Nasib Investasi Emas di Tahun Kerbau Logam

Date:

[Waktu baca: 7 menit]

Pada pengujung 2019, jelang memasuki tahun baru 2020, Andi membelanjakan sebagian uang di tabungannya untuk menebus sekeping emas Antam pecahan 100 gram. Andi masih ingat betul saat itu uang yang dikeluarkannya kurang lebih Rp77 juta.

Satu putaran kalender kemudian, alias pada pengujung Desember 2020, Andi menjual emas tersebut dan menerima duit Rp93 juta. Itu artinya dalam setahun dia meraup keuntungan dari jual beli emas sekitar Rp16 juta, atau 20% lebih dari modal awalnya.

Tentu saja Andi hanyalah tokoh imajiner buatan saya. Namun, pengalaman merasakan naiknya harga emas dialami oleh banyak orang. Sepanjang 2020 situasi semacam ini dialami oleh mereka yang memilih emas sebagai instrumen investasinya.

Seperti kata pepatah tua, “emas sangat menyukai krisis.” Kehadiran pandemi Covid-19 bikin kesaktian komoditas safe heaven tersebut menemui momentumnya. Orang-orang yang sebelumnya banyak menginvestasikan asetnya di pasar modal dan instrumen berisiko lain perlahan melakukan pengalihan sebagian nilai asetnya ke emas, yang kemudian mendorong adanya lonjakan permintaan.

Baca Juga: Kilau Emas dan Emiten Penambang Emas 2021

Di saat bersamaan, produksi emas mengalami tekanan karena efek pandemi. Ini tampak dari laporan kinerja sejumlah perusahaan yang menambang emas seperti PT Aneka Tambang, PT Merdeka Copper Gold  atau bahkan United Tractors.

Orang-orang seperti Andi bahkan bisa saja mendulang untung lebih besar andai melepas instrumen tersebut pada pertengahan tahun lalu, ketika harga emas sempat mampir di rekor sepanjang masa hingga di atas Rp1 juta per gram.

Pergerakan Harga Emas Antam Sepanjang 2020 (Data per akhir bulan)

Patut digarisbawahi bahwa kenaikan harga emas di Indonesia terjadi seiring lonjakan harga emas global. Data Bloomberg menyebut harga emas berjangka comex pada akhir 2020 menyentuh US$1.895,10 per troy ons alias naik 24,4 persen dari posisi awal tahun yang senilai US$1.523,10 per troy ons.   Di saat bersamaan, harga emas spot pada pengujung 2020 ada di level US$1898,36, naik 24,4 persen juga dari posisi US$1.524,96 di awal tahun.

Angka-angka tersebut menjadi pembukti betapa sentimen apapun yang mempengaruhi harga emas global akan bermuara pula ke pergerakan harga emas di dalam negeri.

Setelah memahami konteks tersebut, kini saatnya membahas pertanyaan terbesarnya: akankah situasi menguntungkan seperti yang dialami Andi bisa berulang, atau mungkin lebih baik pada tahun ini?

Potensi Deja vu

Salah satu cara memproyeksi efek suatu krisis adalah menarik pelajaran dari krisis sebelumnya. Berkaca pada krisis keuangan yang terjadi pada 2008, rekam jejak penguatan emas usai krisis lazimnya menunjukkan kurva naik yang awet.

Mengacu arsip Refinitiv, harga emas 2008 ditutup pada kisaran US$878 per troy ons di akhir Desember. Angka yang sudah tinggi ini kemudian melesat ke level yang lebih tinggi lagi hingga 2-3 tahun berselang. Saking awetnya, harga emas dunia akhirnya mampu naik 110 persen lebih ke level US$1.901,23 per troy ons pada 23 Agustus 2011.

Adanya kenaikan panjang itu dipicu kebijakan bank sentral AS The Fed pada Desember 2008. Saat itu mereka memangkas suku bunganya menjadi 0-0,25 persen saja. Tingkat suku bunga rendah kemudian menyebabkan yield obligasi dan dolar melemah, dan bermuara pada penguatan daya tarif emas. Sejak saat itu, emas lepas landas.

Maju ke depan, The Fed juga melakukan hal serupa saat krisis akibat pandemi Covid-19 terjadi. Tepatnya pada Maret 2020 lalu, mereka memutuskan untuk membabat habis suku bunga jadi 0-0,25 persen. Kebijakan ini akan berlaku hingga 2023. Dan, sejak saat itu pula, emas lagi-lagi lepas landas hingga memecahkan rekor harga pada Agustus 2020.

Sentimen Negatif

Skenario di atas tidak lantas menjamin nasib kenaikan emas pasca-pandemi Covid-19 akan sama konsistennya dengan apa yang terjadi bertahun-tahun silam. Sebab, untuk mencapai level surealis serupa, dalam kondisi yang lebih kiwari emas akan menemui lebih banyak sentimen penghalang anyar.

Salah satunya adalah Bitcoin.

Lepas dari rekam jejak volatilitasnya, capaian sensasional mata uang kripto yang baru diperkenalkan sejak 2009 tersebut bikin sebagian pakar menjulukinya sebagai “calon instrumen investasi penerus emas.”

Secara fundamental, sifat emas dan Bitcoin memang beda jauh. Keduanya tak bisa didudukkan dalam letak pandang yang sama. Namun, sebagai sebuah instrumen investasi, tren harga Bitcoin dalam beberapa tahun terakhir tak dapat dipungkiri lagi membuat banyak pihak semakin berhasrat menyandarkan diri pada benda itu.

Apalagi, Bitcoin punya beberapa poin penting yang banyak dicari orang dari instrumen emas. Mulai dari jumlah yang terbatas, tidak dikontrol pemerintah atau otoritas tertentu, serta bersifat aset pribadi tanpa bank.

Dengan prospek tersebut, bukan mustahil akan lebih banyak investor yang mengalihkan investasi amannya ke Bitcoin. Sinyal itu setidaknya muncul setelah pada pertengahan 2020 beberapa perusahaan di AS, salah satunya adalah perusahaan terbuka Microstrategy Inc., secara terang-terangan berani mengambil langkah dengan menjadikan Bitcoin sebagai ladang investasi resminya.

Baca Juga: Prospek di Balik Rekor Transaksi Saham ANTM

Langkah Microstratregy lanttas juga ditiru oleh Guggenheim Partners, perusahaan asal AS lain, yang pada kuartal IV/2020 mengumumkankan bahwa mereka telah menanamkan investasi US$530 juta dalam bentuk Bitcoin.

Bila langkah kedua perusahaan ke depan semakin banyak ditiru perusahaan-perusahaan mentereng lain, implikasinya terhadap pernurunan permintaan emas tentu bakal semakin terasa. Dan dengan permintaan yang turun, maka harga emas pun berpotensi terkoreksi.

Koreksi ini juga bisa terjadi ke level lebih dalam dari perkiraan bila dibarengi dengan ketersediaan emas yang terus naik. Dan, syarat kedua ini bisa semakin terjadi bila melihat perkembangan proses pencarian vaksin yang semakin mengalami kemajuan.

Mulai bermunculannya kandidat vaksin Covid-19 dengan tingkat kemanjuran tinggi akan mendorong pengendalian wabah, yang berujung semakin longgarnya pembatasan sosial. Longgarnya pembatasan sosial kemudian bisa berimplikasi ke semakin aktifnya kinerja perusahaan-perusahaan penambang emas, yang pada muaranya bakal meningkatkan produksi dan ketersediaan komoditas tersebut.

Sebagaimana emas menyukai krisis, emas juga relatif tak begitu suka dengan pemulihan dari krisis itu sendiri.

Sentimen Positif

Namun jangan keliru. Sederet potensi tekanan di atas juga masih berpotensi diminimalisir karena harga emas tahun ini juga berpeluang terdorong sejumlah sentimen positif. Terkait transisi Kepresidenan AS misalnya.

Terpilihnya Joe Biden sebagai pengganti Donald Trump tampaknya akan berperan mengangkat harga emas. Ini karena sejak awal Biden telah menjanjikan lebih banyak kucuran fiskal untuk penanganan pandemi di periode kepemimpinannya.

Seperti sudah dibahas sebelumnya, pulihnya pandemi akan menekan harga emas. Namun patut dipahami pula bahwa bila pemulihan tersebut dibarengi dengan stimulus fiskal yang tinggi, dampak positif terhadap harga emas justru bisa terbuka lebih lebar.

Stimulus berarti memantik uang beredar lebih banyak dari sebelumnya, sehingga akan mengerek inflasi. Di saat itulah, pemilik dana akan memburu emas untuk melindungi aset mereka dari lonjakan inflasi. Dan, kembali lagi ke hukum permintaan dan penawaran, naiknya permintaan adalah kabar baik bagi harga emas.

Kinerja dolar AS yang diramal tidak akan pulih secepat ekspektasi juga akan punya implikasi tidak kalah besar. Semakin loyo dan lambat pemulihan nilai dolar ke level normal, maka bakal semakin meningkat pula kecenderungan harga emas.

Pada akhirnya, seperti halnya 2020, tidak ada yang bisa tahu pasti bagaimana emas akan bergerak sepanjang tahun 2021 ini. Apakah pergerakannya akan melampaui 2020 atau justru lebih konservatif, semua akan bergantung dengan mana dari sederet isu di atas yang bakal dominan sepanjang tahun.
 

 

Tags: