Menakar Prospek INAF di Balik Lonjakan Harga Sahamnya
[Waktu baca: 7 menit]
Saham PT Indofarma Tbk. menjadi saham dengan kenaikan harga tertinggi di Bursa Efek Indonesia saat ini, dengan tingkat pertumbuhan fantastis mencapai 260,92% dalam 6 bulan terakhir, atau sejak pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia.
Peningkatan pesat saham emiten farmasi dengan kode INAF ini mulai terjadi pada pertengahan Juli 2020. Mudah ditebak alasan di balik kenaikan saham INAF ini. Sebagai emiten yang bergerak di industri obat-obatan, INAF ‘diuntungkan’ oleh kondisi pandemi, sebab permintaan terhadap obat-obatan, terutama yang terkait Covid-19 pun meningkat.
Namun, hal yang menjadi pertanyaan adalah, wajarkah kenaikan harga saham INAF tersebut? Apakah kinerja bisnis INAF memang sudah sangat baik sehingga menjadi dasar yang masuk akal bagi lonjakan harga saham hingga ratusan persen tersebut?
Kenaikan harga saham INAF tidak terlepas dari sentimen positif rencana pengembangan vaksin Covid-19 oleh holding BUMN farmasi, yakni PT Bio Farma (Persero). Bio Farma mengembangkan vaksin Covid-19 dalam kerja sama dengan Sinovac Biotech dari China, sedangkan INAF ditunjuk sebagai distributor vaksin tersebut.
Meskipun vaksin ini belum didistribusikan, tetapi permintaannya sudah pasti akan tinggi apabila pengembangan vaksi tersebut rampung. Bisa dibayangnya, berapa juta penduduk Indonesia yang perlu divaksin demi menangkal Covid-19?
Sentimen positif terhadap saham INAF lantas makin menguat setelah perseroan menyatakan siap memasarkan obat penanganan Covid-19, yakni remdesivir dengan merek Desrem. Remdesivir tersebut diproduksi oleh Mylan Laboratories Limited, atas lisensi dari Gilead Science Inc., Foster City dan United States of America.
Rencananya, obat tersebut akan dipasarkan dengan harga Rp1,3 juta per vial. Manajemen INAF mengatakan sudah menyiapkan pasokan sekitar 400.000 vial remdesivir untuk kebutuhan bulan Oktober ini saja. Selagi vaksin belum ditemukan, obat anti Covid-19 tentu sangat dibutuhkan.
Pasar tampaknya menaruh harapan keuntungan INAF akan meningkat di masa mendatang, sebab permintaan terhadap obat tersebut kemungkinan akan sangat tinggi, mengingat kasus Covid-19 di Tanah Air makin meningkat dari waktu ke waktu. Lagi pula, obat tersebut sudah digunakan di banyak negara untuk terapi penyembuhan Covid-19.
Namun, manajemen INAF sendiri mengaku belum dapat memastikan, seberapa besar kontribusi penjualan obat Covid-19 kepada penjualan INAF hingga akhir tahun ini. Adapun, selain remdesivir, INAF sebelumnya sudah memasarkan obat penanganan Covid-19 lainnya, yakni oseltamivir. Obat ini diproduksi sendiri oleh INAF dengan kapasitas produksi mencapai 4,9 juta kapsul per bulan.
Selain itu, INAF juga memproduksi alat-alat kesehatan (alkes) yang digunakan selama masa penanganan pandemi saat ini, seperti medical face mask, hand sanitizer, perlengkapan rapid test dan tes PCR, product isolation transport, dan virus transport media (VTM).
Manajemen INAF cukup yakin omzet penjualan alkes tahun ini bisa mencapai Rp400 miliar. Pasalnya, permintaan terhadap alkes kini meluas hingga ke daerah-daerah, padahal sebelumnya permintaan hanya berasal dari Jakarta. Selain itu, pelaksanaan pilkada pada Desember 2020 juga berpotensi memacu permintaan alkes demi menjalankan protokol kesehatan selama proses pemilihan.
Untuk mengimbangi tingginya permintaan, INAF bahkan berencana untuk membangun pabrik sendiri untuk produksi peralatan rapid test di Cibitung.
Penanganan pandemi sudah dimulai sejak kasus pertama terjadi di Indonesia pada Maret 2020 lalu. Sejak itu, permintaan terhadap obat-obatan dan alkes terkait penanganan Covid-19 mulai meningkat. Lantas, bagaimana kinerja keuangan INAF pada semester pertama tahun ini?
Berikut ini laporan keuangan INAF periode semester I/2020 :
Dari tabel tersebut terlihat bahwa pada paruh pertama tahun ini, INAF berhasil membukukan kenaikan pendapatan yang cukup tinggi, yakni mencapai 21,3% secara tahunan (year on year/yoy). Namun, sayangnya pada saat yang sama beban pokok justru melonjak lebih tinggi, yakni 27,7% yoy.
Hal ini menyebabkan kenaikan laba INAF tidak setinggi kenaikan pendapatannya. Meski perseroan sudah berhasil membalikkan rugi usaha pada semester I/2019 menjadi laba pada paruh pertama tahun ini, tetapi nilai tersebut belum cukup untuk menutupi beban keuangan dan pajak.
Alhasil, perseroan masih tetap rugi bersih Rp4,7 miliar. Hanya saja, kenaikan bisnis INAF tahun ini mampu menekan tingkat kerugiannya menjadi lebih kecil dibandingkan semester I/2019 yang ruginya mencapai Rp24,4 miliar.
Bila berkaca dari laporan keuangan paruh pertama tahun ini saja, terlihat bahwa kenaikan harga saham INAF yang sangat tinggi pada 6 bulan terakhir jelas tidak sejalan dengan kinerja bisnisnya. INAF masih rugi, tetapi investor di pasar modal secara berlebihan mengapresiasi sahamnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, kinerja INAF pun belum terlalu menggembirakan. INAF bukanlah emiten yang secara konsisten mampu membukukan pertumbuhan laba yang stabil. Justru, INAF sudah mengalami kerugian selama bertahun-tahun. Berikut ini kinerja INAF beberapa tahun terakhir :
Dari tabel tersebut terlihat bahwa INAF sudah membukukan rugi bersih sejak 2016 dan baru kembali dapat membukukan laba pada 2019. Meskipun pada semester I/2019 perusahaan masih rugi, tetapi rupanya INAF berhasil membalikkan keadaan pada sisa tahun lalu sehingga akhirnya bisa mencetak laba Rp8 miliar.
Namun, keuntungan sebesar Rp8 miliar itu tentu masih belum dapat mengimbangi rugi yang terjadi selama 3 tahun sebelumnya. Total kerugian 3 tahun tersebut mencapai Rp96,4 miliar. Kerugian ini tentu saja berdampak terhadap modal INAF.
Berikut ini perkembangan aset INAF selama beberapa tahun terakhir:
Dalam tabel tersebut tampak bahwa jumlah aset INAF sudah turun cukup dalam selama periode 2015-2019. Penurunan aset INAF pada 2019 tepatnya mencapai Rp150 miliar atau turun 9,8% dibandingkan posisi 2015. Modal INAF berkurang Rp87,8 miliar, sedangkan liabilitas turun Rp62 miliar.
Penurunan paling dalam terjadi pada komponen aset lancar, yakni berkurang Rp239 miliar, sedangkan aset tidak lancar masih meningkat sebesar Rp89 miliar.
Normalnya, kinerja saham suatu emiten bergerak sejalan dengan kinerja bisnis dan keuangannya. Namun, kinerja saham INAF justru bergerak sebaliknya.
Saham INAF cenderung tidak banyak bergerak pada 2015 dan ditutup di level Rp168, tetapi melesat sangat tinggi (2.686%) pada 2016 dan ditutup di level Rp4.680 pada akhir tahun, justru ketika labanya tergerus.
Pada 2017, saham INAF sempat turun tajam di awal tahun hingga level Rp2.100 pada akhir Februari 2017, tetapi kembali naik menjelang akhir tahun dan ditutup di level Rp5.900, atau lebih tinggi 26% dibandingkan harga akhir tahun 2016.
Tren yang sama kembali berulang pada 2018 sehingga saham INAF ditutup di level Rp6.500 pada akhir tahun, naik 10% yoy. Namun, sepanjang 2019 saham INAF anjlok 87% hingga ditutup di level Rp870.
Kini, pada 2020 saham INAF kembali melambung tinggi hingga ke level Rp3.140 per Rabu (7 Oktober 2020). Namun, tentu saja kenaikan ini belum mampu mengimbangi penurunan harga yang terjadi 2019 lalu.
Berikut ini grafik pergerakan harga saham INAF 5 tahun terakhir:
Kenaikan harga saham yang berlebihan di tengah kerugian yang masih terjadi hingga semester pertama tahun ini menyebabkan rasio harga terhadap laba per saham atau price to earning ratio (PER) INAF mencapai -1.043,82 kali. PER yang negatif merupakan cerminan dari rugi.
Ini adalah level PER yang sangat tinggi, yang berarti harga saham INAF saat ini sudah terlampau mahal. Sebagai pembanding, PER rata-rata IHSG yang mencerminkan kondisi seluruh pasar saat ini hanya 11,7 kali.
Dengan membandingkan antara kinerja keuangan dan sahamnya, dapat disimpulkan bahwa pergerakan saham INAF selama ini tidak sejalan dengan fundamental bisnisnya.
Pembentukan harga saham INAF lebih banyak terjadi karena ekspektasi investor yang terlampau tinggi terhadap prospek INAF di masa mendatang dalam menghadapi Covid-19.
Kemungkinan lainnya, harga saham INAF memang sengaja dimainkan oleh beberapa pihak tertentu di pasar modal guna mendulang untung setinggi mungkin. Sering kali, aktivitas “bandar” ini berujung pada kejatuhan harga yang sangat dalam setelah kenaikannya yang tak wajar.
Saat ini, saham INAF dikendalikan oleh Bio Farma sebagai holding BUMN farmasi dengan kepemilikan saham 80,66%. Pemegang saham tunggal terbesar lainnya yakni PT Asabri (Persero), yakni BUMN pengelola dana pensiun TNI dengan kepemilikan saham 7,34%. Selebihnya, 12% saham INAF dimiliki oleh investor publik.
Kepemilikan Asabri pada INAF awalnya mencapai 15,1% sejak 5 Desember 2017. Namun, pada awal tahun ini, dalam laporan kepemilikan saham INAF yang terbit pada 14 Februari 2020 lalu, kepemilikan Asabri sudah berkurang tinggal 13,91%. Rupanya, sepanjang tahun ini, kepemilikan Asabri sudah berkurang lagi menjadi 7,34%.
Pada awal tahun ini, Asabri cukup ramai diberitakan lantaran portofolio sahamnya banyak yang rontok harganya. Saat itu, kepemilikan Asabri di INAF juga menjadi sorotan lantaran harga saham INAF anjlok 87% sepanjang 2019, setelah naik pesat selama 3 tahun sebelumnya.
Tren harga saham INAF yang sering kali bergerak tidak wajar ini mestinya menjadi alarm bagi investor agar lebih berhati-hati sebelum membeli saham ini, walaupun kenaikan harganya yang pesat memang menggiurkan.
Date: