Pertaruhan di Momen Genting

Date:

Kebijakan anggaran penanganan pandemi menjadi hal yang paling ditunggu, terutama sejak terjadinya lonjakan kasus baru Covid-19 dan penetapan PPKM Darurat. Dalam waktu singkat, anggaran penanganan pandemi mengalami beberapa kali perubahan.

Alokasi terpenting dan paling dinanti adalah di sektor kesehatan. Semula anggaran kesehatan tahun ini dipatok Rp169,7 triliun, jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu yang mencapai Rp212,5 triliun. Namun, seiring perkembangan kondisi pandemi, pemerintah melakukan perubahan alokasi anggaran.

Terakhir, pemerintah memutuskan untuk mengalokasikan anggaran penanganan pandemi di bidang kesehatan mencapai Rp214,95 triliun, setelah sebelumnya menaikannya berturut-turut dari Rp172 triliun, Rp182 triliun, lalu Rp194 triliun.

Tiga perubahan terakhir terjadi sebagai respons atas perkembangan kondisi pandemi pada awal semester kedua tahun ini. Hal ini masuk akal, menimbang perkembangan kondisi pandemi sejauh ini cenderung makin memburuk, bukannya mereda.

Adapun, turunnya alokasi anggaran pandemi tahun ini sempat menuai banyak kritik tahun lalu, sebab keputusan tersebut dinilai menunjukkan turunnya komitmen pemerintah dalam penanganan pandemi. Apalagi, saat itu peningkatan kasus baru Covid-19 dianggap belum mencapai puncaknya.

Selain itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa kualitas sistem layanan kesehatan di Indonesia masih belum merata. Kehadiran pandemi menyebabkan banyak sistem layanan kesehatan di daerah yang kewalahan dan babak belur.

Jelas, pandemi adalah krisis kesehatan, sehingga sewajarnya jika anggaran kesehatan tetap tinggi. Namun, pemerintah tahun lalu tampaknya berupaya berkompromi dengan ini, sehingga anggaran infrastruktur meningkat drastis dari Rp281,1 triliun menjadi Rp414 triliun.

Maklum, Indonesia masuk dalam kondisi resesi. Proyek infrastruktur adalah proyek padat karya dan berpengaruh besar pada ratusan industri turunannya, sehingga multiplier effect dari setiap proyeknya akan sangat besar bagi ekonomi secara keseluruhan.

Hanya saja, kondisi saat ini menuntut pemerintah untuk menyusun ulang skala prioritasnya, sebab kenaikan kasus pandemi benar-benar mencapai level yang bahkan jauh lebih buruk dibandingkan dengan tahun lalu dan tidak ada yang tahu kapan akan berakhir.

Meski saat ini kita sudah lebih terbiasa dengan kondisi pandemi, tetap saja situasi darurat belum berlalu. Oleh karena itu, tampaknya memang belum saatnya memikirkan lagi proyek infrastruktur, di saat masalah utama yang membelenggu ekonomi belum teratasi.

 

Struktur Anggaran Kesehatan

Kini, anggaran kesehatan untuk penanganan pandemi sudah dinaikan, dan menembus level Rp200 triliun, atau setara dengan alokasi tahun lalu. Namun, menimbang kondisi pandemi saat ini jauh lebih buruk dibanding tahun lalu, akan sangat wajar jika anggaran kesehatan akan naik lagi dalam waktu dekat.

Dalam konferensi pers virtual Kementerian Keuangan akhir pekan lalu, Sabtu (17 Juli 2021), pemerintah telah mengumumkan perubahan komposisi anggaran di pos penanganan kesehatan dari APBN 2021. Anggarannya kini dipatok Rp214,95 triliun, lebih tinggi dibandingkan anggaran yang disampaikan dalam sidang kabinet sebelumnya, yakni Rp193,9 triliun.

Berikut ini rincian alokasi anggaran kesehatan tersebut:

Dari materi paparan Kementerian Keuangan tersebut, terlihat adanya keseriusan pemerintah dalam menyikapi pandemi saat ini. Peningkatan drastis terutama terjadi pada anggaran untuk klaim perawatan pasien dari semula Rp40 triliun menjadi Rp65,9 triliun.

Kenaikan anggaran di pos klaim perawatan pasien ini tentu wajar, sebab sepanjang Juli 2021 telah terjadi lonjakan kasus baru yang sangat tinggi. Puncaknya yakni pada Kamis (15 Juli 2021) pekan lalu, yang mencapai 56.757 orang dalam sehari.

Beberapa hari setelahnya, kita menyaksikan adanya penurunan kasus yang cukup dalam. Per Rabu (21 Juli 2021), kasus baru hanya bertambah 38.325 orang. Angka ini masih tetap tergolong tinggi dan mengkhawatirkan.

Selain itu, kita belum dapat memastikan apakah puncak kasus baru sudah benar-benar berakhir, ataukah justru bakal kembali berbalik arah dan meningkat lebih tinggi lagi.

Beberapa kebijakan anggaran yang cukup mencolok lainnya yakni tambahan insentif tenaga kesehatan (nakes) Rp1,08 triliun sehingga menjadi Rp18,4 triliun. Ini dilakukan dalam rangka menambah jumlah nakes sebanyak 3 ribu dokter dan 20 ribu perawat.

Kenaikan signifikan juga terjadi untuk penyediaan obat Covid-19, yakni dari Rp770 miliar menjadi Rp1,17 triliun, atau naik Rp400 miliar. Kenaikan ini setara 52%, terutama untuk penyediaan obat bagi pasien isolasi mandiri. Pemerintah juga menyiapkan pos baru yakni pengadaan oksigen senilai Rp370 miliar.

Selain itu, ada juga tambahan anggaran Rp2,75 triliun untuk pembangunan rumah sakit darurat, menimbang tingginya kebutuhan rumah sakit saat ini akibat lonjakan pasien. Kondisi saat ini memang sedang genting dan semoga langkah ini belum terlalu terlambat.

Anggaran untuk pengadaan vaksin dan program vaksinasi pun tak kalah tinggi. Selain anggaran awal yang telah dialokasikan senilai Rp57,84 triliun, pemerintah juga menambahkan Rp1,96 triliun untuk percepatan vaksin oleh TNI/Polri dan Bidan, masing-masing 30 juta oleh TNI/Polri dan 37 juta oleh bidan.

 

Buah Keterlambatan

Kenaikan kasus Covid-19 yang signifikan di India beberapa waktu lalu serta adanya kabar mutasi virus yang lebih berbahaya mestinya telah menjadi sinyal darurat bahwa kondisi pandemi bukannya membaik, malah berpotensi makin memburuk.

Cepat atau lambat, varian baru itu tentu bakal masuk ke Indonesia. Apa yang terjadi di India sangat mungkin akan terjadi juga di negara-negara lain, sebab berkaca dari pengalaman tahun lalu, sulit untuk mencegah masuknya Covid-19 ini.

Artinya, sudah semestinya kita mengantisipasi terjadinya kondisi yang sama di Indonesia seperti di India.

Kita mengira pandemi bakal segera terkendali tahun ini seiring dengan adanya vaksinasi. Ternyata, dugaan tersebut keliru. Sementara itu, penyusunan anggaran telah selesai sejak tahun lalu dan terlanjur berjalan sesuai dengan alokasi yang telah diatur.

Turunnya anggaran kesehatan tahun ini menjadikan pemerintah terlambat mengantisipasi lonjakan kasus saat ini. Ujung-ujungnya, akhirnya anggaran kesehatan dinaikkan juga, plus biaya keterlambatan yang tidak sedikit serta korban nyawa yang terlanjur berpulang.

Pemerintah memang terkesan agak menganggap remeh krisis ini dan buru-buru melompat pada upaya memacu ekonomi, di saat upaya penanganan di bidang kesehatan belum sepenuhnya optimal.

Di satu sisi, krisis saat ini memang memaksa pemerintah untuk melonggarkan batas defisit hingga makin lebar. Artinya, ruang fiskal pemerintah memang terbatas.

Namun, di sisi lain anggaran infrastruktur yang besar menunjukkan bahwa sejatinya masih ada ruang yang dapat dioptimalkan untuk penanganan kesehatan, bantuan sosial untuk mendukung langkah lock down/PSBB/PPKM, dan dukungan bagi UMKM untuk pemulihan ekonomi.

Kita memang tidak tahu bahwa Covid-19 bakal makin memburuk tahun ini, sehingga kebijakan anggaran pun terkesan sangat terburu-buru saat ini. Hal ini juga sekali lagi menegaskan lemahnya daya dukung riset dan pengembangan kita dalam menganalisis dan memperkirakan potensi perkembangan Covid-19.

Dalam salah satu studi yang dilakukan oleh lembaga think tank asal Australia, yakni Lowy Institute yang dirilis pada Januari 2021 lalu, Indonesia berada di peringkat 85 dari total 98 negara yang diteliti dalam hal penanganan pandemi.

Peringkat Indonesia ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Asean lainnya. Terdekat, misalnya, adalah Myanmar yakni di peringkat 24, sedangkan Malaysia di peringkat 16, Singapura 13, Thailand 4, dan Vietnam 2.

Mereka merespons perkembangan pandemi jauh lebih baik ketimbang Indonesia. Boleh jadi, penyebab utamanya yakni faktor kompleksitas karakter negara Indonesia yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tersebut. Namun, bisa jadi juga karena strategi yang memang kurang matang.

Berdasarkan laporan tersebut, Indonesia hanya sedikit lebih baik dibandingkan dengan India yang ada di peringkat 86, Amerika Serikat di peringkat 94, Iran 95, dan Brasil di peringkat terendah yakni 98. 

Kini, di tengah situasi yang makin genting, kita hanya dapat berharap-harap cemas terhadap efektivitas langkah pemerintah sembari sebisa mungkin menerapkan protokol kesehatan ketat. Kita tidak pernah tahu dengan pasti kapan pandemi akan berlalu, sehingga sewajarnya kesehatan menjadi prioritas utama saat ini sebelum memikirkan hal lainnya