Menerka Prospek Aksi Konsolidasi Emiten Kerabat CTRA dan MTLA

Date:

PT Ciputra Development Tbk. (CTRA) melakukan aksi korporasi menarik baru-baru ini, yakni akuisisi atas 15% saham PT Metropolitan Land Tbk. (MTLA). Kabar aksi akuisisi itu sontak mendorong harga saham MTLA naik hingga 21,11% pada Jumat, 12 November 2021 lalu.

CTRA dan MTLA sejatinya berkerabat, sebab MTLA pun berdiri dengan campur tangan Ciputra. Ciputra memimpin pendirian PT Metropolitan Development (MD) pada tahun 1970 bersama dengan enam mitra pengusaha lainnya.

Seiring dengan berjalannya waktu, MD berkembang pesat di berbagai bidang dan berperan besar pada dinamika pembangunan di Jakarta. Salah satu cabang dari bisnis MD yakni MTLA atau yang kerap dikenal dengan sebutan Metland.

Metland sendiri baru berdiri pada 16 Februari 1994 dan mulai beroperasi pada 28 Oktober 1994. Fokusnya yakni di bisnis pengembangan perumahan dan properti komersial. Dengan kata lain, bisnisnya tidak berbeda dibandingkan dengan yang dijalankan oleh CTRA.

Dengan demikian, akuisisi CTRA terhadap Metland tidak lain merupakan konsolidasi perusahaan yang masih berstatus kerabat dekat. Kendati CTRA tidak sampai menguasai mayoritas saham di Metland, hadirnya CTRA dalam daftar pemegang saham Metland tentu menegaskan komitmen kerja sama keduanya.

Oleh karena itu, menarik untuk mengetahui prospek bisnis kedua emiten ini, apalagi langkah ini ditempuh bersamaan dengan proses pemulihan ekonomi yang masih berlanjut di tengah pandemi yang belum sepenuhnya berakhir.

Adapun, CTRA mengakuisisi saham MTLA dengan harga Rp320 per saham sebanyak 1,14 miliar saham. Dengan demikian, total dana yang dikucurkan CTRA untuk akuisisi itu mencapai Rp367,44 miliar. Harga akuisisi itu relatif lebih murah dibanding harga saham MTLA di pasar yang sepanjang bulan ini ada di kisaran Rp350-an.

Dalam siaran pers, manajemen CTRA mengungkapkan bahwa salah satu alasan pembelian saham MTLA adalah karena harga sahamnya relatif saham murah atau sedang undervalue. Dengan harga Rp320, itu artinya CTRA membeli saham MTLA di rasio price to earning (PE) sebesar 8,67 kali dan rasio price to book value (PBV) 0,62 kali.

Sebagai pembanding, rasio PE CTRA sendiri saat ini ada di kisaran 21,79 kali, sedangkan PBV-nya sekitar 1,33 kali. Adapun, pada sesi pertama hari ini, Selasa, 16 November 2021, di pasar saham MTLA sudah di level Rp426 yang mencerminkan PE dan PBV masing-masing 12,08 kali dan 0,83 kali. Tetap masih lebih murah ketimbang saham CTRA sendiri.

Kendati dibeli lebih murah dari harga pasar, pelaku pasar justru merespons positif aksi itu sehingga saham MLTA justru dikerek lebih tinggi lagi ke level Rp436 pada akhir pekan lalu, Jumat, 12 November 2021. Penguatan pun masih berlangsung awal pekan ini, Senin, 15 November 2021 ke level Rp450.

Aksi ini akan menandai awal dari konsolidasi kekuatan yang berkelanjutan antara CTRA dan MTLA. Saat ini, CTRA sudah dikenal sebagai perusahaan properti terkemuka dan terpercaya secara nasional dengan proyek yang tersebar di seluruh Indonesia, sedangkan Metland di kawasan Jabodetabek.

CTRA memiliki lebih dari 76 proyek properti dengan total cadangan lahan atau landbank seluas 7.000 hektare di 33 kota di seluruh Indonesia. Sementara itu, Metland memiliki landbank 600 hektare di delapan proyek di Jabodetabek.

Bisnis properti CTRA sudah terdiversifikasi mulai dari pengembangan kota mandiri hingga mix used yang mencakup apartemen, hotel, mal, perkantoran, hingga kawasan wisata. Bisnis yang dijalankan MTLA pun kurang lebih sama, meski dalam skala yang relatif lebih kecil ketimbang CTRA.

Jika kerja sama keduanya direalisasikan lebih dari sekadar investasi saham, yakni hingga pada pengembangan proyek bersama di lahan yang dimiliki keduanya, efek bagi pertumbuhan bisnis keduanya berpotensi sangat besar. Apalagi, keduanya sudah memiliki brand yang kuat.

Untuk menilai kekuatan bisnis kedua emiten ini, mari kita tengok kinerja keuangannya dalam beberapa tahun terakhir. Berikut ini kinerja CTRA:

Dari data tersebut, terlihat bahwa kinerja CTRA cukup solid dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan, selama pandemi 2020 lalu, perseroan masih berhasil mencetak pertumbuhan kinerja yang cukup tinggi.

Pendapatannya masih tumbuh 6,1% year-on-year (YoY) menjadi Rp8,1 triliun, sedangkan laba bersih meningkat 14,1% YoY menjadi Rp1,32 triliun. Sebagian besar laba pada 2020 dibukukan CTRA pada kuartal terakhir, sebab hingga September 2020 labanya hanya Rp232 miliar.

Pada periode 9 bulan tahun ini atau per September 2021, pendapatan CTRA meningkat lagi, bahkan jauh lebih tinggi. Pendapatannya naik 56,8% YoY menjadi Rp6,65 triliun, sedangkan laba bersih meroket 337% YoY menjadi Rp1 triliun.

Dengan capaian kinerja yang tinggi ini, terlihat bahwa bisnis CTRA sejatinya tidak begitu terdampak oleh kondisi pandemi. Namun, perlu dicatat bahwa sebagian dari pendapatannya merupakan bagian dari realisasi keuntungan dari prapenjualan atau marketing sales di tahun-tahun sebelumnya.

Seperti diketahui, pembukuan keuangan bisnis perusahaan properti relatif berbeda dibanding perusahaan lain. Hal ini terutama karena umumnya perusahaan properti mendapatkan pemasukan secara bertahap dari pencairan KPR seiring dengan progress pembangunan.

Hal ini terjadi karena hunian sering kali baru dibangun setelah ada pemesannya, sedangkan metode pembayarannya umumnya menggunakan kredit bank. Alhasil, dana yang diterima perusahaan properti akan dicairkan secara bertahap oleh bank sesuai dengan perkembangan konstruksi di lapangan.

Jadi, beberapa bagian merupakan realisasi dari hasil termin pembayaran atas proyek baru yang terjual di tahun yang sama, sedangkan lainnya berasal dari pencairan termin pembayaran atas proyek yang terjual di tahun sebelumnya.

Namun, menariknya, di luar itu bisnis CTRA secara umum memang cukup sehat pada 2020 lalu. Ini terbukti dari tumbuhnya pendapatan berulang atau recurring income sebesar 6,07% YoY pada 2020 lalu, padahal komponen pendapatan ini merupakan cerminan kinerja riil pada tahun yang bersangkutan.

Recurring income ini mencakup pendapatan usaha dari rumah sakit, pusat niaga atau pusat perbelanjaan, penyewaan kantor, hotel, lapangan golf, dan lain-lain.

Pada 9 bulan tahun ini, CTRA juga menikmati pertumbuhan pada hampir semua lini bisnisnya. Ini terutama karena pemerintah memberikan banyak stimulus bagi bisnis properti tahun ini, mulai dari penurunan bunga KPR, keringanan uang muka, hingga diskon tarif pajak.

Selain itu, aktivitas ekonomi pun tahun ini secara rata-rata lebih tinggi ketimbang tahun lalu. Alhasil, marketing sales CTRA per September 2021 mencapai Rp5 triliun, jauh lebih tinggi ketimbang periode yang sama tahun lalu yang hanya Rp3,8 triliun.

Adapun, marketing sales sendiri merupakan nilai total pemasaran CTRA pada tahun yang bersangkutan. Ini berbeda dengan pendapatan, sebab nilai pendapatan akan dihitung berdasarkan realisasi dana masuk yang diperoleh dari pencairan pembayaran oleh konsumen atau bank.

Dengan demikian, terlihat bahwa kinerja CTRA memang cukup kuat selama pandemi. Lantas, bagaimana dengan MTLA? Berikut ini perkembangan kinerja keuangan MTLA:

Dari data tersebut, tampaknya kinerja MTLA tidak secemerlang CTRA. Pada 2020 lalu, kinerjanya melemah cukup dalam. Pendapatan turun 20,9% YoY menjadi Rp1,11 triliun, sedangkan laba bersih anjlok 44,1% YoY menjadi Rp272 miliar.

Tekanan masih berlanjut pada tahun ini. Untuk periode 9 bulan tahun ini, pendapatannya kembali turun sebesar 12% YoY menjadi Rp595 miliar. Namun, menariknya, labanya justru sudah berhasil tumbuh lagi 5,2% YoY menjadi Rp202 miliar.

Jika diperinci, tekanan penjualan MTLA hingga September 2021 lalu terutama terjadi pada penjualan kavling lahan, apartemen dan perkantoran, serta penyewaan mal. Perseroan bahkan tidak membukukan hasil penjualan apartemen dan perkantoran sepanjang tahun ini, padahal pada periode yang sama tahun lalu masih ada Rp59 miliar.

Kendati demikian, laba bersih berhasil tumbuh karena adanya penurunan pada sejumlah pos beban, seperti beban pemasaran, beban pajak, serta adanya peningkatan keuntungan lain-lain dari Rp37,6 miliar menjadi Rp95,5 miliar.

Keuntungan lain-lain ini yakni dari hasil penyesuaian nilai tanah atas penyertaan tanah ke salah satu kerja sama operasi, yakni senilai Rp70,2 miliar. Tahun lalu, pos ini tidak ada. Hal inilah yang memungkinkan laba MTLA berhasil tetap tumbuh di tengah berlanjutnya penurunan penjualan.

Sepintas, dari perbandingan data pertumbuhan pendapatan dan laba ini, kinerja CTRA terlihat jauh lebih unggul ketimbang MTLA. Hal ini sejatinya tidak begitu mengherankan, sebab kapasitas bisnis CTRA pun jauh lebih besar dengan tingkat diversifikasi yang lebih luas.

Total aset CTRA per September 2021 sudah mencapai Rp40 triliun, sedangkan MTLA hanya Rp6,4 triliun. CTRA juga sudah beroperasi di seluruh Indonesia, sedangkan MTLA masih relatif terbatas di Jabodetabek. Dengan demikian, risiko CTRA memang lebih terdiversifikasi.

Kendati demikian, kinerja keuangan MTLA sejatinya tidak dapat dipandang sepele. Kinerjanya yang kuat akan lebih terlihat jika kita membandingkan kinerjanya dari sisi rasio margin laba bersih atau net profit margin (NPM).

Berikut ini perbandingan NPM antara CTRA dan MTLA dalam beberapa tahun terakhir:

Terlihat bahwa sebelum periode pandemi, NPM MTLA selalu konsisten di atas 30%. Barulah pada tahun lalu NPM perseroan turun ke level di bawah 30%. Namun, pada tahun ini NPM-nya sudah kembali lagi ke posisi normalnya di level 34%.

Sementara itu, NPM CTRA dalam beberapa tahun terakhir konsisten di level belasan persen saja. Artinya, dalam hal ini, MTLA jauh lebih efektif dalam menghasilkan laba ketimbang CTRA.

Efektivitas MTLA dalam menghasilkan laba juga tecermin pada rasio profitabilitas lainnya, seperti return on assets (ROA) dan return on equity (ROE). MTLA memiliki nilai yang relatif lebih baik pada kedua rasio ini dibandingkan dengan CTRA secara historis. Berikut ini perbandingannya:

Terlihat bahwa dari sisi ROA, MTLA konsisten selalu lebih tinggi dibanding CTRA, sedangkan dari sisi ROE, CTRA berhasil unggul sejak tahun lalu. ROE MTLA turun tajam akibat pandemi, seiring dengan tergerusnya laba bersihnya. Namun, sebelum pandemi, ROE MTLA konsisten dua digit.

Dari data keuangan ini, jelas terlihat bahwa MTLA adalah salah satu perusahaan properti yang menguntungkan. Oleh karena itu, aksi akuisisi CTRA terhadap perseroan merupakan langkah yang bakal menguntungkan juga bagi CTRA.

Adapun, saham MTLA ini tampaknya dibeli CTRA dari Northern Trust Company SA Reco Newton Pte Ltd. Perusahaan yang berbasis di Singapura ini selama ini memiliki saham MTLA sebesar 37,5% dan menjadi pemegang saham terbesar.

Namun, status pengendali MTLA masih berada di bawah PT Metropolitan Persada Internasional yang hingga akhir Oktober 2021 lalu memiliki saham MLTA sebanyak 36,7%.

Dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia pada Jumat, 12 November 2021 lalu, Northern Trust mengumumkan telah menjual seluruh sahamnya pada 9 November 2021. Perusahaan itu menjualnya di harga Rp320 dan mengantongi dana Rp918,61 miliar.

Sementara itu, pihak pembeli selain CTRA yakni PT Metropolitan Persada Internasional sebanyak 0,82%, sehingga kepemilikannya kini menjadi 37,52%. Selain itu, ada juga investor individu yakni Iwan Putra Brasali yang membelinya sebanyak 2,04%.

Belum ada keterangan lain di laman Bursa Efek Indonesia yang menjelaskan siapa pembeli sisa saham lain yang dijual oleh Northern Company tersebut. Dalam informasi tersebut juga tidak dijelaskan secara terperinci alasan Northern Trust menjual saham MTLA.

Terlepas dari itu, jika melihat kinerja keuangan MTLA yang relatif masih kuat di tengah kondisi pandemi, jelas bahwa prospek perusahaan ini masih menjanjikan. Oleh karena itu, langkah divestasi besar Northern tidak mesti merupakan sinyal negatif atas prospeknya.