Strategi YELO Menyelamatkan Diri dari Tekanan Berat Pandemi
PT Yelooo Integra Datanet Tbk. merupakan salah satu emiten dengan kinerja kenaikan harga saham yang cukup mengesankan tahun ini. Meskipun tidak menjadi emiten dengan kenaikan harga tertinggi di pasar, bangkitnya emiten ini dari level gocapan tahun ini hingga kini di level Rp400-an cukup menarik perhatian.
Adapun, emiten berkode saham YELO ini merupakan perusahaan teknologi di bidang jasa penyewaan alat teknologi komunikasi. Emiten ini semula berkembang melalui proses inkubasi di IDX Incubator dan menjadi salah satu startup alumni inkubator tersebut yang sukses ke pasar modal.
Emiten lainnya yang juga sukses IPO setelah lulus IDX Incubator yakni PT Cashlez Worldwide Indonesia Tbk (CASH) dan PT Tourindo Guide Indonesia Tbk (PGJO). Hingga kini, masih ada puluhan startup lokal lainnya yang tengah dibida di IDX Incubator agar lebih siap menjalankan bisnisnya.
YELO merupakan perusahaan teknologi yang fokus menyediakan layanan mobile internet. Salah satu jasa yang disediakan YELO adalah modem portable berteknologi 4G (Mifi) dengan teknologi virtual SIM. Teknologi ini dapat menyediakan akses internet cepat dan andal di berbagai wilayah Indonesia tanpa harus repot mencari koneksi wifi.
Passpod berusaha menjawab gap konektivitas mobile di Indonesia, sejalan dengan komitmen untuk terus menghadirkan koneksi cepat yang dapat diandalkan ke para penggunanya.
Sejak tahun lalu hingga awal tahun ini, saham YELO telah terkapar di level Rp50. Sesekali harganya naik ke level Rp51, tetapi segera kembali ke level Rp50. Meskipun harganya tidak berubah, saat itu saham YELO tetap aktif ditransaksikan oleh pelaku pasar.
Kebangkitan saham YELO mulai terjadi tepatnya pada 22 Februari 2021. Kala itu, saham YELO tiba-tiba naik hingga terkena auto rejection atas (ARA) yakni 34% ke level Rp67. Kenaikan hingga ke level ARA tersebut rupanya terjadi selama 3 hari berturut-turut hingga menghantar YELO di level Rp121.
Sejak saat itu, aktivitas transaksi saham YELO makin aktif di pasar. Selain itu, sahamnya pun cukup berfluktuasi, meskipun tidak sampai kembali turun hingga ke level gocap. Sahamnya bertahan di level Rp100-an sepanjang paruh pertama tahun ini.
Saham YELO mulai kembali melonjak pada 22 Juli 2021. Kala itu, YELO kembali terkena ARA hingga sahamnya naik ke level Rp199 dari Rp148. Keesokan harinya, saham YELO untuk pertama kalinya menembus level Rp200-an. Tiga hari setelahnya, saham YELO sudah di level Rp300-an.
Saham YELO kembali berfluktuasi di kisaran Rp200-an hingga Rp300-an selama dua bulan, sebelum akhirnya menembus level Rp400-an pada 10 September 2021, tepatnya di level Rp444. Tiga hari setelahnya, saham YELO menyentuh level Rp510, sekaligus level puncaknya tahun ini.
Sejak itu, saham YELO sedikit mendingin dan kembali ke level Rp400-an. Hingga kini, saham YELO belum kembali menyentuh level Rp500-an. Pada pukul 10.00 WIB hari ini, Rabu (27 Oktober 2021), saham YELO ada di level Rp418, sudah meningkat 740% secara year-to-date (YtD).
Sepak Terjang YELO
Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang penyediaan layanan mobile internet, sebenarnya cukup mengejutkan jika saham YELO turun hingga ke level gocap. Sejak pertama kali listing di Bursa Efek Indonesia pada akhir Oktober 2018 lalu, saham YELO cenderung melemah.
Sahamnya dicatatkan dengan harga Rp376, tetapi segera melesat ke level Rp700 keesokan harinya. Namun, sejak itu saham YELO justru turun dan tidak pernah lagi kembali ke level Rp700. Sepanjang 2019, saham YELO terus turun hingga akhirnya jatuh ke level Rp50 pada awal pandemi 2020 lalu.
Namun, bukankah kondisi pandemi seharusnya menjadi berkah bagi emiten teknologi, terutama bisnis data internet? Sebab, kebutuhan terhadap layanan data meningkat pesat akibat keharusan bekerja dan belajar dari rumah.
Sayangnya, model bisnis yang dijalankan YELO justru berbeda dibandingkan dengan penyedia layanan telekomunikasi biasa. YELO menyediakan layanan sewa modem wifi portable berteknologi 4G. Layanan ini secara khusus menyasar pelanggan yang membutuhkan koneksi internet untuk traveling.
Jika kita mengunjungi website YELO, yakni passpod.com, salah satu layanan yang tersedia di sana, sekaligus layanan utamanya, adalah Wifi Pod. Layanan ini terbagi atas dua menu, yakni layanan sewa wifi booster serta layanan sewa passpod wifi.
YELO mengklaim jasa sewa modem dan internetnya ini lebih murah ketimbang jika kita membeli paket internet roaming dari provider telekomunikasi biasa ketika bepergian ke luar negeri. Benarkah demikian? Mari kita bandingkan.
Sebagai contoh, jika kamu ingin bepergian ke luar negeri, misalnya ke Australia, biasanya kamu harus membeli paket internet roaming dari provider telekomunikasi yang selama ini kamu pakai. Misalnya, selama ini kamu menggunakan kartu Telkomsel, berarti kamu harus terlebih dahulu membeli paket khusus internet roaming Australia dari Telkomsel.
Saat ini, di aplikasi MyTelkomsel, harga paket termurah untuk internet roaming Australia adalah paket 15 GB untuk 7 hari, yakni seharga Rp300 ribu.
Sementara itu, berdasarkan website passpod.com, untuk paket sewa modem wifi Australia dikenakan harga sewa unit Rp99.000 per hari dengan minimal sewa 2 hari, menjadi Rp198 ribu. Namun, selain itu ada biaya deposit senilai Rp250.000 yang akan dikembalikan setelah paket passpod kamu kembalikan.
Adapun, paket passpod tersebut terdiri atas modem 4G, USB charger, USB cable, pouch, dan power bank. Koneksi internet yang ditawarkan yakni unlimited tanpa ada batas wajar pemakaian. Wifi dapat digunakan secara bersamaan pada lima perangkat dalam radius 10 meter.
Jika melihat perbandingan tersebut, Telkomsel bakal terlihat lebih unggul jika yang diutamakan adalah masa aktif paket internet dengan harga yang cukup terjangkau. Kelemahannya, kamu harus menghemat konsumsi internet rata-rata cukup 2 GB per hari.
Sementara itu, untuk harga Rp300 ribu seperti paket roaming Telkomsel, passpod hanya bisa digunakan untuk 3 hari. Namun, kuota internet yang diberikan tanpa batas. Jadi, paket mana yang tepat, akan sangat bergantung pada karakter kebutuhanmu selama traveling.
Passpod juga menyediakan paket modem untuk penggunaan di Indonesia. Namun, jika dibandingkan dengan harga paket internet dari provider umum, baik mobile maupun internet rumah, harga sewa passpod jauh lebih mahal. Namun, produk passpod cocok untuk wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia.
Dengan kata lain, bisnis YELO sejatinya sangat bergantung pada aktivitas wisata. Kondisi pandemi yang justru membatasi mobilitas masyarakat dan aktivitas wisata jelas bukanlah kondisi ideal bagi bisnis YELO.
Selain itu, pasca-IPO, YELO juga tidak cukup mampu untuk mempertahankan kinerja keuangannya. Pendapatannya memang meningkat pada 2018 dan 2019, tetapi labanya justru turun pada 2019 dibanding 2018. Pada 2020, perseroan menderita kerugian yang cukup besar. Berikut ini kinerjanya:
Dari data tersebut terlihat bahwa ada peningkatan ekuitas yang cukup besar pada 2018 karena perseroan melakukan IPO. Seiring dengan itu, pendapatan dan labanya pun melonjak drastis. Namun, pada 2019, meskipun pendapatan meningkat, labanya justru tergerus.
Jika mencermati laporan keuangannya pada periode 2019, pendapatan perseroan memang meningkat 37% year-on-year (YoY) menjadi Rp37,5 miliar, tetapi beban pokoknya meningkat lebih tajam 46% YoY dari Rp15,8 miliar menjadi Rp23,1 miliar.
Selain itu, beban umum dan administrasinya bahkan melonjak lebih tajam lagi, yakni 76% YoY dari Rp5,97 miliar menjadi Rp10,5 miliar. Artinya, selama 2019, perseroan gagal untuk menjaga efisiensi bisnisnya. Lonjakan beban ini terutama berasal dari komponen penyusutan dan gaji.
Kondisi tersebut menyebabkan labanya anjlok 56% sepanjang 2019. Ini tentu bukanlah pencapaian yang disukai investor. Alhasil, tidak mengherankan jika akhirnya sahamnya mengalami penurunan.
Sementara itu, pada 2020, kondisi pandemi menghambat dan aktivitas traveling berkurang drastis. Permintaan terhadap jasa YELO pun menurun. Bahkan, pendapatan YELO sepanjang 2020 anjlok 94% YoY dari Rp37,5 miliar menjadi tinggal Rp2,3 miliar.
Perseroan pun menderita kerugian besar hingga Rp40,19 miliar. Nilai kerugian tersebut hampir menyamai nilai dana hasil IPO yang dikantongi perseroan pada 2018 lalu, yakni Rp48,88 miliar. YELO jelas mengalami kemunduran besar.
Ekuitasnya anjlok -49% YoY dari Rp82 miliar menjadi tinggal Rp42 miliar, sebaliknya bebannya meroket 304% YoY dari Rp1,66 miliar menjadi Rp6,71 miliar. Dengan kondisi ini, wajar jika akhirnya sahamnya tersungkur ke level Rp50.
Lantas, bagaimana kondisi keuangan YELO tahun ini? Sejauh ini sahamnya sudah kembali diapresiasi investor. Apakah hal tersebut karena adanya peningkatan kinerja keuangan?
Sejauh ini, YELO baru merilis kinerja keuangan untuk periode paruh pertama tahun ini, yakni per 30 Juni 2021. Hasilnya, perseroan berhasil meningkatkan pendapatannya dengan cukup tinggi. Namun, sebaik-baiknya kinerjanya, dengan kondisi ekuitas yang berkurang drastis tahun lalu, kapasitas YELO sudah tak lagi sama.
Berdasarkan laporan keuangannya, pendapatan YELO pada paruh pertama tahun ini mencapai Rp9,77 miliar. Jika dibandingkan capaian pada periode yang sama tahun lalu yang hanya Rp2,15 miliar, capaian tersebut meningkat 355% YoY.
Sayangnya, pada saat yang sama, beban pokok YELO juga melonjak 124% YoY dari Rp9,55 miliar menjadi Rp21,4 miliar. Alhasil, perseroan tetap rugi. Bahkan, rugi bersihnya membengkak 26% YoY dari Rp10,8 miliar menjadi Rp13,7 miliar.
Tingginya beban disebabkan karena perseroan sudah terlanjur meneken kontrak pembelian data internet luar negeri sejak sebelum pandemi Covid-19 terjadi. Alhasil, perseroan harus tetap memenuhi transaksi tersebut meskipun realisasi penjualan sangat minim.
Sinyal Ekspansi YELO
Jika melihat kinerja keuangannya yang masih lesu itu, sejatinya belum ada cukup alasan untuk kembali mengapresiasi saham YELO. Namun, ada hal menarik yang dikomunikasikan oleh manajemen YELO yang tampaknya menarik minat pelaku pasar.
Manajemen YELO mengatakan sedang berencana untuk menjajaki bisnis fiber optic teknologi 5G serta pengoperasian data center. Seperti diketahui, 5G dan data center saat ini sedang mendapatkan banyak sorotan sebab menentukan masa depan teknologi digital Indonesia.
Tentu masih segar pula dalam ingatan kenaikan harga yang terjadi pada PT DCI Indonesia Tbk. (DCII) karena sentimen bisnis data center ini. Tampaknya, adanya kabar bahwa YELO ingin masuk ke bisnis data center menjadi sentimen positif yang kembali memanaskan saham perseroan.
Ekspansi bisnis YELO itu pun tampaknya serius. Ini terbukti dari rencana perseroan untuk menggelar penambahan modal melalui emisi saham baru dengan memberikan hak untuk memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau rights issue.
Perseroan sudah mengantongi restu pemegang saham untuk menggelar rights issue yang merupakan Penawaran Umum Terbatas (PUT) I tersebut. Rencananya, perseroan akan melepas 1,83 miliar saham baru dengan nominal Rp100 per saham. Belun ditentukan harga pelaksanaannya.
Kendati demikian, tampaknya PUT I kali ini belum akan mengarah pada pengembangan fiber optic 5G ataupun data center, sebab aksi korporasi ini dilakukan dalam rangka mengakuisisi PT Abdi Harapan Unggul (AHU). Ini adalah perusahaan aggregator penjualan data dan beragam produk digital lain.
Adapun, pada 1 Maret 2021 lalu, YELO telah menandatangani kontrak dengan AHU senilai Rp100 miliar yang meliputi penyediaan layanan akses mobile internet di berbagai wilayah Indonesia.
Tampaknya, ini untuk mengurangi ketergantungan perseroan pada bisnis traveling dan memanfaatkan peluang pertumbuhan konsumsi internet dari aktivitas work from home (WFH) dan pembelajaran online.
Perseroan menargetkan dana yang diperoleh dari rights issue ini bakal mencapai Rp183,2 miliar. Sebesar 64,14% atau Rp97,5 miliar di antaranya akan digunakan untuk akuisisi AHU, masing-masing yakni Rp69,5 miliar saham AHU yang dimiliki PT Artalindo Semesta Nusantara (ASN) dan Rp28 miliar milik Roby Tan.
Rights issue kali ini akan dilakukan secara inbreng. Artinya, YELO bakal mengambil alih AHU dari ASN dan Roby Tan, tetapi sebagai gantinya ASN dan Roby Tan bakal memiliki saham YELO. Sisa dana rights issue akan digunakan untuk pengembangan modal kerja perseroan.
ASN akan mengambil HMETD yang menjadi bagian dari pemegang saham utama YELO, yakni PT Agung Inova Teknologi Indonesia dan PT Prima Jaringan Distribusi. Selepas rights issue, ASN bakal menjadi pengendali baru YELO.
Sementara itu, Roby Tan bakal menjadi pembeli siaga yang akan menyerap hak investor lainnya yang tidak ditebus dalam rights issue ini dengan jumlah sebanyak-banyaknya 280 juta saham. Sebagai informasi, Roby Tan ini dikenal juga sebagai pendiri PT Kioson Komersial Indonesia Tbk. (KIOS).
Sebelum rights issue ini, komposisi pemegang saham YELO yakni PT Agung Inovasi Teknologi Indonesia sebesar 42,06%, PT Jaringan Prima Distribusi sebanyak 17,33%, dan masyarakat sebanyak 40,61%. Namun, ada informasi menarik lain dalam daftar pemegang saham YELO ini.
Pada Juli 2021 lalu, beredar kabar yang cukup menarik seputar YELO, yakni aksi beli besar dari seorang investor individu, yakni Abigael Handoko Putra.
Bahkan, pada akhir Juli 2021 lalu, kepemilikannya atas YELO sudah mencapai 10,14%. Aksi beli Abigael ini tampaknya menjadi salah satu faktor pendorong naiknya harga saham YELO, selain informasi rights issue yang memang telah disampaikan sejak awal tahun ini.
Tampaknya, rencana pengembangan bisnis YELO ini cukup menjanjikan dan berhasil menarik minat investor sehingga kembali mengapresiasi sahamnya. Langkah rights issue ini pun menjadi jalan keluar untuk memulihkan permodalannya yang terpuruk akibat pandemi.
Meskipun demikian, YELO masih harus membuktikan kemampuannya untuk benar-benar menghasilkan pertumbuhan profit yang konsisten dan efisiensi yang optimal, serta tidak lagi mengulang kinerja yang sama pada 2019 lalu.
Date: