Pak Jokowi, BUMN IPO Lagi Dong...

Date:

SEJAK Joko Widodo (Jokowi) menjabat sebagai Presiden pada 2014, tidak ada satupun BUMN yang menggelar penawaran umum perdana saham (IPO) di Bursa Efek Indonesia.

BUMN terakhir yang melakukan IPO adalah PT Waskita Karya (Persero) Tbk. pada 19 Desember 2012 pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Pada masa pemerintahan Jokowi, perusahaan yang IPO lebih banyak merupakan anak usaha BUMN, bukan BUMN. Anak BUMN, berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, bukanlah BUMN.

Sepanjang Oktober 2014-2019, delapan anak usaha BUMN melakukan IPO. Dalam kurun waktu yang sama, tidak ada satupun BUMN atau perusahaan yang mayoritas sahamnya dikuasai oleh negara, menjual sahamnya kepada publik.

Pada saat ini, dari sekitar 120-an BUMN, baru sekitar 16 BUMN yang berstatus sebagai perusahaan terbuka. Ketika semakin banyak perusahaan-perusahaan, termasuk BUMN, di negara lain melakukan IPO, kenapa Indonesia tidak melakukan hal yang sama?

Hubungan Pemerintah dan DPR

Pertanyaan mendasar dari situasi itu adalah kenapa tidak ada BUMN yang IPO pada masa pemerintahan Kabinet Kerja (Oktober 2014-Oktober 2019)? Dari sejumlah kemungkinan, salah satunya adalah hubungan pemerintah dan DPR yang tampak tidak akur.

Mantan Menteri BUMN Rini Soemarno. (Foto dari website Kementerian BUMN)

Seperti diberitakan oleh media massa, hubungan Menteri BUMN periode 2014-2019 Rini Soermano dan Komisi VI DPR tidak akrab. Rini “ditolak” untuk rapat bersama Komisi VI DPR karena sejumlah alasan, salah satunya isu PT Pelabuhan Indonesia II (Persero).

Dengan ketidakhadiran tersebut, Presiden menunjuk Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto sebagai wakil pemerintah untuk rapat bersama Komisi VI menggantikan Rini.

Padahal, keharmonisan antara pemimpin Kementerian BUMN dan Komisi VI DPR merupakan hal yang sangat penting, terutama untuk aksi korporasi (termasuk IPO) yang membutuhkan persetujuan dari parlemen. 

Berdasarkan penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan, pemerintah tidak dapat bertindak sendiri melainkan perlu melakukan konsultasi dengan DPR dalam melaksanakan program privatisasi BUMN. Hal itu dilakukan untuk mengurangi resistensi masyarakat luas.

Sama seperti aksi korporasi lain seperti penerbitan saham baru (right issue) BUMN yang membutuhkan izin dari DPR, IPO juga membutuhkan persetujuan dari para politisi lintas-partai.

Dalam proses IPO BUMN, pemerintah harus membentuk komite privatisasi yang beranggotakan sejumlah menteri dimana komite itu bertanggung jawab dan melaporkan hasil kerjanya kepada presiden

Persetujuan DPR merupakan salah satu hal yang membedakan antara IPO BUMN dan IPO perusahaan swasta. Apabila ingin IPO, perusahaan swasta tidak membutuhkan persetujuan DPR. 

Sebaliknya, apabila ingin IPO, BUMN harus mengikuti rapat berulang kali di DPR untuk mendapatkan restu. Padahal, seringkali rapat di DPR itu menghabiskan waktu yang tidak sedikit. Tidak heran sedikit BUMN yang IPO.

Isu Antek Asing

Pada periode pertama pemerintahannya, sosok Jokowi kerap dituding sebagai antek asing oleh lawan-lawan politiknya. Tuduhan itu semakin gencar disampaikan pada 2018 atau awal 2019 menjelang Pilpres 2019.

Jokowi dituduh sebagai antek asing karena beberapa isu seperti tenaga kerja asing (TKA) di sejumlah kawasan industri, isu pinjaman bank raksasa China ke bank-bank BUMN, besarnya nilai impor yang tercatat di neraca perdagangan Indonesia sampai utang pemerintah yang dianggap sangat besar.

Isu antek asing yang mendominasi wacana publik itu membuat isu privatisasi semakin terpinggirkan. Seperti diketahui, privatisasi BUMN adalah menjual sebagian kepemilikan negara kepada investor, baik investor domestik atau asing.

Pada saat ini, porsi kepemilikan saham oleh investor asing di perusahaan-perusahaan Indonesia masih cukup besar. Dengan demikian, IPO BUMN bukan tidak mungkin akan menarik minat investor asing.

Joko Widodo ketika berkampanye dalam Pemilihan Presiden 2019. (Foto oleh Agus Suparto)

Pembelian saham BUMN oleh investor asing tentu saja dapat dipelintir menjadi isu politik yang sensitif yang dapat merugikan Jokowi dan kubu politiknya pada Pemilu 2019. 

Di tengah tingkat literasi keuangan yang rendah, isu penjualan saham BUMN dapat disalahpahami oleh sebagian masyarakat sebagai upaya menjual kekayaan negara kepada asing. Padahal, IPO BUMN tidak serta-merta merugikan negara.

Dalam skala yang lebih mikro, rencana PT Waskita Karya (Persero) Tbk. menjual konsesi jalan tol kepada investor asing dianggap penjualan aset negara kepada perusahaan asing. Padahal, BUMN itu berencana menjual hak kelola, bukan aset. 

Dalam beberapa puluh tahun, hak kelola itu akan dikembalikan kepada pemerintah. Namun, sebagian orang tetap menuduh BUMN —sebagai perusahaan negara— menjual aset negara kepada pihak asing. Isu ini digunakan oleh lawan politik untuk menyerang Jokowi.

Periode 2: Tanpa Beban

Salah satu pernyataan Jokowi yang terkenal adalah “memimpin tanpa beban” di periode kedua (2019-2024). Pernyataan itu didasari bahwa dirinya tidak bisa lagi mencalonkan diri sebagai Presiden untuk yang ketiga kalinya pada Pemilu 2024.

Pernyataan “memimpin tanpa beban” itu dimaknai beragam. Kondisi itu sebenarnya dapat digunakan oleh Jokowi untuk melakukan lompatan besar dalam mendukung rencana IPO BUMN.

Pertama, karena tidak ada lagi “beban”, Jokowi dapat mendukung IPO BUMN tanpa harus takut untuk diserang dengan isu antek asing. Setelah Pemilu, isu antek asing tidak lagi dilontarkan secara masif oleh kubu oposisi, terutama setelah rival politik Jokowi yaitu Prabowo Subianto bergabung ke pemerintahan.

Kedua, hubungan Kementerian BUMN dan Komisi VI DPR sudah membaik. Pada saat ini, Menteri BUMN yang baru, Erick Thohir telah mengikuti rapat bersama Komisi VI beberapa kali dan tampak tidak ada masalah yang berarti seperti halnya Rini Soemarno versus DPR.

Sepintas, situasi ini menjadi awal yang baik bagi hubungan Kementerian BUMN dan Komisi VI DPR yang kini juga diisi oleh wajah-wajah baru. Hubungan yang baik antara pemerintah dan DPR seharusnya dapat menjadi momentum bagi IPO BUMN.

Ketiga, IPO adalah aksi korporasi yang dapat membantu BUMN mendapatkan dana segar untuk keperluan ekspansi. Di periode kedua, Jokowi masih gencar mendorong pembangunan di berbagai sektor, termasuk sektor-sektor yang digarap oleh BUMN seperti infrastruktur, minyak dan gas sampai kelistrikan.

Sama seperti Presiden dari berbagai negara lain, Jokowi bukan pemimpin yang alergi terhadap investasi asing. Dalam beberapa tahun terakhir, Jokowi gencar mendorong investasi asing masuk ke Indonesia. Investasi itu bukan hanya bisa masuk dalam bentuk Foreign Direct Investment, tapi juga masuk ke pasar saham.

IPO juga bisa menjadi bentuk kontrol yang lebih ketat terhadap tata kelola perusahaan mengingat status perusahaan yang akan berubah menjadi perusahaan terbuka. 

Berbagai data kinerja perusahaan akan menjadi data publik yang bisa diakses umum. Tambahan regulasi yang dikenakan otoritas bursa juga menjadi tambahan kontrol yang berlaku bagi BUMN yang go public.

Pelajaran dari Negara Sahabat

Indonesia bisa belajar dari sejumlah negara sahabat yang perusahaan milik negaranya melepas sahamnya untuk dibeli oleh masyarakat. Dari sekian banyak contoh, Pertamina-nya Thailand yaitu PTT Public Company Limited dapat menjadi pelajaran.

Di Indonesia, isu IPO Pertamina bukan tidak mungkin akan menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan. Pemerintah bakal dituduh menjual aset negara kepada asing kendati niat IPO sebenarnya bukan untuk itu.

Di Thailand, masyarakat bisa membeli saham “Pertamina-nya Thailand” atau PTT. Dengan kata lain, apabila PTT itu untung maka masyarakat juga bisa mendapatkan keuntungan, baik secara langsung atau tidak.

Di samping itu, publik juga dapat mengawasi kinerja perusahaan tersebut karena secara berkala perusahaan yang telah berstatus terbuka diwajibkan untuk melaporkan laporan keuangan atau laporan lainnya. Perusahaan tidak hanya diawasi oleh satu pemegang saham, tapi banyak dan dari berbagai latar belakang.

PTT  itu telah IPO sejak 2001 di Bursa Efek Thailand. Kendati demikian, pemerintah Thailand melalui Kementerian Keuangan tetap menjadi pemegang saham mayoritas PTT Public Company dengan kepemilikan 51%. 

Setelah PTT IPO pada 2001, perusahaan itu kian membesar dari tahun ke tahun. Bisnisnya tidak lagi hanya di wilayah Thailand, tapi juga di berbagai benua lain seperti Amerika, Australia dan Afrika. PTT memiliki proyek di berbagai negara Asia, termasuk Indonesia.

Dalam peringkat 500 perusahaan besar dunia yang dirilis oleh majalah Fortune, PTT masuk ke peringkat 130. Bagaimana dengan Pertamina? Perusahaan yang dianggap sangat besar di Indonesia itu “hanya” berada di peringkat 175.

BUMN Indonesia, termasuk Pertamina, seharusnya bisa lebih besar daripada saat ini.