Mencermati Peluang Investasi Security Crowdfunding (SCF)
[Waktu baca: 6 menit]
Bertepatan dengan pembukaan hari pertama perdagangan di bursa untuk tahun 2021 pada Senin (4 Desember 2020) kemarin, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkenalkan produk investasi baru, yakni penawaran efek melalui layanan urun dana berbasis teknologi atau security crowdfunding (SCF).
Ini merupakan mekanisme penggalangan dana alternatif di pasar modal, selain initial public offering (IPO) yang sudah lebih umum dikenal di Bursa Efek Indonesia.
Sebenarnya, SCF ini bukanlah benar-benar instrumen baru, melainkan perluasan dari instrumen yang sebelumnya sudah, yakni equity crowdfunding (ECF). Dasar hukumnya yakni POJK 37/POJK.04/2018 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi.
Bedanya, jika ECF hanya terbatas pada penggalangan dana untuk penyertaan modal berupa saham atau equity, kini SCF lebih luas mencakup berbagai jenis instrumen surat berharga atau efek lain, seperti obligasi dan sukuk.
SCF memberikan peluang kepadamu, investor pasar modal, untuk menanamkan modal atau memberikan pinjaman kepada perusahaan-perusahaan yang membutuhkan tambahan modal untuk mengembangkan usahanya.
Perusahaan-perusahaan yang akan menggalang modal melalui SCF umumnya adalah perusahaan-perusahaan yang skala bisnisnya masih kecil dan belum memenuhi syarat untuk bisa melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia.
Dengan kata lain, perusahaan-perusahaan yang akan menggalang dana melalui SCF adalah kalangan usaha kecil dan menengah (UKM) yang bisnisnya relatif masih baru. Artinya, peluang peningkatan skala usahanya secara eksponensial tentu masih lebih besar, tetapi risiko kegagalan bisnisnya juga sangat tinggi.
Investasi ini memberikan peluang keuntungan yang serupa seperti di pasar modal, yakni pembagian keuntungan kepada investor berdasarkan besaran porsi penyertaan saham atau pemberian bunga/kupon sesuai perjanjian awal penerbitan surat utang.
Namun, berbeda dibanding investasi saham ataupun surat utang di pasar modal, investasi ECF atau yang kini diperluas menjadi SCF dilakukan tidak melalui perusahaan sekuritas, melainkan melalui platform teknologi finansial (tekfin) yang menjadi penghubung antara investor dengan perusahaan yang butuh modal.
Lantas, apakah menguntungkan berinvestasi di SCF? Apakah lebih menguntungkan ketimbang investasi yang sudah lebih umum di pasar modal? Apa saja risikonya? Apakah risikonya sepadan dengan peluang keuntungannya?
Prinsip Investasi Tetap Berlaku di SCF
Pada dasarnya, SCF adalah mekanisme investasi. Artinya, ada peluang keuntungan di sana, tetapi ada juga risikonya.
Biasanya, ketika kamu akan melakukan investasi di perusahaan tertentu yang terdaftar di platform tekfin SCF, penyelenggara platform tersebut akan menampilkan profil, tingkat risiko, serta peluang imbal hasil yang ditawarkan oleh perusahaan yang hendak menggalang dana melalui platform tersebut.
Artinya, penyelenggara platform telah lebih dahulu melakukan analisis risiko dan investasi terhadap perusahaan yang hendak menjadi sasaran investasi. Lalu, apakah hal itu menjamin investasi akan minim risiko? Tentu tidak.
Tingkat risiko dan proyeksi keuntungan yang ditampilkan adalah perkiraan. Hasil riilnya bisa jadi lebih tinggi atau lebih rendah ketimbang yang diperkirakan.
Tidak jarang, platform dan perusahaan menampilkan proyeksi imbal hasil yang tinggi demi menarik minat investor, tetapi hasilnya tidak setinggi yang dijanjikan. Kamu diandaikan sejak awal sudah memahami risiko bahwa imbal hasil yang ditawarkan bisa jadi tidak sesuai harapan.
Meskipun demikian, tentu banyak pula investasi yang berhasil dan memberikan keuntungan yang tinggi bagi investornya.
Pada dasarnya, baik platform maupun perusahaan yang hendak mengumpulkan dana berkepentingan untuk bisa memenuhi janji investasi seperti yang diproyeksikan, sebab hal itu menyangkut pula reputasi mereka.
Platform yang terlalu sering menampilkan perusahaan-perusahaan dengan tingkat pemenuhan imbal hasil yang rendah atau bahkan gagal tentu lambat laun akan ditinggalkan investor. Sementara itu, pemilik perusahaan yang mencari modal juga perlu menjaga reputasi dan peringkat investasinya demi kelangsungan usahanya di masa depan.
Pasar Pengguna Jasa SCF Akan Lebih Besar, Risiko Juga Lebih Tinggi
Tujuan OJK memperluas ECF menjadi SCF tidak saja untuk memperbanyak alternatif pilihan investasi, tetapi juga untuk membantu lebih banyak kalangan UKM dalam mengakses permodalan.
Seperti diketahui, tidak mudah bagi UKM untuk meminjam dana di bank, sebab bank cenderung sangat hati-hati dalam menyalurkan dana. UKM dianggap sebagai kelompok usaha yang berisiko tinggi dengan tingkat pengembalian pinjaman yang tidak pasti.
Adanya SCF akan memungkinkan UKM untuk mencari sumber dana alternatif, baik berupa penyertaan modal maupun pinjaman.
Nah, dengan memperluas ECF menjadi SCF, OJK juga memperluas kelompok UKM yang bisa mengakses jasa SCF.
Sebelumnya, untuk dapat mengakses modal melalui ECF, UKM harus lebih dahulu mengurus status legal perusahaan sebagai perseroan terbatas (PT) atau koperasi. Namun, dengan SCF, model badan usaha lain seperti CV atau firma pun bisa melakukan urun dana melalui platform penyelenggara SCF.
Setidaknya, ada tiga hal yang harus kamu ingat di sini, sebelum memutuskan ikut berinvestasi di platform SCF nantinya.
Pertama, perusahaan pengguna jasa SCF adalah UKM yang umumnya masih kesulitan mengakses dana di bank. Artinya, bank masih menilai risiko mereka sangat tinggi. Itu artinya, dalam hal ini kamu bersedia mengambil risiko yang lebih besar ketimbang yang bersedia ditanggung oleh bank.
Oleh karena itu, jangan terkejut jika sewaktu-waktu investasimu melalui SCF gagal. Namun, sebagai kompensasinya, kamu berpeluang mendapatkan tingkat keuntungan yang lebih tinggi ketimbang jika kamu hanya menabung danamu di bank berupa deposito.
Kedua, badan usaha yang lebih rendah daripada PT tentu juga memiliki karakter risiko yang berbeda dibandingkan PT. Sebagai contoh, pada CV, tanggung jawab atas perusahaan dibebankan kepada pengurus dan tidak terbatas hanya berdasarkan penyertaan modal di perusahaan itu.
Artinya, jika sewaktu-waktu investasinya gagal, proses pertanggungjawaban atas kerugian pemodal atau pemberi pinjaman bisa sedikit lebih rumit ketimbang PT.
Ketiga, skala usaha yang kecil dan umumnya masih relatif baru menjadikan kekuatan bisnis dari UKM yang menggalang dana melalui SCF belum teruji. Oleh karena itu, risiko kegagalannya pun lebih besar. Hanya saja, karena skala bisnisnya yang masih kecil, tingkat pertumbuhan bisnisnya pun bisa lebih cepat.
Sebagai contoh, UKM yang semula omsetnya Rp100 juta per bulan dan meningkat menjadi Rp150 juta per bulan sudah mencerminkan tingkat pertumbuhan bisnis 50%, padahal dari sisi nilai relatif kecil yakni hanya meningkat Rp50 juta.
Bandingkan dengan perusahaan besar yang omsetnya sudah miliaran rupiah. Kenaikan Rp50 juta tentu tidak ada artinya.
Platform Crowdfunding Makin Solid, Investasi Makin Aman
Salah satu faktor yang dapat meningkatkan kepercayaanmu untuk berinvestasi pada SCF adalah platform-platform penyelenggaranya sudah mendapatkan izin dari OJK. Mereka bahkan sudah membentuk asosiasi, yakni Asosiasi Layanan Urun Dana Indonesia (ALUDI).
ALUDI menjadi mitra OJK untuk mendampingi, membina, serta menertibkan anggotanya untuk mencegah terjadinya praktek usaha SQF yang melanggar code of conduct industri SCF dan melindungi kepentingan investor.
Adapun, ALUDI terbentuk sejak Juli 2020 dan digawangi oleh PT Santara Daya Inspiratama (Santara), PT Investasi Digital Nusantara (Bizhare), dan PT Crowddana Teknologi Indonusa (CrowdDana).
Asosiasi ini baru saja diakui OJK pada 11 November 2020 melalui Keputusan Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-60/D.04/2020 tentang Pengakuan terhadap Perkumpulan sebagai Asosiasi Penyelenggara Layanan Urun Dana Berbasis Teknologi Informasi.
Hingga saat ini ALUDI telah memiliki 22 anggota antara lain FundEx, danasaham, Byznis, Prodana, Benih Bersama, Greenfund, Urunmodal, Udana, Shafiq, dan lainnya. Di platform-platform inilah kamu bisa melakukan investasi SCF nantinya.
Catatan Penutup
SCF pada dasarnya merupakan model pendanaan awal bagi UKM yang masih relatif baru dan belum memenuhi syarat untuk bisa menggalang dana dari pasar modal konvensional. Meskipun demikian, SCF menjadi sarana bagi UKM tersebut untuk bisa naik kelas sehingga nantinya melakukan IPO.
Biasanya, pada model ECF sebelumnya, pemodal memiliki jangka waktu penyertaan modal terhadap UKM yang didanai. Artinya, investor di ECF umumnya akan keluar dari perusahaan itu setelah jangka waktu tertentu.
Namun, peluang bagi pendanaan atau penyertaan modal jangka panjang pun tetap terbuka. Jika pendanaan dilanjutkan bahkan hingga UKM tersebut berhasil naik kelas dan melakukan IPO, pemodal awal tentu berpeluang menikmati keuntungan investasi yang lebih besar, sebab mereka berinvestasi lebih awal dengan modal lebih rendah.
Hanya saja, tidak semua UKM akhirnya mampu naik kelas. Namun, hal ini tetap tidak dapat menafikan peluang investasi yang besar pada UKM ke masa mendatang. Hadirnya SCF membuka peluang tersebut. Kamu berminat?
Date: