kepada konsumen,” tutur Presiden Xiaomi Wang Xiang seperti diwartakan Reuters. 

Pada akhirnya, tetap saja, konsumen menjadi korban yang paling rentan dirugikan oleh kenaikan harga barang-barang elektronik akibat kelangkaan chip.

Sisi positifnya, kondisi ini mulai direspons beberapa negara besar.

China jadi yang terdepan.

AS salah satunya. Sebagaimana diwartakan Wall Street Journal (WSJ), dalam proposal anggaran infrastruktur yang dipublikasikan pekan ini, Presiden Joe Biden mengusulkan dana US$50 miliar atau setara Rp726,32 triliun untuk insentif industri semikonduktor. 

Porsi ini masuk sebagai bagian dari proposal keseluruhan senilai US$2 triliun yang diajukan kabinet Biden untuk sektor infrastruktur.
Langkah Biden sebenarnya merupakan jawaban atas gertakan serupa yang sempat diterbar Beijing.

Seperti diwartakan Global Times, sejak perang dagang memanas, perusahaan-perusahaan China seperti Huawei dan Xiaomi kian terancam kesulitan mendapat pasokan chip semikonduktor. Hal ini kemudian mendorong Beijing untuk berencana memperbanyak investasi berupa pendirian perusahaan-perusahaan semikonduktor di dalam negeri. 

Hingga kini Beijing belum memberikan pengumuman jelas mengenai berapa anggaran yang bakal mereka alokasikan.

Namun, seiring adanya sinyal perang produksi chip antara kedua negara tersebut, setidaknya masih ada harapan agar kelangkaan chip tidak berujung menjadi krisis yang menahun.
 
 
 
 

 

Tags: