Bagaimana Masa Depan Video on Demand (Netflix, Vidio, VIU) Pasca Pandemi?
[Waktu baca: 6 menit]
Layanan video on demand (VOD) mendapatkan momentum pertumbuhan yang luar biasa selama pandemi. Tidak sulit memahami hal tersebut.
Keputusan pemerintah untuk memberlakukan pembatasan sosial menyebabkan masyarakat memiliki lebih banyak waktu di rumah dan keterbatasan akses ke tempat-tempat hiburan yang biasanya dikunjungi. Alhasil, smartphone menjadi sumber hiburan utama masyarakat.
Layanan televisi berlangganan memang mampu menawarkan aneka pilihan hiburan dengan banyaknya channel yang bisa diakses. Namun, layanan tersebut memiliki keterbatasan mendasar, yakni tidak adanya kebebasan bagi pelanggan untuk memilih tayangan yang ingin ditonton pada saat tertentu.
Layanan VOD menjadi solusi bagi persoalan tersebut. Dengan biaya langganan bulanan yang relatif terjangkau, mulai dari Rp20 ribu hingga Rp100 ribu, pelanggan dapat menikmati berbagai tontonan yang ada dalam platform VOD tanpa batas.
Ini jelas lebih terjangkau dibanding harga tiket bioskop, yang mana hanya untuk menonton satu film, harus merogoh kocek dengan biaya yang sama seperti biaya langganan sebulan VOD.
Namun, kondisi pandemi saat ini berbeda dibandingkan dengan tahun lalu. Saat ini, vaksinasi sudah mulai dijalankan dan pembatasan sosial perlahan mulai lebih longgar. Intensitas masyarakat untuk bekerja dari rumah mulai berkurang dan kini mulai kembali ke kantor.
Artinya, waktu di rumah pun relatif lebih terbatas, sebab kini masyarakat mulai kembali bertransportasi. Kemacetan mulai terjadi di kota-kota besar, sehingga waktu bertransportasi pun kembali meningkat, mulai menyamai waktu seperti sebelum pandemi.
Di sisi lain, bioskop juga mulai kembali dibuka, kendati dengan batasan dan protokol kesehatan ketat. Area wisata pun mulai kembali ramai dikunjungi. Pilihan hiburan bagi masyarakat kini relatif mulai kembali seperti kondisi normal.
Lantas, apakah periode keemasan layanan VOD akan segera berakhir?
Masih Diminati
Riset terbaru dari AMPD Research, bagian dari Media Partners Asia, yang terbit 18 Mei 2021 lalu melaporkan bahwa total konsumsi streaming melalui layanan VOD berbayar atau subscription VOD (SVOD) pada kuartal pertama 2021 di Asia Tenggara mencapai 114 miliar menit.
Negara-negara Asean yang tercakup dalam riset ini yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.
Ini setara dengan 10% dari total waktu streaming yang dihabiskan oleh pengguna internet di Asia Tenggara pada periode itu. Sebesar 90% sisanya didominasi layanan VOD gratisan oleh YouTube (68%) dan TikTok (21%), serta game streaming (1%).
Berdasarkan laporan tersebut, Netflix menguasai pangsa pasar SVOD mencapai 40%. Hal ini terutama karena Netflix didukung oleh katalog film internasionalnya yang sangat luas.
Sementara itu, Viu yang mengunggulkan konten film drama Korea Selatan menguasai 15%. Khusus di Indonesia, Viu menguasai sekitar 20% waktu tonton SVOD.
Di posisi ketiga ada layanan SVOD China milik Tencent, yakni WeTV dengan pangsa pasar waktu tonton SVOD 13%. Lagi-lagi, Indonesia menjadi pangsa pasar utama yang menyumbang pertumbuhan tertinggi bagi WeTV, terutama seiring dengan meningkatnya tayangan lokal Indonesia di platform itu.
Beberapa tayangan lokal yang cukup populer di WeTV misalnya Imperfect The Series, My Lecturer My Husband, dan Kisah untuk Geri.
Berikut ini sebaran pangsa pasar total VOD dan rincian pangsa pasar khusus SVOD di Indonesia berdasarkan riset AMPD Research pada kuartal pertama tahun ini:
Hal yang cukup menarik, layanan SVOD lokal Indonesia, yakni Vidio mampu menguasai pangsa pasar 9% dari total waktu tonton SVOD pada kuartal pertama tahun ini. Sepanjang kuartal pertama, peningkatan pelanggannya dilaporkan cukup drastis, kendati tidak disebutkan besarannya.
Peningkatan jam tonton Vidio ditopang oleh drama original, olahraga (khususnya sepak bola lokal dan internasional), serta konten-konten gratisan.
Adapun, dalam riset AMPD Research sebelumnya, total konsumsi SVOD di Asia Tenggara pada periode awal pandemi, yakni kuartal I/2020 baru mencapai 68 miliar menit, tetapi pada kuartal II/2020 sudah mencapai 107 miliar.
Peningkatan konsumsi VOD meningkat pesat sejak terjadinya pandemi. AMPD Research juga mencatat bahwa per 11 April 2020 atau sejak pembatasan sosial mulai diberlakukan oleh banyak negara di Asia Tenggara, konsumsi VOD mencapai 54 miliar menit per minggu di Asia Tenggara (termasuk YouTube, TikTok, dan game streaming)
Padahal, pada Januari 2020, atau sebelum lockdown, rata-rata konsumsi VOD baru mencapai 36,4 miliar menit per minggu.
Peningkatan Pelanggan
Sepanjang kuartal pertama tahun ini, total pelanggan baru layanan SVOD di Asia Tenggara mencapai 4,9 juta. Dengan demikian, total pelanggan SVOD Asia Tenggara kini mencapai 24,2 juta.
Artinya, penambahan pelanggan sepanjang kuartal pertama tahun ini saja menyumbang 20% terhadap total jumlah pelanggan SVOD Asia Tenggara. Ini menunjukkan bahwa layanan SVOD makin banyak peminatnya.
Adapun, pada kuartal pertama 2020 saat pandemi mulai merebak, jumlah pelanggan SVOD di Asia Tenggara baru mencapai 7 juta pelanggan, lalu meningkat 3 juta pelanggan pada kuartal kedua 2020 menjadi 10 juta pelanggan.
Pada semester kedua 2020, jumlah meningkat hampir dua kali lipat mendekati 20 juta pelanggan.
Pada kuartal pertama tahun ini, peningkatan pelanggan paling tinggi justru terjadi di platform Disney+ Hotstar, yakni dengan pangsa pasar 43% atau setara sekitar 2 juta pelanggan baru. Peningkatan pelanggan Disney+ Hotstar terutama terjadi di Indonesia dan Singapura.
Ini tentu tidak terlepas dari kerjasama paket bundling Disney+ Hotstar dengan operator telekomunikasi nomor satu di Indonesia, yakni Telkomsel. Layanan SVOD ini bahkan bisa dinikmati secara gratis jika membeli paket internet Telkomsel untuk harga tertentu.
Jika dibeli terpisah, biaya langganannya pun sangat terjangkau, yakni mulai dari Rp20.000 per bulan.
Sebagai informasi, Disney+ Hotstar baru mulai mulai beroperasi di Indonesia sejak 5 September 2020. Sementara itu, di Singapura baru diluncurkan pada Februari tahun ini. Selanjutnya, layanan ini bakal diluncurkan di Malaysia dan Thailand pada Juni 2021 nanti.
Dengan pertumbuhan yang masif, platform ini telah menggeser posisi Viu di urutan kedua SVOD dengan pelanggan berbayar paling banyak di Asean setelah Netflix. Total pelanggan Disney+ Hotstar kini sudah 4,6 juta. Perusahaan ini menargetkan total pelanggan akan mencapai 230-260 juta pada 2024.
Selain itu, pemain lokal lain asal Indonesia, yakni Vision+ juga menikmati pertambahan jumlah pelanggan baru, sekitar 0,2 juta, atau 3% dari total pelanggan baru layanan SVOD sepanjang kuartal pertama tahun ini.
Berikut ini sebaran pangsa pasar pelanggan baru layanan SVOD pada kuartal pertama tahun ini, berdasarkan riset AMPD Research:
Prospek Masa Depan Layanan SVOD
Berakhirnya pandemi boleh jadi memang bakal secara signifikan mengurangi waktu tonton pelanggan pada layanan SVOD. Namun, pandemi telah mendorong banyak masyarakat untuk memulai menggunakan jasa SVOD untuk menikmati hiburan.
Jika dulunya konsep SVOD belum begitu populer, kini masyarakat sudah cukup familiar dan nyaman menggunakannya. Artinya, tembok terbesar yang menjadi hambatan untuk masuk ke layanan baru ini sudah mulai runtuh.
Sering kali, tantangan terbesar bagi platform digital untuk berkembang adalah untuk pertama kali mengenalkan layanannya kepada pengguna dan mendorong mereka untuk mulai mencoba. Kita tahu, tidak sedikit startup yang mengeluarkan biaya promosi besar-besaran demi menarik minat pelanggan agar mau mencoba.
Segera setelah pengguna memiliki pengalaman yang positif dengan platform tersebut, mereka akan mulai terbiasa menggunakannya. Setelahnya, tinggal bagaimana memastikan mereka tetap bertahan. Hal yang terpenting adalah, platform tersebut telah tertanam dahulu di benak mereka.
Bagi penyedia jasa SVOD, pandemi seperti menjadi berkah sebab alih-alih mereka yang mencari pelanggan, kini pelanggan yang mencari mereka seiring meningkatnya kebutuhan hiburan alternatif yang tak mengharuskan adanya kontak fisik.
Jika menimbang besarnya pertumbuhan jumlah pelanggan SVOD pada kuartal pertama tahun ini, tampaknya jelas masih ada harapan layanan SVOD bakal tetap bertumbuh, setidaknya tahun ini. Namun, jika ingin terus berkembang di masa mendatang, strategi-strategi berbeda tentu harus diadopsi.
Sebab, nantinya pandemi tidak bisa lagi menjadi andalan pada pelaku SVOD untuk menarik banyak pelanggan. Persaingan akan kembali seperti kondisi sebelum pandemi. Akuisisi pengguna baru pun akan menjadi lebih sulit, sebab tidak ada kondisi luar biasa seperti pandemi yang akan memaksa mereka untuk mencoba layanan SVOD.
Sebagai gambaran, pelanggan baru Netflix pada kuartal pertama 2019 atau sebelum pandemi hanya mencapai 7 juta di seluruh dunia, tetapi pada kuartal pertama 2020 setelah pandemi dan lockdown, peningkatan pelanggan baru mencapai 15,8 juta. Namun, pada kuartal pertama tahun ini, pelanggan barunya hanya 4 juta.
Berdasarkan riset lain yang dilakukan oleh Global Market Insights besaran pasar VOD pada 2019 lalu mencapai US$55 miliar. Pada 2020 hingga 2026 mendatang, nilainya diyakini bakal terus meningkat, rata-rata 15% per tahun di Amerika Utara dan lebih dari 19% per tahun di Asia Pasifik.
Nilainya diyakini bakal mencapai US$175 miliar pada 2026 nanti.
Ini tentu saja bakal menjadi peluang besar bagi para pelaku bisnis VOD. Namun, untuk dapat menikmati kue ekonomi tersebut, tentu masing-masing pelaku bisnis perlu menyiapkan strategi yang matang. Apalagi, pandemi dan lockdown kemungkinan bakal makin mereda di tahun-tahun mendatang.
Strategi seperti yang diterapkan Disney+ Hotstar dengan berkolaborasi bersama operator telekomunikasi tampaknya bisa jadi bakal menjadi jalan keluar yang layak ditempuh oleh pemain SVOD lainnya.
Strategi serupa memang dulu pernah ditempuh HooQ, meskipun akhirnya perusahaan ini tutup. Namun, keberhasilan Disney+ Hotstar dapat menjadi petunjuk bahwa strategi ini tidak sepenuhnya usang.
Selain itu, kepemilikan konten eksklusif atau produksi dengan hak intellectual property juga tetap menjadi penentu bagi peningkatan basis pelanggan di masa depan.
Makin banyaknya deretan pemain di industri ini bakal mendorong terjadinya perang harga dan penurunan biaya langganan. Jika tanpa kualitas layanan yang unggul dan menarik, tentu harga akan menjadi satu-satunya andalan untuk menarik pengguna. Itu pun belum tentu efektif.
Date: