Mengapa Aneka Profesi Ini Banyak Dicari di Era Ekonomi Digital?

Date:

[Waktu baca: 5 menit]

Hanif Dhakiri barangkali bukan menteri yang kondang dalam sejarah pemerintahan Republik Indonesia. Namun pada 2018, setahun sebelum dirinya lengser dan digantikan Ida Fauziyah, eks Menteri Ketenagakerjaan tersebut sempat melontarkan pernyataan yang lekat dalam rekam ingatan banyak orang.

Dalam sebuah seminar yang dihelat Habibie Center dan Hanns Seidel Foundation, Hanif berkata kedatangan era ekonomi digital telah melahirkan 3,7 juta pekerjaan baru, yang punya peran tidak kalah penting menopang pekerjaan-pekerjaan lain yang sudah ada.

“Dibandingkan dengan era revolusi industri sebelumnya, generasi 4.0 lebih sulit untuk diprediksi arah perubahannya. Kehadiran big data,” lanjut Hanif seperti dilansir CNN, “menjadi faktor penting yang melandasi perubahan tersebut.” 

Dalam perjalanannya, ucapan Hanif tersebut kerap diamplifikasi oleh rekan-rekan dan penerusnya di kursi kabinet. Menteri Keuangan Sri Mulyani misal, pada acara Capital Summit & Expo 2019 setahun kemudian, juga berceletuk bahwa ekonomi digital “memunculkan 3,7 juta lapangan kerja baru.”

“Ini sangat sesuai dengan Indonesia yang akan mengalami bonus demografi hingga 2030 dan mayoritas penduduknya usia produktif,” imbuhnya, menambahkan apa yang kurang lengkap dari ucapan Hanif. 

Bila dirunut ke akarnya, perkataan Hanif dan Sri Mulyani memiliki dasar. Angka yang dirujuk keduanya bersumber dari sebuah studi yang dilakukan McKinsey Indonesia pada Oktober 2016.

Dalam penelitian berjudul Unlocking Indonesia’s Digital Opportunity tersebut secara spesifik McKinsey menyebut bahwa bukan cuma menambah 3,7 juta prospek pekerjaan baru, ekonomi digital juga akan berpotensi mengurangi tingkat pemutusan hubungan kerja dan menaikkan produktivitas global.

Khusus untuk Indonesia, tim peneliti McKinsey yang terdiri dari Kaushik Das, Michael Gryseels, Priyanka Sudhir an Khoon Tee Tan memproyeksi 3,7 juta pekerjaan baru tersebut akan semakin dibutuhkan berbagai industri. Hingga puncaknya, mereka meramal pada 2025 pekerjaan-pekerjaan tersebut akan memegang kunci penting terhadap sukses atau tidaknya suatu perusahaan.

Kini 5 tahun sudah berlalu sejak survei tersebut dirilis. Dan, tampaknya, mulai ketahuan apa saja pekerjaan-pekerjaan prospektif tersebut yang mulai memegang peranan kunci dan banyak dibutuhkan di era ekonomi digital.

UI/UX Designer

Satu di antaranya dan sudah pasti mulai familiar di telinga pembaca pastinya adalah UX dan UI Designer. UX merupakan kependekan dari user experience atau pengalaman pengguna, sedangkan UI merupakan kependekan user interface atau antarmuka pengguna.

Sederhananya, kedua profesi ini punya tanggung jawab utama menentukan tampilan aplikasi atau situs agar tidak saja beroperasi dengan baik, tapi juga mampu merangsang pengguna untuk berlama-lama mengaksesnya.

Seperti dilansir Detik pada 17 Januari 2020, dalam sebuah sambutan di acara Indonesia Millenial Summit 2020, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim sempat mencantumkan UX/UI Design sebagai salah satu dari lima profesi paling hot sekaligus dibutuhkan di era digital.

“Saya jamin siapapun yang menekuni bidang itu enggak mungkin enggak dapat kerja,” kata Nadiem kala itu.

Nadiem menyejajarkan pekerjaan tersebutdengan 4 profesi lain yakni analis, peneliti, software engineer dan manajemen produk.

Tentu saja, Nadiem menggarisbawahi bahwa garansinya itu cuma berlaku jika kecakapan dalam profesi tersebut dilatih dengan keras dan maksimal.
Penilaian Nadiem soal profesi UX dan UI Designer memang bisa dimaklumi jika melihat rekam jejaknya sebagai salah satu pendiri startup raksasa PT Aplikasi Karya Anak Bangsa alias Gojek.

Sebagai perusahaan transportasi daring dan berbagai jasa lain yang mengandalkan teknologi sebagai nilai tambah, tinggi rendahnya loyalitas konsumen terhadap Gojek sangat bergantung pada kualitas tampilan dan antarmuka platform. Tak jarang perang tampilan ini menjadi penentu kunci persaingan dengan kompetitor.

Perang tersebut salah satunya tergambar dalam riset yang disusun tiga peneliti Universitas Padjadjaran: Arianis Chan, Maulydia Maharani dan Pratami Wulan Tresna. Dalam riset berjudul Comparison of User Experience on Gojek and Grab Mobile Apps tersebut mereka menyimpulkan bahwa berdasarkan survei pengguna cenderung mendapat pengalaman lebih baik ketika menggunakan Gojek. Dan, hal tersebut rupanya sejalan dengan tingkat task success, earning dan user experience Gojek cenderung mengungguli Grab berdasarkan sejumlah indikator penilaian.

Gojek vs Grab, sekali lagi, hanyalah contoh satu dari sekian banyak medan perang. Perang tampilan antarmuka tentunya juga menjadi salah satu faktor kunci di persaingan startup-startup segmen lain.

Kebutuhan akan profesi tersebut juga semakin tinggi seiring semakin menjamurnya pula jumlah startup.

Seperti dilansir Investor Daily, per awal November 2020 jumlah startup di Indonesia diramal telah mencapai 2.203 perusahaan dan diproyeksi bakal terus naik. Padahal, jumlah itu saja sudah bikin Indonesia menempati peringkat lima negara dengan jumlah startup terbanyak di dunia. 

Dan, perlu dicatat pula bahwa UX maupun UI Designer bukan cuma dibutuhkan startup. Perusahaan-perusahaan besar sekalipun membutuhkan peran pelaku profesi tersebut dalam konteks upaya mereka menjangkau pasar digital.

Software Engineer & Developer

Bila sudah bicara soal perkembangan startup dan tingginya upaya digitalisasi perusahaan di berbagai sektor, agaknya tidak bisa pula untuk tidak menyinggung profesi software engineer. Terlebih profesi ini juga masuk dalam daftar Nadiem sebagai pekerjaan dengan prospek paling menjanjikan di era sekarang.

Bila mengacu definisi Quipper, software engineer alias insinyur perangkat lunak merupakan pekerja yang bertugas melakukan analisis, membuat rekayasa, menyusun spesifikasi, mengimplementasikan dan memvalidasi suatu rancangan sistem perangkat lunak untuk menjawab suatu permasalahan. 

Sebenarnya, profesi ini tidak bisa digolongkan sebagai sebuah pekerjaan baru. Sebab konon bila mau dirunut secara adil, menurut berbagai literatur profesi software engineer sebenarnya sudah ada sejak era 1950-1960an.

Hanya saja, memang tak bisa dimungkiri bahwa semakin modern suatu era kebutuhan akan sosok software engineer terampil menjadi hal yang wajib bagi perusahaan manapun. Bahkan perusahaan yang tak menjalankan layanan digital sekalipun tak bisa sepenuhnya lepas dari profesi ini. Setidaknya untuk mengatur sistem komunikasi internal di perusahaan yang skalanya sudah besar, seorang software engineer juga bisa menjadi nilai tambah.

Di era sekarang, lazimnya sudah mulai bermunculan perusahaan yang tidak mengkhususkan syarat ijazah tertentu untuk menekuni profesi ini. Namun lazimnya, perusahaan masih menilai bahwa ijazah teknik informatika atau teknik komputer adalah syarat yang tidak bisa ditawar. Sebab profesi software engineer mengharuskan seseorang cakap dalam beberapa kemampuan khusus seperti bahasa pemrograman C atau C++, cakap dalam hal analisis dan desain, serta memahami cara kerja penyimpanan data dalam skala besar atau sistem cloud.

Saudara profesi ini, software developer alias pengembang perangkat lunak, juga tidak kalah dibutuhkan. Berbeda dengan software engineer, menurut penjelasan situs pencarian kerja Glints, software developer lebih banyak berperan membangun perangkat lunak sebaik mungkin, menguji efisiensi serta fungsionalitasnya serta melakukan maintenance untuk menjamin keamanan dan ketahanan perangkat lunak.

Ibarat dalam sebuah proyek konstruksi, software engineer adalah seorang arsitek sementara software developer merupakan tukang kayunya. Inilah salah satu alasan mengapa software developer biasanya dituntut untuk lebih dalam memahami hal-hal praktis seperti bahasa pemrograman yang lebih bervariasi. 

Content Creator

Tidak perlu khawatir jika Anda merasa sudah terlalu tua untuk memulai belajar ilmu teknik komputer dari nol. Sebab profesi yang satu ini, yakni content creator, bisa Anda jajal bagaimanapun latar belakang Anda.

Seperti namanya, tugas content creator alias pembuat konten sederhana: membuat konten sesuai kebutuhan perusahaan. Pekerjaan ini bisa pula Anda tekuni secara independen atau mandiri, tanpa perlu menjadi karyawan sebuah perusahaan. Asal dengan catatan Anda juga sudah punya gambaran bagaimana konten yang dibuat bisa menghasilkan keuntungan finansial.

Pembuat konten-konten video di Youtube, siniar di Spotify, atau bahkan sekadar konten-konten hiburan di Instagram, Facebook dan jejaring sosial lain sudah masuk dalam hitungan kategori content creator. Bahkan saya, lewat kegiatan menulis artikel ini, juga halal jika mau melabeli diri sebagai seorang content creator.

Meski cenderung jarang menuntut ijazah atau sertifikasi tertentu, bukan berarti menjadi content creator adalah pekerjaan mudah. Justru karena kriteria mudah itulah yang kemudian membuat bertahan di industri ini tidak mudah, karena tingkat persaingan juga ketat.

Bagaimana Profesi Lain?

Jika sudah ada konten yang bagus, apa lantas bisa terima beres?

Tentu saja belum. Tak jarang konten-konten bagus gagal menghasilkan pendapatan yang sepadan pula karena tidak bisa berhasil menemukan audiensnya dengan tepat. Itulah mengapa profesi-profesi lain terkait pemasaran juga masih akan jadi kebutuhan yang banyak diincar berbagai industri di era digital.

Beberapa contohnya seperti manajer produk, performance marketing, analis data hingga spesialis media sosial, dan masih banyak lagi.

Terlalu banyak agaknya untuk menyebut profesi tersebut satu per satu. Untuk menyederhanakannya, riset terkini Amazon Web Services (AWS) dan AlphaBeta bertajuk Unlocking APAC’s Digital Potential: Changing Digital Skill Needs and Policy Approaches menyederhanakannya dengan istilah “profesi-profesi yang membutuhkan skill digital.” 

Singkatnya, hampir semua profesi yang mengharuskan pemahaman lebih tentang teknologi dan tren ekonomi digital masih akan prospektif dalam beberapa tahun ke depan. Setidaknya prediksi tersebut berlaku di enam negara yang jadi lokasi penelitian yakni Singapura, Australia, India, Jepang, Korea Selatan dan Indonesia.

Dalam kesimpulannya, riset tersebut lantas menyebut bahwa ke depan akan semakin banyak penduduk usia kerja di keenam negara yang dituntut meningkatkan skill atau kecakapan mereka ke arah industri digital. Dari jumlah 149 juta orang yang tengah mempelajari industri digital di keenam negara per akhir 2020, jumlahnya diprediksi akan naik hingga 819 juta pada 2025 mendatang.

Hingga 2025, sejumlah pekerjaan baru yang saat ini belum ada juga dimungkinkan muncul dan mendominasi kebutuhan perusahaan-perusahaan di keenam negara. Namun intinya, masih menurut survei AWS, asal mampu menguasai empat kompetensi vertikal dan 4 kompetensi horizontal di bidan teknologi, penduduk keenam negara diprediksi masih bisa bertahan dan relevan dengan kemajuan teknologi global. Terlepas dari segmen apapun yang mereka tekuni.

Keempat kompetensi vertikal masing-masing adalah pengoperasian peranngkat lunak dan keras, literasi informasi dan data, produksi dan kreasi konten digital, serta kompetensi teknologi komputasi awan.

Sementara empat kompetensi horizontal adalah komunikasi dan kolaborasi digital, penyelesaian masalah secara digital, etika dan keamanan digital, serta manajemen proyek digital.