Manuver Strategis MPPA di Lini Digital
PT Matahari Putra Prima Tbk. merupakan salah satu emiten Grup Lippo yang cukup banyak mendapatkan sorotan akhir-akhir ini, terutama berkaitan dengan aksi korporasinya yang melibatkan grup dekakorn GoTo.
Namun, sepanjang bulan Oktober 2021 hingga hari ini, Selasa (19 Oktober 2021), saham emiten berkode MPPA ini tercatat hanya satu kali menghijau, yakni pada Kamis (14 Oktober 2021) pekan lalu. Selebihnya, saham perseroan mengalami tekanan jual oleh investor sehingga memerah.
Bahkan, saham MPPA mengalami beberapa kali auto rejection bawah (ARB) atau turun hingga mencapai batas bawah persentase penurunan harian yang diizinkan oleh Bursa Efek Indonesia. Namun, sebelum tren penurunan ini terjadi, saham MPPA sudah lebih dahulu terbang sepanjang paruh pertama tahun ini.
Saham MPPA pada akhir 2020 lalu berakhir di level Rp105 per saham. Sahamnya mulai bergerak menguat pada awal Februari 2021 dan berlanjut pada Maret 2021. Sejak awal April 2021, saham MPPA mendadak meroket dari Rp298 menjadi Rp860 pada 22 April 2021 dan terkena suspensi.
Saham MPPA sempat turun pada awal Mei 2021 setelah suspensi dibuka, tetapi segera melaju lagi hingga menembus level Rp1.000. Harga saham perseroan pun terus melaju hingga menembus level tertinggi di Rp1.235 pada 9 Juni 2021. Artinya, sahamnya meningkat 1.076% year-to-date (YtD).
Setelah mencapai level puncak itu, saham MPPA cenderung melemah. Meski sempat beberapa kali rebound, saham MPPA pada akhirnya cenderung turun lebih dalam lagi setelah rebound tersebut. Penurunan paling tajam pun terjadi sepanjang bulan Oktober 2021.
Dengan level harganya yang kini di posisi Rp555 per akhir perdagangan sesi pertama hari ini, Selasa (19 Oktober 2021), saham MPPA tercatat masih meningkat 429% YtD. Namun, jika dibandingkan dengan harga tertingginya tahun ini, saham MPPA sudah turun 55%.
Fluktuasi harga yang sangat tajam ini menjadikan saham MPPA ini menarik untuk dicermati, terutama untuk memahami sentimen di baliknya dan memperkirakan seberapa besar pengaruh sentimen tersebut bagi bisnis MPPA di masa mendatang.
Rencana Rights Issue
Kabar terbaru dari MPPA adalah rencananya untuk menggelar penerbitan saham baru dengan memberikan hak untuk memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau rights issue. Namun, sebelum itu, kabar terhangat lainnya adalah resminya Grup GoTo menjadi bagian dari pemegang saham MPPA.
Dengan demikian, dalam rights issue yang bakal digelar ini, GoTo bakal turut berpartisipasi dalam menyerap haknya.
Adapun, perseroan berencana untuk melepas sebanyak-banyaknya 1,71 miliar saham baru dengan nilai nominal Rp50 dan harga pelaksanaan Rp760 per saham. Dengan demikian, total dana segar yang berpotensi dikantongi dari hasil rights issue ini mencapai Rp890,11 miliar.
Jumlah saham baru tersebut akan setara dengan 13,46% dari total modal ditempatkan dan disetor penuh pada MPPA setelah aksi korporasi ini rampung. Dalam prospektus rights issue ini, MPPA telah memastikan bahwa PT Multipolar Tbk. (MLPL) selaku pengendali akan menjadi pembeli siaga.
MLPL memastikan akan menyerap bagian haknya yakni senilai Rp281,18 miliar dan juga siap menyerap hak yang tidak diserap oleh investor lainnya hingga maksimal Rp438,81 miliar. Dengan kata lain, dana maksimal yang dipersiapkan MLPL untuk aksi korporasi ini adalah Rp720 miliar.
Dalam rights issue kali ini, setiap pemegang 45 saham MPPA akan mendapatkan 7 HMETD, yang mana masing-masing HMETD berhak untuk menebus satu saham baru MPPA. Jika berjalan dengan lancar, seluruh proses rights issue ini bakal tuntas pada 15 Desember 2021 nanti.
Dana hasil rights issue ini bakal digunakan untuk modal kerja, antara lain peningkatan kualitas persediaan, renovasi toko, pengembangan omni-channel, dan ekspansi baru yang berdampak pada peningkatan aset tetap.
Adapun, sebelumnya Grup GoTo telah resmi masuk menjadi salah satu pemegang saham terbesar MPPA, yakni dengan porsi kepemilikan 6,74%. Kabar ini sudah lama beredar di pasar hingga akhirnya terealisasi pada awal bulan ini, tepatnya 4 Oktober 2021.
Sebelumnya, Gojek secara mandiri juga sudah membeli saham MPPA pada April 2021 lalu. Gojek melalui anak perusahaannya, yakni PT Pradipa Darpa Bangsa, telah membeli 4,76% atau setara dengan 358.530.900 saham MPPA yang dilepas MLPL.
Rencana GoTo untuk meningkatkan kepemilikan di MPPA tampaknya menjadi salah satu sentimen yang memanaskan harga saham MPPA sepanjang tahun ini. Sebab, langkah ini tentu bakal menjadikan MPPA masuk dalam ekosistem digital bisnis Gojek dan Tokopedia sehingga secara teoritis prospeknya makin menjanjikan.
Namun, begitu kabar tersebut terkonfirmasi, fenomenanya berbalik dari sebelumnya buy on rumor menjadi sell on news. GoTo dikabarkan membeli 507 juta saham MPPA yang sebelumnya dimiliki oleh MLPL di harga Rp700 per saham atau total Rp355 miliar. Jumlah itu setara dengan 6,74% saham MPPA.
Tekanan jual investor justru makin menjadi-jadi akhir-akhir ini sehingga harga saham MPPA di pasar (Rp555) kini sudah lebih rendah dibandingkan dengan harga beli oleh Grup GoTo (Rp700) maupun rencana harga pelaksanaan rights issue perseroan (Rp760).
Dengan kondisi seperti ini, harga rights issue MPPA bakal terlihat kurang menarik, sebab investor harus menebusnya pada harga yang lebih tinggi dari harga pasar. Artinya, akan lebih murah dan menguntungkan bagi investor jika membeli langsung saham MPPA di pasar ketimbang menebus rights issue-nya.
Kondisi ini hanya akan berbalik jika dalam beberapa waktu ke depan sebelum pelaksanaan rights issue, harga saham MPPA kembali menguat hingga lebih tinggi dari harga rights issue tersebut.
Prospek Bisnis MPPA
Dari sisi kinerja keuangan, MPPA sejatinya sangat tidak mengesankan. Laba emiten ini terus menurun sejak 2014 lalu dan mulai rugi sejak 2017 hingga saat ini. Meskipun demikian, kabar baiknya adalah tingkat kerugiannya cenderung berkurang. Namun, rugi tetaplah rugi.
Dengan kinerja keuangan yang seperti itu, memang rasanya terlalu berlebihan untuk mengapresiasi harga sahamnya terlalu tinggi tahun ini. Dengan level harga Rp555, rasio harga berbanding nilai buku atau price to book value ratio (PBV) MPPA mencapai 38,3 kali.
Rasio PBV ini jauh lebih tinggi ketimbang emiten ritel lain seperti emiten satu grup yakni PT Matahari Department Store Tbk. (LPPF) yang PBV-nya hanya 5,57 kali. Demikian juga emiten pesaingnya seperti PT Hero Supermarket Tbk. yang PBV-nya hanya 5,99 kali.
Kendati demikian, masuknya GoTo sebagai pemegang saham memang tidak dapat dianggap remeh. Bagaimanapun, grup GoTo kini menjadi salah satu grup perusahaan teknologi terkuat dengan ekosistem digital yang solid dan sedang terus berkembang.
Sebagai e-commerce dan penyedia jasa ride hailing, tidak sulit untuk membayangkan model kerja sama yang akan dilakukan dengan MPPA yang adalah perusahaan ritel. Kerja sama keduanya pun sudah lama dimulai dan memang saling menguntungkan.
MPPA diuntungkan karena dapat masuk dalam ekosistem GoTo dan memuluskan strategi omnichannel perseroan, sedangkan bagi GoTo akan meningkatkan eksposur mereka terhadap pelanggan setia Hypermart yang akan beralih memanfaatkan platform digital GoTo.
Pada prinsipnya, kerja sama ini bakal memperkuat modal bisnis online-to-offline (O2O) yang ingin disasar baik oleh GoTo maupun MPPA. Kerja sama ini memungkinkan Grup GoTo untuk mengakselerasi pertumbuhannya.
Perusahaan e-commerce membutuhkan kerja sama dengan perusahaan yang memiliki gerai produk kebutuhan sehari-hari masyarakat, sehingga dapat lebih optimal melayani pelanggannya. Selain itu, lokasi gerai juga sebaiknya tidak jauh agar dapat dilayani dengan cepat dan mudah, dalam hal ini oleh perusahaan ride hailing seperti Gojek.
Nah, MPPA sendiri saat ini sudah memiliki sedikitnya 212 gerai Hypermart di 72 kota yang tersebar di seluruh Indonesia. Dengan demikian, kerja sama ini menjadi ideal bagi keduanya.
Kerja sama ini sangat mungkin untuk meloloskan MPPA dari jerat kerugian yang selama ini menderanya. Hal itu pun sudah mulai terbukti dengan kinerja perseroan pada paruh pertama tahun ini yang terlihat membaik dari sisi bottom line. Berikut ini kinerja keuangan MPPA:
Dari data tersebut, terlihat bahwa pendapatan MPPA memang masih cenderung terus menurun, melanjutkan tren yang terjadi sejak 2016 lalu. Namun, kerugiannya juga terus berkurang dari tahun ke tahun. Pada paruh pertama tahun ini, kerugiannya berkurang 58% year-on-year (YoY).
Jika ditilik pada laporan keuangannya, perbaikan kinerja itu terutama terjadi karena berkurangnya aneka beban usaha perseroan. Alhasi, MPPA berhasil membukukan laba usaha sebesar Rp50,4 miliar, berbalik dari rugi usaha sebesar Rp93 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
Bisnis MPPA memang sedang terseok-seok saat ini. Namun, perseroan menyimpan potensi bisnis yang cukup besar. Seperti telah disebutkan sebelumnya, MPPA memiliki jaringan gerai Hypermart yang luas. Tahun ini, Hypermart pun berhasil meningkatkan penjualan online empat kali lipat dibanding tahun lalu setelah menjalankan strategi O2O.
MPPA kini sedang dalam rencana pengembangan konsep jaringan toko sebagai warehouse untuk penyediaan barang, yang mana penjualannya akan dilayani secara online. Ini mengurangi ketergantungan terhadap gerai raksasa Hypermart dan bisa dibangun dengan lebih murah dan banyak.
MPPA bakal mengembangkan bisnis ritel yang mereka sebut sebagai dark store, yakni toko-toko yang lebih kecil dengan biaya sewa yang murah dan menyediakan produk segar dan kebutuhan keseharian masyarakat. Toko-toko ini akan menjadi pusat bagi distribusi penjualan online.
Nah, dana hasil rights issue yang bakal digelar perseroan akan digunakan untuk membangun jaringan gerai dengan konsep baru ini. Hal itu juga yang menjadi tujuan masuknya GoTo sebagai pemegang saham MPPA, yakni agar dapat turut mengintervensi rencana pengembangan bisnis MPPA ke depannya.
Pada Juli 2021 lalu, MPPA bersama Gojek juga telah meluncurkan 31 toko virtual di Jabodetabek melalui platform belanja GoMart. Sementara itu, kerja sama MPPA dan Tokopedia telah dimulai sejak Desember 2020 melalui 23 gerai di Jabodetabek, lalu menjadi 47 gerai pada April 2021, 82 gerai pada Mei 2021, hingga 95 gerai pada Juni 2021.
Melalui kepemilikan saham di MPPA, komitmen GoTo untuk mengembangkan bisnis O2O menjadi lebih kuat.
Adapun, saat ini kabarnya Bukalapak menjadi pemimpin pasar di bisnis O2O. Berdasarkan riset Nielsen terhadap 3.000 warung dan toko pulsa di 14 kota Indonesia pada Juni 2021 lalu, baru 14,8% yang terjun dalam skema bisnis O2O. Dari jumlah itu, emiten dengan kode saham BUKA itu menguasai 42% melalui mitra Bukalapak.
BUKA mengaku sudah memiliki 8,5 juta mitra di bawah sayapnya. Perseroan merintis model bisnis O2O ini sejak 2017 dengan 2.870 mitra sebagai awalan, tetapi kini melesat secara eksponensial.
Nah, Grup GoTo ingin juga mencicipi ceruk bisnis ini. Langkahnya menggandeng MPPA adalah bagian dari rencana strategis untuk juga menguasai bisnis O2O. Keduanya pun secara mandiri berupaya mengembangkan bisnis O2O masing-masing.
GoTo sendiri belum lama ini telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) Peningkatan Daya Saing dan Penyediaan Fasilitas Ruang Promosi melalui Digitalisasi Pasar Rakyat dengan Memanfaatkan Aplikasi Tokopedia.
Melalui langkah ini, GoTo akan membantu para pedagang pasar rakyat untuk meningkatkan penjualan secara online.
Adapun, MPPA sendiri mengembangkan bisnis O2O melalui ekspansi kehadiran di berbagai platform e-commerce, seperti GoMart, Tokopedia, GrabMart, Shopee, BliBli, dan JD.ID. Langkah ini terbukti menyokong kinerja MPPA selama periode PPKM tahun ini.
Berdasarkan riset Nielsen, penjualan online MPPA tumbuh 21,3% YoY, sedangkan market share atau pangsa pasar MPPA sudah mencapai 24,1% di pasar supermarket dan hypermarket.
Tampaknya, pasar juga sepakat bahwa O2O adalah masa depan perekonomian digital Indonesia. Oleh karena itu, langkah perusahaan-perusahaan untuk masuk ke bisnis ini menjadi strategi yang diapresiasi pasar.
Prospek MPPA yang menjanjikan juga menjadi alasan dari sejumlah investor lain selain GoTo untuk masuk ke perusahaan ini akhir-akhir ini. Pada Januari 2021 emiten ini kedatangan investor asing yaitu Anderson Investments Pte. Ltd. selaku entitas tidak langsung dari Temasek Holdings.
Masuknya Anderson Investments Pte. Ltd. terjadi melalui realisasi hak tukar atas saham MPPA. Sebelumnya, Anderson Investments mengambil exchangeable rights senilai US$300 juta yang diterbitkan oleh Prime Star Investment Pte. Ltd., anak usaha lainnya dari MLPL. Exchangeable rights itu lalu ditukar dengan saham MPPA sebanyak 1,40 miliar.
Menyusul setelahnya ada juga kabar masuknya Watiga Trust Ltd. asal Singapura ke dalam MPPA dengan membeli 7,14% saham MPPA atau sebanyak 537,79 juta saham dari MLPL. Kala itu, MLPL melepas total 11,9% saham MPPA. Selain dibeli Watiga, sisanya dibeli oleh Gojek melalui PT Pradipa Darpa Bangsa.
Aksi investasi ini tampaknya juga menjadi faktor lain yang mendorong lonjakan luar biasa harga saham MPPA tahun ini. Aksi pada investor asing tersebut tentu mencerminkan tingginya kepercayaan terhadap prospek bisnis MPPA, sehingga mereka percaya diri untuk membelinya.
Kini, investor tentu menanti pembuktian MPPA pada kinerja bisnisnya. Perseroan sudah berhasil menekan kerugiannya dengan cukup baik pada paruh pertama tahun ini, sehingga membuka harapan perseroan akan mampu segera kembali untung. Apakah hal ini bakal berkelanjutan? Semoga saja.
Date: