Jalan Berliku Kendaraan Listrik

Date:

Meskipun beberapa sejarawan percaya sel elektrokimia—alat penghasil energi listrik—sudah ditemukan di Mesopotamia tak lama setelah penyaliban Kristus. Tetap, yang paling banyak disanjung adalah ahli kimia asal Italia Alessandro Volta.

Lahir di Como, ia merupakan profesor fisika di Royal School di kota itu. Tahun 1775, bermula dengan memperbaiki temuan Johan Carl Wilcke, seorang profesor Swedia, Volta menciptakan apa yang ia sebut sebagai electrophorus. Komposisi perangkat ini ialah dielektrik yang terbuat dari bahan resin dan logam. Volta meyakini ketika itu, temuannya ini berpotensi membuahkan energi listrik.

Sadar hanya masih potensi, ia pun menemui Luigi Galvani. Nama terakhir ialah fisikawan dan profesor kedokteran di Universitas Bologna. Saat ia mengujinya bersama Volta, asisten Galvani tak sengaja menyenggol temuan itu hingga terkena seekor katak mati yang berada di sampingnya—Volta dan Galvani memang menggunakan katak sebagai bahan uji cobanya. Dua ilmuwan itu melihat kaki si katak yang sedang mereka bedah tiba-tiba saja bergerak. Seolah ia hidup lagi.

Galvani yakin apa yang baru saja ia saksikan itu ialah efek energi listrik temuan Volta. Dari eksperimennya yang belakang hari mereka sebut teori “reanimation”—pada tahun 1818, teori “reanimation” pernah menjadi inspirasi novel terkenal milik Mary Shelley, Frankenstein—ini, banyak orang semasa itu sempat mengira bahwa jangan-jangan listrik dapat digunakan juga menghidupkan kembali orang mati.

Tapi kala itu Volta malah ragu bila gerak kaki si katak berasal dari sengatan listrik electrophorus miliknya. Masih ditemani Galvani, Volta melanjutkan lagi uji coba hingga beberapa waktu. Selama proses pengujian itu, electrophorus ia perbaiki. Ia tambahkan pada benda temuannya itu dengan tembaga dan timah yang sudah disepuh dan direndam elektrolit terlebih dahulu. Listrik kemudian mengalir lancar dari barang rakitan itu.

“Volta menyebut electrophorus rakitannya sebagai baterai. Tanpa temuan Volta, hingga detik ini barangkali kita tak akan mengenal baterai. Dengan ini, ia didapuk menjadi yang pertama menemukan baterai,” tulis Nigel Burton di A History of Electric Cars. “Untuk menghormati penemuannya, fisikawan setelahnya memberi nama baterai itu dengan ‘the Voltaic Pile’,” tambah Nigel dalam buku setebal 470 halaman itu.

1821

Baterai membuka kemungkinan tak terbatas. Begitulah kira-kira yang terjadi usai baterai diciptakan Volta. Di tahun 1821, menggunakan seutas kawat sebagai pengalir listriknya, ahli kimia Inggris Michael Faraday menjajal baterai Volta pada sebongkah magnet. Faraday sebatas ingin tahu saja reaksi apa yang ia dapat dengan percobaan itu.

Matanya terbelalak ketika melihat bongkahan magnet pelan-pelan berputar. Saat tiap sisinya sudah tak tampak jelas, saking cepatnya laju putar bongkahan itu, kelopak mata Faraday semakin susah berkedip. “Lewat percobaan dia, gagasan bagaimana membuat kendaraan listrik itu lahir,” catat Nigel.

Benar, adanya. Bertahun-tahun setelah itu, tak sedikit ilmuwan diinspirasi terobosan Faraday. Adalah Robert Davidson, fisikawan berdarah Skotlandia, di 1838 meluncurkan lokomotif listrik. Hulu gerbong kereta berbahan bakar setrum buatannya itu sempat tak terpakai sebab diangap tak efisien. Maklum, kecepatan tertingginya hanya empat mil per jam, kalah oleh pendahulunya lokomotif uap polesan Rocket Stephenson yang mencapai 48km/jam.

Momentum pun tiba. Di 1840, pemerintah setempat menghendaki adanya moda transportasi publik baru. Menyambut kebijakan itu, Davidson segera menyiapkan lokomotif yang lebih kencang. Karya mutakhir ini ia beri nama “The Galvani” demi menghormati sang ilmuwan Kota Pizza itu. Setahun berlalu, lantaran terhitung berkontribusi dalam perkembangan sains, ia dianugerahi kesempatan memamerkan ciptaannya di Royal Society of Arts Exhibition di Inggris.

Tapi sayang, perangkat isi ulang baterai belum hadir saat itu—perangkat baru ditemukan di 1859—sehingga biaya pembuatan begitu mahal. Untuk menambal cost, penumpang The Galvani dibebani tarif tak murah. Hal lain yang menghambat perkembangan pabrikasi lokomotif Davidson adalah ketika para buruh di tempatnya enggan lagi bekerja sekaligus menuntut upah lebih layak.

Puncaknya, pada waktu sekelompok pekerja melakukan unjuk rasa, mereka yang sedang marah itu kemudian masuk ke gudang produksi The Galvani. Tanpa perlu pikir dua kali, mereka lantas menghancurkan segala yang ada dalam ruangan. Lokomotif ala Davidson pun berakhir sia-sia.

1834 hingga detik ini

“Saat Davidson dirundung sedih mendramatisir peristiwa masa lalu, ilmuwan lain di Belanda sedang bersiap menciptakan mobil listrik (Electric Vehicles/EV),” catat Nigel dalam tulisan bertahun terbit 2013 itu. Ilmuwan termaksud adalah Sibrandus Stratingh. Ditemani kolega Jermannya, Christopher Becker, pada 1834 ia melakukan pengujian agar mobil bertenaga kuda tak terus-terusan jadi moda transportasi darat.

Ide memproduksi EV dalam skala kecil sejatinya datang kepada dia setelah Stratingh membaca laporan Moritz von Jacobi, yang terlebih dahulu merancang motor elektromagnetik di Academy of Sciences di St Petersburg, Rusia. Miris, eksperimen terpaksa berhenti seiring kesehatan buruk membatasi dia dan Stratingh meninggal pada Februari 1841.

Berpulangnya Stratingh bersamaan pula dengan upaya gagal sejumlah ilmuwan dunia setelahnya dalam mewujudkan EV sebagai transportasi pribadi dan publik. Harapan benar-benar timbul ketika di 1894 Henry Morris dan Pedro Salom di Amerika Serikat merakit taksi mobil listrik. Kendaraan publik yang mereka ciptakan itu benar-benar diproduksi massal setahun berikutnya.

Namun tak cuma di Amerika, cerita sukses EV menjadi kendaraan pengangkut publik berlanjut ke seantero Eropa. “Dekade 1900-1910 ialah masa keemasan mobil listrik. Pada tahun-tahun pertama di abad ke-20 itu, hampir 40 persen mobil listrik terjual hanya di Amerika. Sementara mobil bertenaga bensin hanya menyumbang 22 persen,” ulas Nigel.

Kendati sempat redup di sepanjang dekade kedua abad ke-20 sampai bertahun-tahun sesudahnya, penjualan EV berangsur bangkit sejak 1960-an. Masih dalam catatan Nigel, temuan baterai berkomposisi besi nikel—oleh ilmuwan Swedia Ernst Waldemar Jungner di 1899 dan pada 1990-an disempurnakan Thomas Alva Edison—luar biasa menopang ledakan industri mobil listrik di 1960-an.  

Berjibun perusahan berlomba membuat produk terbaru di tahun itu. Henney Kilowatt, contohnya. Salah satu perusahaan manufaktur mobil listrik terbesar di dunia yang berbasis di Illinois itu meluncurkan dua model, 72V dan 84V. Menggunakan dua belas baterai tipe 6V, 72V didesain khusus untuk wilayah perkotaan. Saat itu, mobil listrik ini dijual di kisaran USD 3.995. Dilepas di angka USD 5.995, 84V dirakit untuk wilayah pedesaan dan memakai empat belas baterai 6V.

Hanya saja, di 1990-an booming EV di Amerika dan Eropa sedikit surut. Semua ini bermula kala suplai bahan bakar minyak dari Timur Tengah ke dua benua itu sudah kembali berjalan, di mana kelangkaan pernah terjadi akibat Revolusi Iran di 1979 hingga sejumlah negara yang berkongsi dengan negeri Para Mullah itu ikut menangguhkan ekspor minyak selama satu dekade.

“Ladang minyak di Timur Tengah telah beroperasi lagi. Artinya, tahun-tahun krisis energi minyak sudah berakhir dan tidak ada yang merasa perlu membeli kendaraan listrik. Semua orang kembali mengkonsumsi mobil berbahan bakar minyak,” kenang Bob King, mantan petinggi di General Electric Global Research, kepada Nigel di 2010 lalu.

Sebaliknya, periode 1990-an adalah masa kejayaan mobil listrik di Asia dengan Jepang sebagai yang pertama. Mengawalinya di 1992 dengan menerbitkan “Earth Charter,” sebuah master plan untuk membuat mobil ramah lingkungan, pada 1995 Toyota meluncurkan EV seri Prius.

Sebenarnya, Prius dibuat hanya untuk tampil di gelaran Tokyo Motor Show. Berhubung banyak permintaan, mobil berbahan bakar hybrid (campuran listrik baterai dan bensin) itu diproduksi massal di 1997. Di tahun itu, Honda melakukan hal serupa lewat pembuatan mobil EV Plus dan JVX. Juga mengusung bahan bakar hybrid, nasib JVX dan EV Plus tak selaris Prius.

Di 2010, bekerja sama dengan Tesla, Toyota mencoba lagi melalui RAV4 EV. Kolaborasi bisnis ini dilakukan setelah Elon Musk diangkat sebagai CEO di 2008. Menggunakan powertrain module dan baterai yang dikembangkan Tesla, mobil listrik yang dihargai USD 49.800 itu termasuk yang terkencang di kelasnya dengan kecepatan tertinggi adalah 100mph.

Sejak mobil listrik yang dibuat Toyota laris di pasar Asia Timur, hari-hari ini demam mobil listrik bahkan ikut melanda Asia Tenggara. 2017 lalu, misalnya, Malaysia menggandeng Beijing Auto International Cooperation, pembuat EV terbesar kedua di China, dengan merilis EV200 untuk pasar domestik.

“Malaysia hampir memulainya di 2014. Karena gagal membujuk produsen manapun berinvestasi, rencana ini urung dilanjutkan,” demikian ungkap Nikkei Asia pada 2017 lalu. Beda dengan Thailand. Di negeri Gajah Putih ini, EV telah ada sedari tahun 2009. Sementara bedasar statistik dari Departemen Perhubungan Darat Thailand, hingga 2020 lalu jumlah mobil listrik yang terdaftar di negaranya mencapai 84.236 unit.

Jauh sebelum Malaysia, di Indonesia mobil listrik sejatinya sudah hadir sedari 2010 silam. Pada tahun itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berniat menggantikan bensin dengan listrik. Mereka memasang tegangan 96 volts AC pada Toyota Kijang 5K 1.500 cc dan dibekali 16 buah aki bertegangan 6 volt/235 Ah.

Hasil uji coba mobil listrik rakitan LIPI itu berhasil menempuh jarak hingga 75 km dalam sekali charge dan memiliki top speed sekitar 120 km/jam. Sayang, mobil ini tak dijual untuk publik ketika itu.       

Bila dilihat dari masa ke masa di seluruh dunia sebagaimana di atas tadi, perkembangan EV memang semakin signifikan. Namun demikian, perkembangan itu sebetulnya bisa lebih besar lagi dengan syarat seberapa cepat konsumen mengadopsi teknologi baru, dan bergantung pada seberapa cepat pemerintah di masing-masing negara membuat infrastruktur penunjang.