Apa yang Kamu Pikirkan Jika Mendengar Kata Afghanistan?
Karena kebanyakan dari kita lebih suka untuk membicarakan dapur orang lain dan kemudian membandingkan dengan apa yang kita punya. Rasanya membayangkan tiap orang berbicara tentang apa yang sedang terjadi di tanah Syam adalah perkara mudah.
Belakangan kita dipertontonkan sebuah lanskap negara yang gagal dan hancur. Bagaimana tidak, sebagian dari warganya berlomba-lomba untuk keluar mencari suaka hanya’ karena saudara dari kota lain datang untuk berkunjung. Orang pergi meninggalkan kota, bermukim di bandara, mengendarai mobil sejauh mungkin untuk bisa keluar dari Afghanistan, sampai yang paling tragis memilih bunuh diri.
Genap tiga dekade perang sipil di Afghanistan pecah dan masih menemui jalan buntu hingga saat ini. Ajakan berantam lebih sering terpampang ke pelosok negeri sejak pemerintahan Burhanuddin Rabbani runtuh di tahun 1996 dan Taliban memulai kiprahnya. Sempat menguasai Afghanistan sampai September 2001, Taliban dipukul mundur imbas invasi tentara AS dan sekutu.
Semenjak itu, tak ada kehidupan, jalan-jalan protokol tak ubahnya kota mati dan mendatangkan aura mencekam, kira-kira begitu yang digambarkan Qaris Tajudin saat meliput ke Afghanistan.
Anak-anak lebih senang bermain AK-47 -- senapan serbu rancangan Mikhail Kalashnikov -- sambil gagah-gagahan. Sekolah dijadikan tempat bertukar pikiran sambil menjaga eksistensi kelompok. Rumah sakit dan akses publik hanya dikuasai oleh sebagian orang. Si kaya makin kaya dan si miskin makin sengsara.
Harapan untuk hidup setara dan adil adalah nilai yang tak ada bandingannya. Meski Malala Yousafzai terus bersuara. Rasa-rasanya hal itu sulit untuk didapatkan oleh perempuan yang hidup di Afghanistan.
Berbicara tentang Taliban memang panjang dan berbelit-belit.
Tapi tidak bagi mereka yang gemar berperang. Kalau membicarakan konteks Taliban saat ini, orang akan merujuk pada panglima perang Mullah Mohammed Omar dan politikus kawakan Mullah Abdul Ghani Bandar. Keduanya punya peran khusus untuk menjadikan Taliban populer dan kuat di negeri Syam selama dua dekade terakhir.
Walaupun Amerika Serikat dan sekutu telah menghabiskan dana sekitar US$ 2,26 triliun dan telah merenggut lebih dari 3.500 kematian serta 20.660 orang mengalami trauma berat pasca konflik. Sayangnya, hal ini tak cukup membuat Taliban mati kutu. Kendati beberapa kali kalah perang dan harus mundur ke wilayah pesisir. Kelompok pimpinan Mullah Mohammed Omar tetap kuat dan eksis hingga sekarang.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana Taliban bisa berperang begitu lama dan dari mana sumber dananya?
Jawabannya tidak ada yang tahu. Jika merujuk pada pola pendanaan Bashar al-Assad di Suriah yang mengakali sanksi dan embargo dari negara barat dengan membuat perusahaan offshore bersama kawan masa kecilnya, bukan tidak mungkin hal ini juga dilakukan oleh Taliban. Lebih dari itu, sebenarnya Afghanistan menguasai sekitar 84% dari produksi opium dunia selama lima tahun terakhir, menurut United Nations World Drug Report 2020.
Ada juga potensi mineral dan tentunya sumbangan dari beberapa negara yang sampai saat ini belum terbukti.
Menurut laporan Afghanistan Research and Evaluation Unit, Taliban seperti kartel narkoba dalam serial El Chapo. Beberapa pejabat membuat kebijakan publik yang melanggengkan perdagangan narkotika dan memberikan akses kepada Taliban.
Tapi sebetulnya saya jadi teringat adegan dalam serial House of Cards yang mengisahkan drama politik dan lobi di Amerika. Frank Underwood dan istrinya Claire sempat bersitegang soal kebijakan di semenanjung Arab. Frank punya motif politik sedangkan Claire sepenuhnya ingin membebaskan negara-negara di Jazirah Arab dari belenggu hak asasi.
Namun, pada akhirnya saya menyadari. Entah tekanan politis atau masalah presensi. Perang akan membawa lebih banyak kabar buruk. Tangisan akan terus hadir sepanjang malam, membuat mimpi setiap anak tak lebih berharga dari kotorannya.
Kita memang tidak dalam kondisi peperangan atau adu jotos, tapi saya berpikir, kondisi kita juga mengkhawatirkan. Setiap kali membuka gawai, rusuk kita seakan ditusuk berkali-kali. Duka silih berganti, berita buruk terus-menerus datang dan mengancam kejiwaan. Yang pada akhirnya membuat kita paham perasaan dan pikiran warga Afghanistan.
Meski berulang kali saya berpikir “Astaga, mengapa saya punya waktu untuk memikirkan hal ini.” Padahal beban kehidupan terpajang dengan jelas begitu keluar dari pintu kamar mandi.
-------------------------------
Tulisan ini pertama kali tayang di nawala Big Alpha. Jika kamu ingin berlangganan nawala kami, silahkan daftar di sini. Semua orang berhak mendapatkan akses informasi keuangan. Kami bertujuan untuk terus menyampaikan informasi tanpa adanya potensi konflik kepentingan. Menganalisa sebuah isu agar mudah dipahami dan mengapa hal tersebut penting. Kontribusi dari kamu memastikan kami untuk tetap independen serta terus memproduksi konten secara inklusif. Jika kamu suka dengan tulisan ini, kamu bisa traktir kami satu gelas kopi yang biasa kamu beli.
Date: