Meneropong Potensi Bisnis Fesyen Syariah di Indonesia

Date:

[Waktu baca: 6 menit]

“Ini adalah peluang bagi Indonesia, baik untuk pasar domestik maupun untuk ekspor.”

Kalimat pendek tersebut terlontar dari mulut Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat menjadi pembicara dalam sebuah webinar panel yang dihelat Universitas Islam (UIN) Malang, 4 Juni 2020. Ma’ruf bukan sedang bicara tentang potensi penjualan nikel atau CPO, melainkan soal potensi pendapatan dari produk-produk fesyen muslim dalam negeri. 

Pemerintah tahun lalu meneken Perpres Nomor 28 Tahun 2020 tentang Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), yang poinnya bertujuan menjadikan Indonesia sebagai pusat industri halal. Dan fesyen muslim, menurut Ma’ruf, akan menjadi salah satu segmen paling menggiurkan.

Komposisi Belanja Industri Halal Global 2019 (dalam US$ miliar)

Pandangan semacam itu bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Data memang menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu pasar yang prospektif untuk industri fesyen muslim.

Sebuah riset yang disusun DinardStandard berjudul State Global Islamic Economy Report, yang dirilis pada Desember 2020, menyebutkan bahwa konsumsi fesyen muslim di Indonesia masuk dalam jajaran 5 besar dunia.

Riset tersebut menyebutkan bahwa sepanjang 2019 saja, total konsumsi fesyen muslim orang Indonesia berada pada kisaran US$16 miliar atau setara Rp233 triliun lebih bila dikonversi dengan kurs JISDOR saat ini.

Negara dengan Konsumsi Busana Muslim Tertinggi 2015 (dalam US$ miliar)

Baca juga: Bank Syariah Terbukti Lebih Tahan Banting

Sebagai informasi, pada 2019 total konsumsi produk fesyen muslim di seluruh dunia mencapai US$277 miliar. Angka ini diproyeksi mengalami kontraksi pada 2020 kemarin, dengan nominal meleset ke angka US$268 miliar.

Namun, untuk 2021 ini, riset DinardStandard memproyeksi angkanya akan mulai bertumbuh lagi secara berangsur pada kisaran 2,4 persen per tahun. Puncaknya, total konsumsi produk fesyen muslim global ditaksir bisa mencapai US$311 miliar pada 2024, dan seiring lonjakan tersebut negara-negara penghuni papan atas seperti Indonesia bakal mengalami kenaikan menonjol.

Mengapa prospek dan belanja fesyen muslim di Indonesia sebegitu tingginya?

Jawaban paling sederhana dari pertanyaan tersebut jelas faktor demografi.

Jumlah populasi orang muslim di Indonesia saat ini ditaksir menembus level 219 juta, jika mengacu sensus penduduk terakhir. Angka tersebut setara dengan 12,6 persen populasi muslim global.

Sebuah riset yang dilakukan Oglivy Noor terhadap responden muslim perempuan di berbagai dunia menunjukkan bahwa di kalangan pemeluk Islam, sekitar 90 persen orang menyatakan bahwa aturan agama punya pengaruh dalam merumuskan belanja fesyen mereka.

Faktor demografi tersebut memang sudah tertanam di Indonesia sejak jauh-jauh hari. Akan tetapi, faktor kedua alias alasan lain yang membuat mengapa industri fesyen muslim di masa lampau belum semenggeliat 3-4 tahun terakhir adalah cenderung rendahnya minat belanja orang Indonesia terhadap produk fesyen muslim.

Dalam beberapa tahun terakhir, rendahnya minat tersebut dieliminir oleh beberapa perusahaan ecommerce khusus produk fesyen muslim. HijUp, Saqina.com, Hijabenka hingga MuslimMarket.com adalah beberapa contoh di antaranya.

HiJup salah satunya. Mengacu data Crunchbase, kesuksesan perusahaan ini menarik dan membantu memasarkan produk-produk fesyen muslim dalam negeri telah berhasil menarik minat sejumlah investor. Startup ini kini telah mendapat beberapa kali pendanaan dari Google Launchpad Acceleraor, Indogen Capital, Pegasus Tech Fenturs, Skystar Capital, 500 Startups hingga Emtek Group.

HiJup bahkan telah melebarkan sayap ke Inggris dan mengakuisisi salah satu e-commerce fesyen asal Negeri Ratu Elizabeth, Haute Elan.

Ecommerce khusus fesyen asal luar negeri seperti Zalora juga punya kontribusi. Salah satu manuver besar perusahaan ini adalah melakukan konsolidasi dengan Hijabenka, e-commerce yang kemudian menjelma menjadi produsen produk fesyen muslim lokal.

Tren belanja e-commerce di platform yang lebih umum seperti Tokopedia juga tidak kalah kontributif. Baru-baru ini, di tengah pandemi Tokopedia bahkan melaporkan bahwa sepanjang 2020 penjualan produk fesyen di platformnya meningkat 2 kali lipat dibanding rapor 2019.

“Baju koko pria, rompi muslim, sajadah, sarung anak dan jilbab menjadi produk dengan peningkatan transaksi paling tinggi di Tokopedia sepanjang 2020 dibandingkan 2019,” ujar Head of Category Development Tokopedia Falah Fakhriyah seperti dilansir Kompas Februari lalu. 

Sementara dari segi produsen, semakin beraninya merek-merek kelas global seperti Nike dan H&M untuk merilis segmen produk muslim juga berkontribusi terhadap konsumsi belanja fesyen muslim orang Indonesia.

Kehadiran merek-merek global tersebut ke Indonesia sebenarnya merupakan pisau bermata dua.

Di satu sisi, adanya kompetitor akan membuat merek-merek lokal—yang diharapkan pemerintah bisa berkontribusi lebih bagi pertumbuhan industri fesyen domestik maupun ekspor—jadi semakin terpacu untuk meningkatkan kualitas.

Namun di sisi lain, merek-merek tersebut juga berpotensi membuat produk lokal kian terpinggirkan.

Tekanan tersebut bahkan turut dirasakan kalangan desainer. Desainer sekaligus eks Ketua Indonesia Fashion Chamber Ali Charisma, misalnya, dalam sebuah wawancara dengan CNBC Indonesia pernah mengakui bahwa secara tren “60 persen konsumen Indonesia masih cenderung menyukai merek fesyen asing ketimbang lokal.”

Sebenarnya, bila ditarik ke prospeknya, posisi konsumsi fesyen hijab di Indonesia berada di urutan kelima dunia masih cenderung di bawah ekspektasi.
Riset DinardStandard awalnya menempatkan Indonesia pada peringkat tiga sebagai negara dengan peluang pendapatan fesyen muslim terbesar. Dengan skor 57,4, Indonesia hanya kalah dari Uni Emirat Arab dan Turki.

10 Besar Negara dengan Prospek Fesyen Muslim Terdepan


Namun faktanya konsumsi fesyen muslim di Indonesia—terlepas dari nominalnya yang besar—masih kalah saing dari negara-negara dengan prospek cenderung lebih kecil seperti Pakistan, Arab Saudi dan Iran.

Kini, seiring kehadiran KNEKS yang didapuk pemerintah sebagai lembaga yang bertugas mengembangkan ekosistem ekonomi syariah, patut dinanti apakah posisi Indonesia sebagai salah satu kiblat dan penggerak fesyen muslim global akan membaik atau justru memburuk.
 
 

Tags: