Meneropong Prospek Pasar Saham 2021
[Waktu baca: 6 menit]
Tahun 2020 hampir berakhir. Setelah hantaman pandemi merontokkan IHSG hingga ke level 3.937 atau turun 37,49% year to date (ytd) pada Maret 2020 lalu, IHSG perlahan terus bangkit hingga akhirnya kembali menembus level 6.000 sejak pertengahan Desember 2020.
IHSG terus membaik seiring kondisi ekonomi yang mulai pulih, meskipun pandemi belum benar-benar hilang dari bumi Nusantara. Selain itu, ada harapan besar pandemi akan segera berakhir seiring dengan ditemukannya vaksin bagi Covid-19.
Lantas, apa saja faktor pendukung bagi potensi penguatan lanjutan IHSG sepanjang 2021?
Tentu saja, banyak hal yang sulit diprediksi akan terjadi tahun depan, sama seperti tidak ada yang menduga pada 2019 lalu bahwa efek pandemi Covid-19 tahun 2020 akan separah seperti yang sudah terjadi selama ini.
Namun, berdasarkan beberapa perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini, kita tentu tetap dapat menerka-nerka beberapa kemungkinan yang akan terjadi tahun depan dan efeknya terhadap pasar saham.
Kenyataannya, meskipun pasar saham sempat tertekan sangat dalam pada awal tahun ini, tetapi menjelang akhir tahun, kinerja pasar saham justru terlihat tidak begitu buruk jika dibandingkan dengan kondisi akhir tahun 2019 lalu.
Per Senin (21 Desember 2020) IHSG sudah di level 6.165,62. Level ini hanya lebih rendah 2,13% dibandingkan dengan level penutupan IHSG pada akhir 2019 lalu (ytd). Bukan tidak mungkin, IHSG justru akan ditutup positif pada akhir tahun ini. Masih ada beberapa hari tersisa.
Jika mengukur kinerjanya setahun penuh, IHSG justru pernah berkinerja lebih buruk dari yang terjadi pada akhir tahun ini. Pada tahun 2015, misalnya, IHSG ditutup turun 12,13% ke level 4.593. Pada krisis 2008, IHSG bahkan ditutup turun 50,64% ke level 1.355.
Jelas, kinerja IHSG tahun ini jauh lebih baik. Bagaimana dengan tahun depan? Apakah IHSG akan terus menghijau atau justru malah memerah? Mari kita perhatikan beberapa sentimen yang sejauh ini bisa dianalisis.
Pasar Saham Global Sudah Menghijau
Kenyataannya, sudah banyak bursa negara asing yang lebih dahulu menghijau tahun ini, bahkan sejak lama. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, per Senin (21 Desember 2020), dengan kinerjanya yang turun 2,13% ytd, IHSG berada di peringkat ke 23 global sebagai indeks dengan kinerja terbaik.
Di urutan pertama ada indeks acuan bursa Korea Selatan yang sudah melonjak 26,44% ytd, lalu disusul indeks acuan bursa Argentina di urutan kedua dengan kenaikan 25,62% ytd, dan bursa Turki yang naik 21,8% ytd di urutan ketiga.
Di level Asia Tenggara, indeks acuan bursa Vietnam memimpin dengan kinerja 12,50% ytd dan disusul indeks acuan bursa Malaysia yang naik 3,53%. Indonesia dengan IHSG berada di urutan ketiga. Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan indeks acuan bursa Singapura yang masih anjlok 11,65% ytd.
Bahkan China yang pertama kali menderita tekanan akibat Covid-19, indeks acuan bursanya sudah melejit 12,15% ytd. Demikian pula Jepang, sudah naik 12,93% ytd, Taiwan 19,9% ytd, dan India 12,72% ytd. Sementara itu, indeks Dow Jones Amerika Serikat sudah menghijau 5,75% ytd.
Artinya, di level global, kinerja indeks yang menghijau tahun ini bukanlah kabar yang luar biasa. Bahkan jika IHSG akhirnya ditutup di zona hijau pada akhir tahun ini, hal itu bukanlah prestasi yang benar-benar luar biasa, sebab banyak bursa negara lain yang kinerjanya justru jauh lebih unggul.
Hanya saja, dengan laju pemulihannya yang lebih terlambat, peluang bagi kenaikan IHSG di masa mendatang untuk menyusul kinerja indeks-indeks global lainnya pun menjadi lebih besar. Momentum tersebut tentu kemungkinan besar akan terjadi tahun depan.
Dukungan Kebijakan Moneter Ekspansif
Banyak bank sentral negara-negara dunia yang melakukan pelonggaran moneter tahun ini sebagai respons atas dampak Covid-19. Di Indonesia, Bank Indonesia sudah lima kali menurunkan suku bunga acuan hingga ke level 3,75%.
Hal ini akan menjadi pendorong ekonomi tahun depan, sebab pelaku usaha dapat mulai menata lagi bisnisnya dengan meminta kredit berbunga rendah dari perbankan. Hal ini pun dapat memicu kenaikan belanja, sehingga mendorong perekonomian.
Banyaknya stimulus moneter yang dikucurkan oleh pemerintah global juga menyebabkan masifnya ketersediaan likuiditas global, termasuk pula di Indonesia. Hal ini dapat mendorong aliran modal ke negara berkembang sehingga menggairahkan ekonomi dan mendukung penguatan mata uangnya.
Bank Indonesia dalam laporan hasil rapat dewan gubernur (RDG) bulan Desember 2020 menyebutkan bahwa ekonomi global pada 2021 diperkirakan akan tumbuh di kisaran 5% pada 2021, membaik dari tahun 2020 yang terkontraksi 3,8%.
Hal ini terutama didukung oleh dampak stimulus kebijakan yang terus berlanjut di banyak negara. Kondisi ekonomi global pun sudah terkonfirmasi membaik sejak akhir tahun 2020, misalnya dari data kenaikan Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur dan jasa di Amerika Serikat dan Tiongkok.
Jika ekonomi global membaik, tentu akan mendorong kenaikan volume perdagangan global sehingga harga komoditas pun akan ikut meningkat. Seperti kita ketahui, Indonesia sendiri masih sangat menggantungkan ekonominya pada komoditas, baik komoditas tambang maupun perkebunan.
Jika perdagangan komoditas meningkat, tentu ekonomi Indonesia akan diuntungkan. Kinerja emiten-emiten di sektor ini pun akan membaik, sehingga menjadi landasan yang kuat untuk mengapresiasi sahamnya. Indonesia sendiri berharap tahun 2021 pertumbuhan ekonomi akan berkisar pada 4,8% hingga 5,8%.
Harapan Besar pada Vaksinasi Global
Vaksin menjadi tumpuan harapan utama masyarakat global untuk mengenyahkan pandemi. Mobilitas global diharapkan sudah akan mulai meningkat tahun depan seiring dengan perkembangan vaksinasi seluruh masyarakat global. Mobilitas ini akan kembali mendorong perekonomian global.
Hal ini memang akan berlangsung bertahap, tetapi setidaknya membuka harapan bagi keadaan yang lebih baik. Di Indonesia sendiri, proses vaksinasi akan segera dimulai seiring dengan proses uji coba yang rampung.
Sejatinya, penemuan vaksin Covid-19 yang tergolong sangat cepat menjadi tumpuan kenaikan kinerja IHSG menjelang akhir tahun 2020. Sentimen ini masih akan tetap menjadi penopang bagi kelanjutan laju reli IHSG selanjutnya.
Hanya saja, jika perkembangan distribusi vaksin tidak sesuai harapan atau efektivitasnya untuk mencegah penularan Covid-19 justru tidak terbukti, hal itu mungkin dapat berdampak negatif terhadap pasar.
