Pertempuran Sengit di Palagan Perbankan Digital Indonesia

Date:

[Dibaca Normal 6 Menit]

Sepanjang tahun 2021, industri jasa keuangan Indonesia diramaikan dengan transformasi bank-bank kecil menjadi bank digital. Sejatinya, fenomena ini bukanlah hal baru di industri keuangan. Hanya saja, tren perubahan ini membuat peta persaingan perbankan kembali menarik. 

Setelah dikuasai oleh beberapa bank plat merah dan bank swasta dengan modal besar dalam sedekade terakhir. Bank digital mulai datang dengan konsep perbankan gaya baru dengan inovasi unik tanpa layanan kantor cabang. Tentunya, ini lebih menguntungkan secara operasional.

Terlebih, kehadiran bank digital juga memicu perbankan konvensional untuk ikut-ikutan dalam tren ini. Popularitas konsep bank digital meningkat pesat di tahun 2020-2021, meskipun sebenarnya model layanan bank digital ini sudah mulai hadir beberapa tahun terakhir.

Bank-bank besar memang umumnya sudah memiliki aplikasi mobile banking di smartphone untuk menggantikan layanan kantor cabang. Namun, bank digital lebih dari sekadar aplikasi cek saldo atau kirim uang.

PT Bank BTPN Tbk. melalui aplikasi Jenius menjadi salah satu perintis konsep bank digital ini. Aplikasi Jenius sendiri resmi diluncurkan pada 11 Agustus 2016 atau sudah lebih dari 5 tahun lalu. Kehadirannya memberikan terobosan penting, yakni membuka akun rekening bank tanpa perlu ke kantor cabang.

Di aplikasi tersebut, nasabah perbankan tidak saja menemukan layanan umum perbankan seperti untuk transfer dan pembayaran, tetapi juga sejumlah solusi manajemen finansial untuk gaya hidup.

Ide inilah yang justru membedakan bank digital dari bank konvensional yang sekadar memiliki aplikasi mobile banking. Pandemi juga memberikan peluang bagi sektor ini, kebutuhan akses layanan digital yang masif menjadi modal kuat untuk berkembang. 

Kondisi ini semakin diperkuat dengan kesadaran terhadap pentingnya layanan perbankan digital khususnya bagi kaum millennial dan Gen Z. Berbagai jenis layanan yang dulunya tampak begitu pelik untuk dihadirkan karena berbagai keterbatasan, lewat aplikasi digital menjadi sangat mungkin.

Ada hal menarik lain yang menjadi penyulut suburnya pertumbuhan bank digital di Indonesia sepanjang 2021, yakni adanya kewajiban dari Otoritas Jasa Keuangan terhadap seluruh bank untuk menaikkan modal intinya menjadi minimal Rp3 triliun pada 2022.

Sebelumnya, Indonesia mengenal konsep bank berdasarkan tingkat kegiatan usaha atau Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU). Pengelompokkan berdasarkan BUKU dibagi menjadi empat berdasarkan modal inti.

BUKU I yakni bank dengan modal inti di bawah Rp1 triliun, BUKU II di antar Rp1 triliun hingga Rp5 triliun, BUKU III antara Rp5 triliun hingga Rp30 triliun, dan BUKU IV di atas Rp30 triliun.

Namun, pada Maret 2020 OJK menerbitkan Peraturan OJK No. 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum yang mewajibkan semua bank untuk memiliki modal inti minimal Rp3 triliun. Pemenuhannya dilakukan secara bertahap, yakni Rp1 triliun pada akhir 2020, Rp2 triliun pada akhir 2021, dan Rp3 triliun pada akhir 2022. Dengan demikian, pada 2023, semua bank yang ada di Indonesia sudah memiliki modal inti di atas Rp3 triliun.

Adapun, berdasarkan data OJK, ada 13 bank kategori BUKU I pada akhir 2019. Keputusan OJK itu bagai petir di siang bolong bagi bank-bank ini. Bagaimana tidak, saat itu Covid-19 sudah terkonfirmasi masuk ke Indonesia dan bisnis bank sedang dalam tekanan.

Sebagai bank yang kecil, bank-bank tersebut umumnya memiliki kemampuan yang terbatas dalam berbisnis. Kondisi pandemi makin menyulitkan mereka untuk bernafas. Namun, pada akhir 2020 mereka diwajibkan untuk segera memiliki modal inti di atas Rp1 triliun.

Bank-bank itu yakni PT Bank Harda Internasional Tbk. (BBHI), PT Bank Yudha Bhakti Tbk. (BBYB), PT Bank Artos Indonesia Tbk. (ARTO), PT Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE), PT Bank Bisnis Internasional Tbk. (BBSI), PT Bank Fama Internasional, dan PT Prima Master Bank.

Selain itu, ada daftar bank pembangunan daerah (BPD) yakni PT BPD Banten Tbk. (BEKS), PT BPD Sulawesi Tengah, PT BPD Bengkulu, PT BPD Lampung, PT BPD Bali, dan PT Bank Jabar Banten Syariah. Namun, bagi bank-bank daerah ini, OJK melonggarkan batas waktunya hingga akhir 2024.

Dengan demikian, tantangan terbesar dialami oleh tujuh bank swasta nasional yang modal intinya di bawah Rp1 triliun per akhir 2019. Di tengah kondisi yang sangat terjepit itu, mereka harus berjuang untuk merayu investor agar mau menyuntikkan modal.

Namun, siapa yang mau menyuntikkan modal di tengah kondisi krisis pada bank kecil yang baru bertransformasi dan belum terbukti punya kinerja keuangan yang moncer? Jika akhirnya berani untuk berinvestasi, itu tentu keputusan yang cukup berisiko. Oleh sebab itu, harus ada alasan kuat yang diciptakan bank agar dapat memikat investor.

Perang ide dan sejumlah solusi nampaknya akan segera berakhir. Persaingan justru akan bergeser kepada mereka yang lebih dahulu siap dalam sisi infrastruktur. Bukan tak mungkin bahwa dominasi bank-bank kecil akan mengusik para pemain lama. Saat ini, kita berada di era disrupsi. Artinya, bank kecil memiliki peluang yang sama dengan bank konvensional. 

Alhasil, konsep pengembangan bank digital inilah yang akhirnya menjadi ujung tombak promosi kalangan bank-bank kecil yang kesulitan modal itu untuk menggaet investor. Gayung bersambut, sejumlah investor pun rupanya sudah memiliki agenda untuk mengembangkan bank digital di Indonesia.

Baca juga: Medan Pertarungan Bank Digital di Indonesia

Hal ini lantaran Indonesia memiliki jumlah penduduk yang sangat besar dan masih banyak yang belum terjangkau oleh layanan perbankan. Tantangan utamanya adalah karakter geografis Indonesia yang bersifat kepulauan, sehingga memberatkan ongkos operasional bagi bank untuk menjangkau semua masyarakat.

Dalam hal ini, bank digital bakal menjadi solusi ideal. Asalkan ada internet dan smartphone, daerah yang selama ini belum terjangkau akhirnya bakal mampu untuk mengakses layanan perbankan. Cerita selanjutnya, kita mendengar Bank Harda bertransformasi menjadi Allo Bank Indonesia, Bank Yudha Bhakti menjadi Bank Neo Commerce, Bank Artos menjadi Bank Jago, dan BKE menjadi SeaBank. Bank-bank ini meluncurkan aplikasi digital banking mereka sepanjang 2021.

Bank Bisnis sudah disuntik oleh PT FinAccel Teknologi Indonesia (Kredivo), perusahaan teknologi finansial yang tentu memiliki agenda di industri keuangan digital. Kredivo kini sudah menguasai 40% saham Bank Bisnis.

Bank Fama juga baru saja dibeli oleh PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. (EMTK), grup usaha yang juga berinvestasi di startup unikorn e-commerce PT Bukalapak.com Tbk. (BUKA) dan dompet digital DANA. Tidak tanggung-tanggung, EMTK membeli 93% saham Bank Fama dengan nilai Rp908,95 miliar.

Grup Emtek saat ini menjadi salah satu grup usaha paling aktif dalam mengakuisisi perusahaan, terutama di industri digital. Perseroan juga tampaknya memiliki visi untuk mengembangkan ekosistem digital sendiri. Langkah akuisisi Bank Fama tentu tidak terlepas dari visi itu.

Alhasil, mendadak Indonesia memiliki banyak bank digital dengan sejumlah investor papan atas di baliknya. Selain dua investor papan atas di dua bank terakhir, ada Gojek di balik Bank Jago, ada CT Corp di balik Allo Bank, Akulaku dan Gozco di balik Bank Neo Commerce, dan Sea Group pengendali Shopee di balik SeaBank.

Pada awal Desember 2021, salah satu raksasa fintech asal Hong Kong, yakni WeLab, juga mengumumkan akuisisinya pada PT Bank Jasa Jakarta. Bank ini diproyeksikan akan menjadi bank digital keduanya di Asia setelah sebelumnya mendirikan bank digital di Hong Kong, yakni WeLab Bank.

Sebelumnya, unikorn ketujuh Indonesia yakni Ajaib juga telah membeli 24% saham PT Bank Bumi Arta Tbk. (BNBA) senilai Rp746 miliar. Langkah ini pun menjadi sinyal Ajaib untuk mengikuti langkah startup lain seperti Gojek dan Akulaku untuk mengembangkan bank digital di Indonesia.

Kehadiran investor-investor kakap ini pun mulai menggelisahkan para pemain lama di industri perbankan Tanah Air, khususnya bank-bank besar yang selama ini menjadi pemimpin pasar.

Belakangan, PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), bank swasta nomor satu di Indonesia, mengubah PT Bank Royal Indonesia yang diakuisisi pada akhir Oktober 2019 menjadi bank digital bernama PT Bank BCA Digital. Bank ini pun memperkenalkan aplikasi digital banking bernama Blu.

PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) berupaya memperkuat aplikasi mobile banking yang telah dimilikinya dan melakukan rebranding menjadi Livin’ by Mandiri. PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) juga telah mempunyai Mobile Banking BRImo untuk mengakomodir kebutuhan transaksi digital nasabahnya. Selain itu, BRI juga melebarkan sayap dengan mengubah PT BRI Agroniaga Tbk. menjadi PT Bank Raya Indonesia Tbk.

Selanjutnya, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) juga dikabarkan tengah menjajaki peluang akuisisi bank kecil untuk dijadikan bank digital. Rumor yang beredar menyebutkan bahwa bank yang rencananya akan diakuisisi adalah PT Bank Mayora.

Selain bank-bank terbesar ini, bank-bank papan atas lainnya juga sudah turut meramaikan industri bank digital ini. Selain BTPN dengan Jenius, ada juga PT Bank UOB Indonesia dengan TMRW, PT Bank DBS Indonesia dengan Digibank, PT Bank KB Bukopin Tbk. (BBKP) dengan Wokee+.

Ada juga bank kecil lain yakni PT Bank KEB Hana Indonesia dengan LINE Bank dan PT Bank MNC Internasional Tbk. (BABP) dengan MotionBanking.

Bank-bank lain pun tampaknya juga tengah bersiap untuk meramaikan persaingan di industri bank digital ini. Sebab, jika tidak, mereka berisiko bakal tertinggal dalam persaingan di industri perbankan nasional masa depan.

 

Persaingan Sengit

Big Alpha - Medan Pertarungan Bank Digital di Indonesia

Ramainya kehadiran pendatang baru di lini bisnis bank digital sepanjang 2021 lalu telah menyulut persaingan sengit. Aksi bakar duit ala startup pun mulai marak dilakukan sebagai promosi untuk menjaring lebih banyak nasabah.

Selain itu, beberapa bank juga memanfaatkan ekosistem digital yang terafiliasi untuk meningkatkan penetrasi dan memberikan pengalaman layanan perbankan yang unggul bagi nasabah. Bank Jago, misalnya, sudah terintegrasi dengan Gojek. Demikian pula SeaBank dengan Shopee.

Kedua bank ini juga memberikan promosi bunga tabungan hingga 7% per tahun, jauh di atas suku bunga acuan Bank Indonesia maupun bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan. Padahal, rata-rata bunga deposito kebanyakan bank papan atas hanya sekitar 2% - 3% per tahun.

Bank Neo Commerce melalui aplikasi Neobank juga tak kalah gencar memberikan promo, kupon, cashback, dan rewards bagi para nasabah. Tidak ketinggalan, Neobank juga menawarkan bunga tabungan 6% per tahun dan deposito 6,5% per tahun.

Kalangan bank digital ini juga mulai meramaikan pasar iklan Tanah Air. Blu milik BCA cukup aktif beriklan di media sosial, demikian pula Bank Mandiri dengan Livin’ by Mandiri.

Bank-bank digital ini juga menawarkan gratis biaya admin bulanan dan gratis biaya transfer beda bank. Selama ini, dua hal ini menjadi momok yang tidak disukai banyak nasabah perbankan konvensional di Indonesia.

Upaya-upaya promosi ini sepintas mungkin terlihat sebagai langkah yang merugikan bagi bank-bank digital ini. Namun, mengingat model bisnisnya yang dijalankan secara digital, bank-bank ini juga menghemat banyak biaya operasional yang seharusnya digunakan untuk investasi kantor cabang, karyawan, dan ATM.

Teknologi digital menjadikan bisnis bank lebih efisien, sehingga bank dapat menggunakan dana yang ada untuk aktivitas promosi. Alih-alih menghamburkan biaya promosi melalui iklan, bank-bank ini memilih langsung menyalurkannya kepada nasabah melalui berbagai program promosi.

Meskipun demikian, investasi di bidang teknologi digital pun tentu tidak dapat dianggap enteng. Bisnis yang dijalankan kalangan bank digital ini juga sangat rentan terhadap kejahatan digital serangan siber, entah penyusupan, peretasan, penipuan, pembobolan dana, kebocoran data, serangan malware, dan fraud.

Sekalinya kebobolan, nasabah rentan berpindah haluan ke bank lain. Tantangan utama era digital ini yakni terlalu banyaknya pilihan sehingga menjadikan konsumen cenderung memiliki tingkat kesetiaan yang relatif rendah terhadap brand tertentu.

Apalagi, setelah terbiasa dengan promo, masyarakat mudah tergoda untuk beralih ke produk lain yang menawarkan promo lebih menarik. Oleh karena itu, kalangan bank digital ini berlomba-lomba menciptakan pengalaman pengguna yang sebaik mungkin demi mempertahankan nasabahnya.

Selain tetap menggencarkan promo untuk menarik nasabah, yang tidak kalah penting bagi bank-bank ini adalah memastikan nasabah tidak kecewa setelah menggunakan layanannya. Berbagai inovasi baru di bidang jasa keuangan harus selalu dikembangkan untuk makin memudahkan para nasabah dan memberikan solusi untuk kebutuhan-kebutuhan konkret nasabah.

Setelah selama 2021 bank-bank digital ini bermunculan, tahun 2022 mendatang akan menjadi tahun yang sengit dalam hal perebutan nasabah ini, apalagi jika kondisi ekonomi makin membaik.

Benar bahwa di satu sisi masyarakat Indonesia masih sangat banyak yang belum tersentuh oleh layanan bank dan menjadi potensi pasar yang empuk. Namun, di sisi lain ongkos akuisisi nasabah baru yang sama sekali belum mengenal bank tentu lebih tinggi.

Pada akhirnya, ketahanan modal para bank digital ini akan menjadi salah satu penentunya. Bank-bank digital yang berangkat dari bank-bank kecil tentu lebih gesit, tetapi sumber daya mereka tidak sebesar bank-bank papan atas yang sudah lebih dahulu menguasai pangsa pasar besar.

Pemain di industri ini mendadak menjadi sangat banyak yang kemungkinan besar pada akhirnya akan terseleksi dengan sendirinya. Hal ini bukan cerita baru, sebab kasus penutupan bank digital sudah marak di luar negeri.

Di Australia, misalnya, bank digital bernama Xinja hanya bertahan 3 tahun dan mengembalikan lisensi perbankan pada 2021 setelah gagal mendapatkan modal tambahan. Ada juga N26 dari Jerman. Kendati mampu melakukan ekspansi di enam negara Eropa, Amerika Serikat, dan Brazil, N26 harus menutup operasinya di Inggris pada 2020 karena lisensinya tidak dapat digunakan setelah Brexit.

Tahun 2022 tampaknya akan ditandai oleh adu strategi yang sengit di kalangan bank digital dan kolaborasi yang makin ramai dengan ekosistem digital yang lebih luas, tidak saja dengan perusahaan-perusahaan digital terafiliasi, tetapi juga dengan berbagai platform digital lainnya.

Di samping itu, tampaknya gairah investor global untuk turut meramaikan peta persaingan industri bank digital di Indonesia pun belum akan berakhir. Artinya, kemungkinan masih akan bermunculan nama-nama baru bank digital di Indonesia pada 2022 dan menjadikan persaingan makin sengit.

Hal ini telah diramalkan oleh Rudiantara, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) periode 2014-2019 yang kini menjadi steering committee Indonesia Fintech Society (IFSoc).

Menurutnya, setiap perusahaan teknologi besar pasti memiliki tujuan memiliki layanan perbankan digital di dalam ekosistemnya untuk memanfaatkan dana murah. Jika benar begitu, tampaknya masih akan banyak aksi akuisisi bank-bank mini oleh raksasa teknologi tahun 2022.

Sebab, lebih murah mengakuisisi bank kecil yang sudah memiliki lisensi perbankan untuk diubah menjadi bank digital ketimbang mendirikan bank baru yang kini syaratnya harus memiliki modal minimal Rp10 triliun.

Ini akan menjadi langkah yang saling menguntungkan, sebab masih banyak bank kecil nasional yang membutuhkan suntikan modal investor untuk mengejar target modal minimum Rp3 triliun pada akhir 2022 nanti.