Prospek Astra International (ASII) dan Diskon Pajak Mobil

Date:

[Waktu baca: 7 menit]

PT Astra International Tbk. sudah merilis kinerja keuangannya untuk periode setahun penuh 2020. Hasilnya, kinerja emiten dengan kode saham ASII ini memang tertekan. Bahkan setelah menambah keuntungan dari hasil divestasi sahamnya pada PT Bank Permata Tbk. (BNLI), laba ASII tetap anjlok.

Pelemahan kinerja Grup Astra relatif merata di semua lini bisnisnya, kendati lini bisnis utamanya yakni otomotif menjadi penekan utama pelemahan kinerja grup konglomerasi ini. Secara total, pendapatan Astra turun 26% year on year menjadi Rp175 triliun, sedangkan laba bersih Rp10,3 triliun, anjlok 53% yoy.

Pada tahun lalu, perseroan melepas kepemilikannya pada Bank Permata kepada Bangkok Bank. Dari hasil divestasi itu, ASII mengantongi dana Rp5,88 triliun. Dengan tambahan keuntungan itu, laba bersih ASII menjadi Rp16,1 triliun, sehingga tingkat penurunannya pun menjadi lebih rendah, yakni 25,5% yoy.

Berikut ini kinerja keuangan ASII sepanjang 2020 lalu dibandingkan dengan 2019 (dalam Rp miliar):

Kendati lebih rendah, tingkat penurunan laba sebesar 25,5% yoy bukanlah angka yang kecil, apalagi bagi perusahaan sekelas ASII. Namun, hal ini memang tidak lagi mengherankan, sebab dari laporan-laporan keuangan sebelumnya pun ASII sudah melaporkan penurunan kinerja yang tajam.

Pandemi Covid-19 menjadi biang keroknya. Pembatasan sosial dan aktivitas ekonomi, baik di dalam negeri maupun global, menyebabkan Indonesia terjerumus ke dalam jurang resesi. Seiring dengan itu, kebutuhan terhadap kendaraan bermotor pun menurun tajam.

Orang juga akan berpikir berkali-kali sebelum mengambil keputusan konsumsi bernilai besar pada 2020 lalu, seperti pembelian kendaraan bermotor atau rumah. Daya beli masyarakat secara umum tengah melemah dan orang-orang cenderung lebih memprioritaskan dana simpanannya untuk kebutuhan konsumsi barang kebutuhan pokok.

Astra sendiri memiliki sangat banyak lini bisnis, tetapi industri otomotif selama tahun-tahun sebelumnya menjadi kontributor utama kinerja keuangan Astra. Tahun lalu, lini bisnis ini turun paling dalam. Sumbangan laba dari bisnis ini tinggal Rp2,7 triliun, padahal tahun sebelumnya mencapai Rp8,4 triliun.

Berikut ini perbandingan kontribusi laba tiap segmen usaha Astra (dalam Rp miliar):


 
Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa kendati penurunan laba paling tajam ada di segmen infrastruktur dan logistic serta teknologi informasi, tetapi secara nilai penurunan terbesar ada di segmen otomotif. Laba di segmen ini tergerus Rp5,7 triliun.

Alhasil, kontribusi laba dari segmen ini menjadi tinggal Rp2,7 triliun. Segmen yang selama ini menjadi kontributor utama laba ASII ini kini justru kalah dibandingkan dengan segmen jasa keuangan dan alat berat yang berhasil menyumbang kontribusi laba lebih besar, yakni di atas Rp3 triliun.

Secara  persentase, berikut ini perbandingan kontribusi laba masing-masing lini bisnis Astra:

Penurunan tajam laba di divisi otomotif Astra terutama terjadi karena perseroan baru membukukan laba di segmen ini pada semester kedua 2020. Pada kuartal kedua tahun 2020, lini bisnis ini menyumbang kerugian bagi Astra, seiring anjloknya penjualan otomotif nasional.

Berdasarkan data Gaikindo, penjualan mobil nasional pada 2020 lalu hanya 532.000 unit, turun 48% yoy dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kinerja Astra pun sejalan dengan industri. Penjualan mobil Astra turun 50% yoy menjadi 270.000 unit. Sepanjang tahun 2020, Astra meluncurkan 16 model baru dan 18 model revamped.

Sementara itu, penjualan sepeda motor nasional turun 44% menjadi 3,66 juta unit tahun lalu. Astra sendiri menderita penurunan penjualan motor Honda sebesar 41% yoy menjadi 2,89 juta unit. Astra meluncurkan lima model baru dan 11 model revamped sepanjang 2020 lalu.

Bisnis Astra yang masih mencetak kenaikan laba signifikan tahun lalu justru dari lini bisnis agribisnis yang dijalankan oleh PT Astra Agro Lestari Tbk. (AALI). Laba di lini bisnis ini melesat hingga 295% terutama karena kenaikan harga minyak kelapa sawit yang sangat tinggi, rata-rata 28% menjadi Rp8.545/kg, meskipun volume penjualannya turun 14% menjadi 2 juta ton.

Hanya saja, kontribusi lini bisnis ini bagi Astra selama ini relatif kecil, kurang dari 1%. Tahun lalu, kontribusinya memang naik menjadi 6,5%, tetapi hal tersebut lebih disebabkan karena penurunan di lini bisnis lain, bukan karena kapasitas produksi yang melonjak luar biasa.

Segmen otomotif tetap menjadi lini bisnis kunci Astra. Oleh karena itu, prospek lini bisnis itu tahun ini tetap akan menjadi penentu kinerja keuangan Astra selanjutnya. Lalu, bagaimana prospek bisnis otomotif ini tahun ini?

Baca juga: Pilih Mana: Rumah atau Mobil Dulu?

Prospek Insentif DP 0% dan Penurunan PPnBM

Sama seperti properti, industri otomotif juga adalah industri strategis yang memainkan peranan penting dalam kinerja ekonomi nasional, menimbang panjangnya rantai pasok bisnis ini. Pelemahan di bisnis otomotif sangat mempengaruhi berbagai lini bisnis lain yang terkaitnya.

Lini bisnis ini juga menyerap tenaga kerja yang sangat tinggi, sedikitnya 1,5 juta orang. Grup Astra sendiri hingga akhir 2020 mempekerjakan 187.365 karyawan. Sayangnya, tekanan bisnisnya yang berat menyebabkan grup usaha ini mengurangi jumlah pekerja sebanyak 38.740 orang sepanjang 2020.

Oleh karena itu, pemerintah turut menaruh perhatian serius pada industri ini. Alhasil, pada bulan ini, Februari 2021, Bank Indonesia mengumumkan kebijakan uang muka kredit/pembiayaan untuk pembelian mobil baru oleh lembaga keuangan dapat diturunkan hingga 0%.

Kebijakan ini efektif mulai pekan depan, atau awal Maret 2021, dan berlaku baik untuk penjualan motor maupun mobil hingga 31 Desember 2021.

Pada saat yang sama, pemerintah juga memutuskan untuk merelaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) kendaraan roda empat. PPnBM ini kini ditanggung pemerintah. Pemerintah menanggung 100% tarif pada Maret-Mei 2021, 50% pada Juni-Agustus 2021, dan 25% pada September-November 2021.

Relaksasi PPnBM ini berlaku untuk mobil penumpang 4x2, sedan berkubikasi mesin kurang dari 1.500 cc, dengan kandungan lokal 70%. Insentif ini pun akan dievaluasi kembali setiap 3 bulan.

Dengan kebijakan ini, diharapkan harga kendaraan bermotor menjadi lebih murah dan kemampuan masyarakat untuk membeli kendaraan pun menjadi lebih tinggi. Jika berdampak sesuai rencana, ekonomi tentu akan bergeliat lagi.

Apalagi, relaksasi ini dilakukan mulai awal Maret 2021 dan menjelang momen Ramadhan. Dengan demikian, pelaku industri otomotif dapat memanfaatkan momen yang kerap identik dengan kenaikan tingkat konsumsi itu untuk memasarkan produknya lebih gencar.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto sebelumnya mengatakan bahwa relaksasi PPnBM ini bisa membantu menggenjot tambahan produksi otomotif hingga 81.752 unit dibandingkan dengan capaian tahun lalu. Tahun lalu, produksi kendaraan penumpang mencapai 551.400 unit, artinya proyeksi Airlangga itu setara dengan tingkat pertumbuhan 14,8%.

Adapun, Gaikindo sendiri menargetkan produksi otomotif pada tahun ini bisa mencapai 750.000 unit. Termasuk di dalamnya yakni kendaraan niaga. Jika diasumsikan jumlah produksi kendaraan niaga tidak berubah dibanding tahun lalu, target yang dipatok Airlangga itu akan setara 771,902 unit, lebih tinggi dari target Gaikindo.

Baca juga: Yakin Beli Mobil Maret 2021? Simak 7 Biaya Mobil Ini

Seberapa Besar Efek untuk ASII?

Jika proyeksi pemerintah dapat berjalan sesuai rencana, kinerja keuangan ASII tahun ini tentu akan membaik. Namun, jangan dulu berharap pemulihan kinerja itu akan mampu menghantar ASII hingga ke level kinerja seperti sebelum pandemi.

Target produksi mobil dengan relaksasi PPnBM tahun ini sebanyak 771.902 unit masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan realisasi produksi pada tahun-tahun sebelumnya yang selalu menembus di atas 1 juta unit.

Puncak produksi terjadi pada 2018 lalu, yakni 1,34 juta, lalu berkurang menjadi 1,29 juta pada 2019. Pada 2020 lalu, total produksi mobil anjlok hingga tinggal 690.150 unit.

Bahkan dengan tambahan insentif pembelian DP 0%, masih butuh upaya ekstra untuk dapat kembali menggenjot penjualan, sebab kondisi pandemi belum benar-benar berakhir. Artinya, kecenderungan karakter konsumsi masyarakat masih relatif sama seperti tahun lalu, yakni fokus pada kebutuhan pokok.

Sementara itu, insentif DP 0% tidak lantas berarti lembaga pembiayaan seperti bank dan multifinance akan otomatis memberikan pembiayaan 100% nilai kendaraan kepada setiap pembeli tanpa uang muka.

Analisis risiko tetap akan dilakukan dan mungkin hanya sebagian kecil konsumen yang dapat menikmati insentif itu.

Meskipun demikian, hal ini tidak berarti mengecilkan manfaat dari insentif yang diberikan pemerintah itu. Bagaimanapun, industri otomotif saat ini memang butuh pertolongan dan pemerintah memang harus turun tangan. Kedua insentif tersebut adalah cara yang sangat masuk akal untuk ditempuh.

Setidaknya, insentif tersebut mencegah industri ini jatuh lebih dalam lagi dan melakukan pengurangan jumlah karyawan yang makin masif. Insentif ini juga membantu industri untuk bernafas lebih lega tahun ini, sehingga ketika momentum pemulihan ekonomi tiba, mereka dapat bergerak dengan lebih gesit, bukannya baru berupaya menyembuhkan luka.

Sementara itu, ASII sendiri adalah salah satu emiten otomotif dengan fundamental bisnis yang sangat kuat dan penguasa pangsa pasar otomotif di Indonesia. Bisnisnya relatif sangat solid dengan jaringan luas dan struktur yang kuat. Perusahaan ini memiliki daya tahan keuangan yang kokoh dan terbukti masih mampu membukukan laba di tengah pandemi.

Bahkan, perseroan tetap berencana untuk membagikan dividen kepada pemegang sahamnya atas hasil laba tahun lalu. Perseroan berencana membagikan dividen final Rp87 per saham, lebih rendah ketimbang tahun lalu Rp157 per saham.

Di pasar, saham ASII turun 13% year to date (ytd) sepanjang 2020. Pada awal tahun ini hingga sesi pertama perdagangan hari ini, Jumat (26 Februari 2021), saham ASII masih kembali terkoreksi sebesar -9,96% ytd ke level Rp5.425 per saham.

Apakah saham ASII masih layak beli? Jika menimbang kekuatan bisnisnya dan prospek jangka panjangnya yang masih sangat menjanjikan, jawabannya adalah ya. Namun, jika kamu mengkhawatirkan potensi koreksi jangka pendek, peluang penurunan harga masih akan tetap terbuka, sebab eksposur ASII terhadap dampak pandemi sangat besar.