Pasar Modal Indonesia Ditopang Investor Domestik
Sepanjang 2020 hingga Senin (21 Desember 2020), investor asing sudah tercatat melakukan penjualan senilai total Rp53 triliun di pasar saham domestik. Namun, aksi jual tersebut terbukti tidak sampai melemahkan IHSG di penghujung tahun.
Hal ini membuktikan keandalan investor domestik yang percaya pada prospek pasar modal nasional dan mampu mengimbangi tekanan jual investor asing.
Sepanjang tahun 2020 hingga 19 November 2020, Bursa Efek Indonesia mencatat peningkatan jumlah investor di pasar modal sebesar 42% menjadi 3,53 juta dari posisi akhir 2019 sebanyak 2,48 juta berdasarkan SID (single investor identification).
BEI memerinci bahwa jumlah investor tersebut terdiri atas investor saham sebanyak 1,5 juta atau naik 36,13%, investor reksa dana sebanyak 2,8 juta atau naik 59,32%, dan investor surat berharga negara sebanyak 448.000 atau naik 41,7%.
Berdasarkan data statistik Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), peningkatan jumlah investor tersebut didominasi oleh investor domestik kaum milenial atau yang berusia kurang dari 40 tahun, mayoritas dari kalangan laki-laki yakni 61,14%.
Dari sisi pekerjaannya, sebesar 52,91% berasal dari kalangan pegawai swasta, sedangkan dari sisi pendidikannya, sebesar 44,4% adalah lulusan sarjana. Sebanyak 58,09% di antara investor tersebut memiliki penghasilan antara Rp10 juta hingga Rp100 juta per bulan dan sebanyak 72,23% ada di Pulau Jawa.
Dengan basis investor domestik yang kini makin luas, lebih mengenal kondisi ekonomi domestik, lebih mengenal bisnis yang digeluti oleh emiten-emiten di pasar modal, serta percaya terhadap prospek ekonomi nasional, fundamental pasar modal Indonesia menjadi lebih kuat untuk dapat melaju lebih kencang.
Sovereign Wealth Fund (SWF) Sudah Resmi Berdiri
Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi. Beleid ini menjadi landasan bagi lahirnya Nusantara Investment Authority (NIA) pada Kamis (17 Desember 2020), yakni SWF Indonesia yang pertama.
Terbitnya aturan ini segera berdampak pada lonjakan harga saham emiten BUMN karya, yakni perusahaan-perusahaan konstruksi pelat merah, seperti PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Waskita Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., serta PT PP (Persero) Tbk.
Pembentukan SWF NIA ini merupakan salah satu amanat dari UU Cipta Kerja. NIA akan bertugas mengelola dana investasi dari luar maupun dalam negeri sebagai sumber pembiayaan alternatif. Hal ini juga bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pembiayaan infrastruktur pada sumber dana jangka pendek.
Pemenuhan modal NIA secara bertahap akan dilakukan hingga mencapai Rp75 triliun atau setara dengan US$5 miliar pada 2021. Adanya SWF ini akan membuat aliran dana asing untuk proyek pembangunan meningkat, sebab SWF membuat investor lebih tertarik untuk menanamkan modal.
Jika demikian, proyek-proyek yang digarap BUMN karya pun akan lebih banyak. Efek berantainya terhadap ekonomi nasional pun akan besar, sebab proyek-proyek tersebut berkarakter padat karya sehingga akan menyerap banyak tenaga kerja.
Catatan Penutup
Itu dia beberapa faktor yang kemungkinan dapat menopang laju kenaikan IHSG tahun depan. Kondisi bisa saja berubah di tengah jalan, entah menjadi lebih baik atau malah lebih buruk. Namun, tentu semua berharap kondisi ekonomi akan segera membaik.
Sejumlah sekuritas sudah merilis proyeksi level IHSG 2021. Mayoritas sekuritas percaya bahwa IHSG akan bertahan di atas level 6.000 sepanjang 2021, tetapi tidak sampai menembus level 7.000.
Jika prediksi tersebut benar, tentu peluang untuk meraih cuan dari pasar saham sepanjang 2021 cukup terbuka.
Date: