Nasib Pariwisata Ramah Muslim yang Tak "Ramah" Saat Pandemi

Date:

[Waktu baca: 5 menit]

Digadang-gadang bakal terus tumbuh subur sejak medio 2016, kontribusi Pariwisata Ramah Muslim (PRM) terhadap perekonomian negara bak hilang ditelan bumi. Meledaknya pandemi Covid-19 membuat PRM menghadapi situasi yang tidak mudah.

PRM adalah konsep yang biasa dipakai untuk mengkategorikan sektor pariwisata dalam negeri yang cenderung ramah terhadap pemeluk Islam. Istilah ini belakangan lebih sering disinggung Sandiaga Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) yang baru itu dengan sebutan “wisata halal.”

Laporan State of the Global Islamic Economy Report menunjukkan bahwa dari US$1,66 triliun perputaran uang di sektor pariwisata global sepanjang 2019, sebanyak US$194 miliar di antaranya bersumber dari PRM.

Pada laporan tersebut Indonesia menempati peringkat 5 dengan jumlah perputaran uang US$11,2 miliar atau setara Rp160 triliun lebih.

Sementara bila mengacu data Global Islamic Economy Indikator, sebagaimana dikutip Laporan Ekonomi dan Keuangan Syariah (LEKSI) 2020, Indonesia menempati peringkat 4 negara dengan prospek PRM terbesar di dunia selama 2016-2019.

Sayangnya, pada 2020, Indonesia melorot ke peringkat 6. Mengacu catatan BI dalam LEKSI 2020, kontraksi PRM Indonesia sepanjang tahun lalu mencapai 70 persen bila dibandingkan rapor 2019. Tekanan ini jauh lebih deras bila dibandingkan sektor syariah lain. Seperti fesyen muslim yang hanya terkontraksi 2,9 persen, atau makanan halal yang kontraksinya terbatas di 0,2 persen saja. 

Bila dibedah lagi, PRM diukur berdasarkan indikator di beberapa sub-kategori. Masing-masing adalah penyediaan akomodasi, penyediaan makan minum, angkutan rel, angkutan darat, angkutan laut, angkutan sungai dan penyeberangan, serta angkutan udara.

Penyediaan akomodasi ramah muslim berkontribusi cukup besar terhadap penurunan karena kontraksinya mencapai 24,4 persen secara year on year (yoy).

Survei yang dilakukan Bank Indonesia terhadap responden di 34 provinsi menyimpulkan bahwa 82,56 persen pengusaha hotel syariah di Indonesia sampai harus melakukan pengurangan karyawan. Sementara bila diukur berapa banyak yang mengalami dampak negatif—penyesuaian gaji, jam kerja, dan omzet—seluruh responden (100 persen) menyatakan terdampak.

Kemudian, dua subsektor lain yang kontraksinya juga besar adalah angkutan udara dan angkutan rel. Masing-masing 5,18 persen dan 42,34 persen.

“Terhambatnya pertumbuhan PRM sebagai dampak pandemi Covid-19 selanjutnya telah menyebabkan meningkatnya pengangguran, kemiskinan serta memperlebar ketimpangan,” tulis BI.

Dalam 5 tahun terakhir, ini adalah kali pertama PRM membukukan kontraksi kinerja.

Secara kronologis, kuartal I/2020 sebenarnya masih menampakkan pertumbuhan PRM 1,81 persen. Namun begitu memasuki kuartal kedua, rapor minus terus-terusan mengiringi sektor PRM. Laporan Katadata menyebut titik terbawah adalah ketika rata-rata pengusaha di sektor PRM hanya mampu meraup omzet di kisaran 0-15 persen kondisi normal. 

Jelang akhir tahun, kondisi sebenarnya mulai membaik. Sebagaimana diwartakan Republika pada 27 Desember 2020, Perkumpulan Pariwisata Halal Indonesia (PPHI) menyatakan omzet bisnis-bsinis wisata halal sudah mulai membuahkan omzet lebih baik. Hanya saja, kondisinya masih tetap jauh dari kata memuaskan, yakni pada kisaran 20-40 persen omzet prapandemi. 

Lantas, bagaimana dengan peluangnya tahun ini?

Proyeksi kinerja PRM tentu tak bisa dilepaskan dari rapor masing-masing subsektor.

Secara sentimen, pemerintah telah mengupayakan beberapa pemantik untuk memulihkan PRM. Misalnya untuk transportasi rel dan udara, yang tahun lalu berkontribusi paling besar terhadap penurunan PRM. Sejak Januari 2021, pemerintah telah mengizinkan kereta dan pesawat menampung penumpang dengan kapasitas penuh (100 persen).

Hanya saja, hasilnya memang belum tampak. Pandemi yang belum benar-benar tuntas membuat masyarakat masih was-was untuk berwisata ke destinasi-destinasi PRM.

Sulit memang mencari data spesifik soal transportasi menuju destinasi PRM. Namun, gambaran mengenai tekanan ini setidaknya tetap bisa tergambar bila melihat tren jumlah penumpang kereta dan secara keseluruhan dan bandara di kawasan-kawasan utama Indonesia.

Perbandingan Penumpang Kereta dan Pesawat Januari-Februari 2021 dengan Tahun Sebelumnya (dalam ribuan)

Sumber: BPS

Baca juga: Meneropong Potensi Bisnis Fesyen Syariah di Indonesia

Berkurangnya jumlah penumpang tersebut tentu bakal berpengaruh pula ke pendapatan sub-sektor penyedia akomodasi yang erat persinggungannya dengan hotel dan penginapan.

Prospek kunjungan ke lokasi-lokasi PRM juga masih akan menghadapi rintangan berat seiring masih minimnya kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) karena adanya restriksi mobilitas dari pemerintah Indonesia maupun pemerintah negara lain.

Sepanjang Januari-Februari 2021, kunjungan Wisman di Indonesia tak bergerak jauh dari rentang 100 ribuan. Angka tersebut berbanding jauh dari tahun-tahun sebelumnya ketika kunjungan rutin berkisar di angka 1 jutaan.

Perbandingan Kunjungan Wisman Januari-Februari 2021 dengan Tahun Sebelumnya (dalam ribuan)


Belum lagi bila dibedah berdasarkan asal negara.

Bila dibedah, kunjungan wisman sepanjang Februari cenderung minim diisi warga negara muslim. Barangkali hanya Malaysia yang dominan dengan proporsi 32 persen.

Sisanya lebih banyak berasal dari negara-negara yang bukan didominasi penduduk Islam seperti Timor Leste, Papua Nugini dan China. Kondisi tidak beda jauh juga tampak di bulan Januari ketika wisman Timor Leste masih jadi kontributor utama kunjungan wisman.

Pariwisata Ramah Muslim (PRM) sudah barang tentu bisa bangkit dan "ramah" kepada para pemangku kepentingannya selama subsektor-subsektor penopangnya pulih. Namun, bila melihat situasi sekarang, agaknya hal tersebut belum akan terjadi dalam waktu dekat.

 

Tags: