Menebak Arah Perekonomian 2022 dan Ancaman Pandemi

Date:

Bulan Agustus setiap tahun adalah momen bagi bangsa Indonesia untuk memperingati hari kemerdekaannya. Namun, selain itu, pada bulan Agustus juga pemerintah akan menyampaikan Nota Keuangan dan Rancangan APBN untuk tahun berikutnya.

Sebelumnya, pada awal bulan ini, pemerintah telah mengumumkan hasil kinerja perekonomian pada kuartal II/2021 dengan pencapaian yang mengesankan, meskipun dengan banyak catatan di dalamnya. Pengumuman itu menjadi bekal untuk menghadapi pertarungan ekonomi di paruh kedua tahun ini.

Kenyataannya, kondisi pandemi cenderung memburuk ketika memasuki paruh kedua tahun ini. Seiring dengan itu, tantangan ekonomi pun kembali meningkat. Capaian yang mengesankan pada kuartal II/2021 lalu pun kini kembali dalam tanda tanya, apakah mampu dipertahankan?

Terlepas dari itu, pada awal pekan depan, tepatnya Senin (16/08), masyarakat diajak untuk memikirkan prospek ekonomi yang sedikit lebih jauh dari sekadar paruh kedua tahun ini, yakni perekonomian tahun depan.

Pemerintah akan menyampaikan Nota Keuangan dan RAPBN 2022 dalam Sidang Tahunan DPR/MPR dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI. Pada kesempatan ini, pemerintah akan menyampaikan asumsi-asumsi ekonomi tahun depan.

Informasi ini penting bagi dunia usaha untuk dapat mulai merancang strategi dari sekarang dalam menghadapi potensi bisnis tahun depan. Bagaimanapun, ekonomi Indonesia sebagian besar masih ditopang oleh konsumsi masyarakat dan belanja negara.

Oleh karena itu, dengan mengetahui strategi anggaran negara tahun depan serta asumsi-asumsi perekonomian di baliknya, dunia usaha dapat memiliki gambaran awal tentang kondisi ekonomi yang bakal dihadapi tahun depan, kendati kejutan-kejutan tetap saja mungkin terjadi tahun depan.

Meskipun demikian, pemerintah sebenarnya telah sempat menyampaikan sejumlah asumsi dan target perekonomian tahun depan dan telah disetujui oleh Badan Anggaran (Banggar) DPR RI. Ekonomi diperkirakan akan tumbuh 5% hingga 5,5%, sedangkan inflasi di kisaran 2% hingga 4%.

Selain itu, tingkat imbal hasil atau yield Surat Utang Negara (SUN) 10 Tahun diasumsikan akan berada di level 6,82%, sedangkan kurs rupiah diperkirakan bergerak pada kisaran Rp14.350 per dolar Amerika Serikat.

Harga minyak mentah Indonesia ditargetkan di kisaran US$55 hingga US$65 per barel, lifting minyak bumi antara 703.000 barel per hari, dan lifting gas bumi 1,036 juta juta barel setara minyak per hari.

Pendapatan negara diperkirakan meningkat ke kisaran 10,18% hingga 10,44%, dalam rentang Rp1.823,5 triliun sampai Rp1.895,4 triliun. Sementara itu, belanja negara ditargetkan tumbuh 14,69% hingga 15,29%, dalam rentang Rp2.631,8 triliun hingga Rp2.775,3 triliun.

Keseimbangan primer diperkirakan mulai bergerak menuju positif atau lebih kecil dari APBN 2021 sebesar defisit Rp633,12 triliun, yaitu di kisaran -2,31% (defisit Rp414,1 triliun) sampai 2,65% (defisit Rp480,5 triliun) dari PDB.

Kemudian, defisit APBN akan semakin mengecil ke -4,51% sampai -4,85% dari PDB. Rasio utang di kisaran 43,76% sampai dengan 44,28% dari PDB.

Pemerintah pun menargetkan tingkat pengangguran terbuka dapat ditekan di kisaran 5,5% sampai 6,2%. Lalu, kemiskinan di rentang 8,5% 9,0%. Rasio gini antara 0,376 sampai 0,378. Indeks pembangunan manusia akan meningkat di 73,44 sampai 73,48.

Sementara itu, nilai tukar petani dan nilai tukar nelayan juga ditingkatkan untuk mencapai kisaran masing-masing 102 sampai 104 dan 102 sampai 105.

Berikut paparan nota keuangan Senin (16/8):

Kementerian Keuangan 2021

Asumsi-asumsi yang dirancang pemerintah tersebut didasarkan atas estimasi bahwa kondisi pandemi akan jauh lebih tertangani tahun depan, seiring dengan target penyelesain program vaksinasi Covid-19 akhir tahun ini.

Asalkan tidak ada kejutan yang besar, seperti yang terjadi pada pertengahan tahun ini, asumsi-asumsi ekonomi tahun depan yang dirancang pemerintah secara umum cukup masuk akal dan masih berada di rentang moderat. Tentu saja, asumsi-asumsi tersebut masih bisa berubah di masa mendatang.

Namun, masih ada beberapa kekhawatiran yang mengganjal dan pertanyaan mendasar yang menentukan arah ekonomi tahun depan.

Pertama-tama, kita masih belum dapat memastikan apakah pandemi akan benar-benar berakhir ataukah akan kembali muncul varian baru yang membawa gelombang baru pandemi yang mungkin akan lebih buruk lagi.

Selain itu, langkah pemerintah untuk mencari titik keseimbangan antara penanganan pandemi dan menjaga perekonomian selama ini juga masih dipertanyakan efektivitasnya. Kita tahu, kita tidak dapat memburu dua kelinci pada waktu yang sama, sebab risikonya kita tidak akan mendapatkan keduanya.

Namun, kita juga tahu pilihan yang harus dilakukan saat ini benar-benar dilematis, sehingga akhirnya kita harus berkompromi dengan keadaan. Sayangnya, upaya mencari titik keseimbangan ini dapat berujung pada kegagalan mencapai kedua target, baik penanganan pandemi maupun perbaikan ekonomi.

Di samping itu, prospek ekonomi tahun depan akan sangat ditentukan dari keberhasilan penanganan pandemi pada paruh kedua tahun ini. Sebab, kondisi penyebaran pandemi yang terjadi kini jauh lebih buruk dibandingkan yang terjadi sejak awal pandemi 2020 lalu.

Meskipun angka peningkatan kasus baru sudah mulai melandai dan meninggalkan puncaknya, tetap saja angka pertambahan kasus baru hariannya masih lebih tinggi ketimbang puncak pertama pada Januari 2021 lalu.

Selain itu, saat ini sudah jamak terdengar bahwa pasien baru Covid-19 pun berasal dari kalangan masyarakat yang sudah divaksin. Artinya, ancaman sama sekali belum berakhir. Lengah sedikit saja, peningkatan kasus baru dapat melonjak drastis.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika hingga kini masih terdengar suara-suara yang mengharapkan pemerintah untuk tidak dulu berfokus pada pengejaran target pertumbuhan ekonomi, tetapi penanganan tuntas pandemi dan memastikan masyarakat mampu bertahan.

Penanganan setengah hati terhadap pandemi menyebabkan masyarakat di tingkat bawah akan tetap melanggar himbauan pembatasan mobilitas demi mencari nafkah. Jika kondisinya terus seperti itu, pandemi dikhawatirkan bakal lebih lama lagi bertahan.

 

Menjaga Momentum di Paruh Kedua 2021

Tingginya pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2021 lalu sekaligus membawa Indonesia keluar dari jurang resesi. Namun, kabar gembira itu terasa agar tawar, sebab kita tahu bersama angka pertumbuhan 7,07% itu muncul dari faktor low base effect kinerja ekonomi pada kuartal II/2020.

Selain itu, pada saat yang sama juga kita menghadapi kondisi pandemi yang memburuk dengan pembatasan mobilitas yang diperketat sejak awal Juli 2021. Rasanya sulit untuk dapat tetap optimistis bahwa kinerja yang kuat pada kuartal II/2021 itu bakal berlanjut pada sisa tahun ini.

Mari sedikit membedah kinerja ekonomi pada kuartal II/2021 tersebut. Berdasarkan data BPS, selain faktor ekspor-impor, pertumbuhan PDB pada kuartal II/2021 masih ditopang oleh pertumbuhan pengeluaran konsumsi pemerintah.

Pengeluaran konsumsi pemerintah kuartal II/2021 tumbuh 29,07% secara kuartalan atau dibandingkan dengan kuartal I/2021 (quarter-to-quarter/QtQ) dan tumbuh 8,06% secara tahunan atau dibandingkan dengan kuartal II/2020 (year-on-year/YoY).

Sementara itu, secara kumulatif, total belanja negara sepanjang semester I/2021 juga tumbuh paling tinggi, yakni 5,49% dibanding semester I/2020 (cumulative-to-cumulative/CtC).

Bandingkan dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang besarnya masing-masing hanya 1,27% QtQ, 5,93% YoY, dan 1,72% CtC. Demikianpun pembentukan modal tetap bruto (PMTB) tidak begitu mengesankan, yakni 02,69% QtQ, 7,54% YoY, dan 3,46% CtC.

Kabar gembiranya, angka-angka pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan PMTB sudah jauh lebih baik dibanding kuartal-kuartal sebelumnya. Namun, kenyataan bahwa pengeluaran konsumsi pemerintah masih mendominasi tentu juga menunjukkan bahwa ekonomi belum efektif.

Kenaikan konsumsi rumah tangga tentu saja tidak terlepas pula dari bansos pemerintah yang naik signifikan tahun ini. Jika belanja negara ditekan, sudah tentu konsumsi masyarakat ikut tergerus. Jika konsumsi masyarakat tergerus, atau daya beli menurun, tentu pengeluaran investasi untuk barang modal jangka panjang atau PMTB juga akan tertekan.

Artinya, ekonomi saat ini belum mandiri dan masih sangat bergantung pada anggaran negara. Pada paruh kedua tahun ini, tampaknya kondisi yang sama masih akan berlanjut. Dengan pemburukan kondisi pandemi dan pembatasan mobilitas, efek tekanan terhadap kinerja bisnis dan daya beli menjadi berkepanjangan, sehingga ketergantungan terhadap anggaran negara akan lebih panjang lagi.

Jelas, pertumbuhan ekonomi yang positif pada kuartal kedua tahun ini bukanlah pertumbuhan yang berkualitas, apalagi berkelanjutan. Masih terlalu banyak PR yang harus diselesaikan untuk dapat benar-benar gembira menyambut data ekonomi.

Kinerja ekonomi pada paruh kedua tahun ini hanya akan berhasil dipertahankan jika eksekusi strategi anggaran pemerintah dapat berjalan dengan efektif di lapangan, sehingga konsumsi masyarakat meningkat, dan dunia usaha pun lebih optimistis untuk melakukan belanja modal atau berinvestasi.

Pemerintah harus bekerja ekstra keras untuk memastikan Indonesia tidak kembali tergelincir ke jurang resesi demi menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional.

 

Menyambut Tantangan 2022

Nah, jika kondisi pada paruh kedua tahun ini pun masih akan ditandai oleh ketergantungan yang tinggi terhadap anggaran negara, lantas apakah kita sudah bisa berharap kondisi akan berbalik 180 derajat tahun depan? Tampaknya sulit.

Ketergantungan terhadap anggaran negara masih akan tinggi. Dalam asumsi dan target ekonomi 2022, pemerintah pun telah merancang target pertumbuhan pendapatan dan belanja negara tahun depan akan tumbuh dua digit. Jadi, tampaknya karakter perekonomian Indonesia belum akan banyak berubah tahun depan.

Kendati demikian, potensi bagi Indonesia untuk kembali jatuh ke jurang resesi juga tampaknya sangat kecil. Beberapa lembaga ekonomi global pun memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2022 nanti masih akan berada di zona positif.

Asian Development Bank (ADB) masih mempertahankan perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,0% tahun depan, sedangkan Bank Indonesia memperkirakan di kisaran 4,6% hingga 5,4%. Secara umum, lembaga keuangan lain pun memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan akan lebih baik daripada tahun ini.

Pemulihan ekonomi pada 2022 mendatang juga tampaknya masih akan ditentukan oleh keberlanjutan aneka stimulus dari pemerintah. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memberikan sinyal bahwa program relaksasi restrukturisasi kredit perbankan kemungkinan bakal diperpanjang lagi, tidak hanya berakhir hingga Maret 2022.

Sementara itu, dengan kondisi pandemi yang belum akan sepenuhnya berakhir tahun depan, keputusan untuk mencabut stimulus fiskal untuk sektor properti dan otomotif seperti yang diberikan tahun ini kemungkinan akan segera merontokkan kinerja sektor raksasa tersebut.

Bank Indonesia juga tampaknya masih akan mempertahankan kebijakan suku bunga rendahnya dan melanjutkan kebijakan moneter sebagai pembeli siaga SBN di pasar perdana serta menjaga stabilitas nilai tukar.

Dengan kenyataan ini, tampaknya terlalu muluk untuk berharap bahwa dampak pandemi sudah akan sepenuhnya hilang tahun depan. Jika semua berjalan lancar sesuai yang diharapkan, kita mungkin akan menyaksikan riak-riak pemulihan yang mulai ramai. Semoga saja tidak ada kejutan buruk tahun depan