Memilih Sektor Saham Unggulan Saat Pandemi

Date:

[Waktu baca: 8 menit]

Memilih saham yang tepat sebagai tempat untuk berinvestasi bukanlah hal yang mudah, apalagi di tengah kondisi pasar yang sedang tertekan seperti saat ini. Butuh kejelian ekstra untuk menyaring saham-saham yang masih layak dipilih di antara saham-saham yang kinerjanya memerah.

Tentu strategi pemilihan saham akan berbeda antara mereka yang hanya ingin mengincar keuntungan jangka pendek dari pasar saham, atau para trader harian, dengan mereka yang berniat untuk berinvestasi secara jangka panjang, atau menabung saham.

Trader sering kali berpatok pada sentimen jangka pendek, isu atau rumor seputar emiten tertentu atau pasar modal,  riak-riak dinamika politik dan ekonomi sesaat, serta analisis teknikal pergerakan saham.

Sementara itu, investor jangka panjang memperhatikan tren ekonomi jangka panjang, kebijakan ekonomi/politik yang berpengaruh dalam jangka panjang, kondisi keuangan/bisnis internal dari emiten, prospek jangka panjangnya, prospek industrinya, dan rekam jejak bisnis serta manajemen emiten itu. Singkatnya, aspek fundamental bisnis dari emiten tersebut serta ekonomi makro.

Kini, di tengah kondisi pasar yang memerah, di mana IHSG sudah turun 17,83% dibandingkan posisi akhir tahun 2019 (year to date/ytd), baik trader maupun investor jangka panjang sama-sama kesulitan memilih saham.

Dalam kondisi ini, tidak jarang saham perusahaan-perusahaan tertentu harganya bisa naik gila-gilaan, tidak masuk akal, dan tidak sesuai dengan fundamental bisnisnya.

Di tengah terbatasnya pilihan, sentimen positif sedikit saja pada emiten tertentu, bisa mendorong sahamnya terbang hingga puluhan, bahkan ratusan persen dalam waktu singkat.

Meskipun demikian, proses transaksi di pasar modal sepanjang tahun ini sudah mulai merefleksikan sektor-sektor industri mana saja yang masih dipercaya oleh mayoritas investor sebagai sektor industri yang relatif mampu bertahan di tengah pandemi.

Dengan menggali lebih jauh prospek bisnis pada sektor-sektor tersebut di tengah pandemi, kita bisa mulai mencari tahu, kira-kira emiten mana dari sektor-sektor itu yang masih layak untuk diinvestasikan saat ini. Pasalnya, sektor-sektor industri yang masih dipersepsikan positif ini memiliki peluang untuk lebih berdaya tahan jika pandemi ini berlangsung lebih lama.

Sementara itu, sektor-sektor yang tertekan kemungkinan akan sulit bangkit. Bahkan setelah ekonomi membaik, butuh waktu lebih lama bagi sektor-sektor yang sudah terlanjur terpuruk untuk mengumpulkan lagi tenaganya dan mulai bangkit.

Untuk mengetahui sektor-sektor industri mana saja yang masih diyakini pasar sebagai sektor yang mampu bertahan, kita dapat memperhatikan kinerja indeks sektoral di Bursa Efek Indonesia. Berikut ini kinerjanya secara year to date per Rabu, 14 Oktober 2020:

Dari data tersebut, terlihat bahwa semua indeks sektoral turun sepanjang tahun ini. Meskipun demikian, ada beberapa sektor industri yang penurunan indeksnya masih lebih baik dibandingkan IHSG. Namun, ada pula yang jauh lebih buruk.

Tiga indeks dengan kinerja terburuk yakni indeks properti, real estate, dan konstruksi bangunan; indeks aneka industri; dan indeks infrastruktur, utilitas, dan transportasi. Artinya, bisnis di sektor-sektor ini cukup terpuruk selama pandemi, terutama akibat PSBB, dan itu terefleksi pada harga saham emiten-emitennya.

Lesunya bisnis seputar properti tidak terlepas dari turunnya aktivitas ekonomi yang menyebabkan daya beli masyarakat melemah. Properti merupakan produk berharga tinggi dan cenderung tidak diprioritaskan untuk dibeli ketika ekonomi sedang tertekan. Selain itu, perusahaan pengelola mal-mal yang berhenti beroperasi selama PSBB juga ikut tertekan bisnis dan sahamnya.

Ekonomi yang tertekan pun menyebabkan permintaan terhadap barang-barang aneka industri ikut tertekan. Kinerjanya baru akan pulih setelah daya beli membaik. Sementara itu, sektor terkait transportasi tertekan tidak lain karena PSBB membatasi aktivitas perjalanan, baik darat, laut, maupun udara. Lagi pula, ekonomi yang tertekan menyebabkan gairah untuk bepergian pun ikut turun.

Meskipun demikian, masih ada industri yang dianggap masih mampu bertahan di tengah pandemi. Hal ini terefleksi dari kinerja indeksnya yang lebih unggul ketimbang IHSG. Meskipun tetap memerah, sebab tekanan ekonomi berdampak pada semua sektor, penurunannya tidak terlalu parah.

Tiga indeks yang terbaik yakni pertambangan, industri barang konsumsi, dan keuangan. Artinya, investor masih memandang peluang bisnis ketiga industri ini masih cukup menjanjikan di tengah pandemi. Kita akan fokus untuk mengamati saham-saham di ketiga sektor ini yang selama ini cukup diapresiasi investor.

Sektor Pertambangan

Indeks sektor pertambangan tampaknya menjadi indeks dengan kinerja terbaik saat ini di Bursa Efek Indonesia. Penurunannya hanya 7,64% ytd, padahal sektor lain turun hingga lebih dari 20%. Ada apa?

Sektor ini masih diapresiasi sebab di tengah tekanan ekonomi global, harga sejumlah produk  tambang meningkat.

Emas, contohnya, harganya sudah meningkat tinggi sekali tahun ini. Sebagai acuan, harga emas batang di PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) ditutup di harga Rp1 juta per gram pada Rabu, 14 Oktober 2020 sudah naik 30% dibandingkan harga penutupan akhir 2019 yang sebesar Rp771 ribu per gram.

Selain itu, harga komoditas-komoditas tambang lainnya pun cenderung mulai meningkat sejak pertengahan tahun ini seiring meningkatnya permintaan global.

Pelonggaran lockdown di beberapa negara menyebabkan permintaan barang tambang ini mulai meningkat lagi, sehingga aktivitas ekspor perusahaan-perusahaan tambang Indonesia pun mulai membaik.

Berikut ini harga mineral dan batu bara acuan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM):
 

Dari data tersebut, terlihat bahwa harga komoditas mineral dan batubara acuan bagi produsen dalam negeri pada Oktober 2020 umumnya sudah meningkat dibandingkan bulan sebelumnya. Beberapa komoditas, antara lain nikel, seng, tembaga, perak, dan bijih besi harganya bahkan sudah meningkat sejak Mei 2020.

Selain itu, disahkannya UU Cipta Kerja juga tampaknya memberi sentimen positif bagi sektor industri tambang ini. Sektor ini dianggap menjadi salah satu sektor yang diuntungkan oleh UU tersebut, sebab perusahaan tambang mempekerjakan banyak buruh tambang. Adanya pelonggaran aturan ketenagakerjaan dianggap menguntungkan perusahaan-perusahaan di sektor ini.

Berikut ini daftar saham di sektor tambang yang menjadi pendorong dan penekan utama kinerja indeksnya berdasarkan data Bloomberg per Rabu, 14 Oktober 2020:

Dalam daftar emiten pendorong kinerja indeks tambang ada PT Merdeka Copper Gold Tbk. (MDKA) yang diuntungkan oleh kenaikan harga emas sebab harga emas memang cenderung naik sejak awal tahun ini. Emiten-emiten yang melakukan tambang mineral cenderung naik harganya sejak Maret 2020.

Sementara itu, di daftar penekan indeks ada PT Adaro Energy Tbk. (ADRO), yakni emiten penambang batu bara. Umumnya, emiten-emiten tambang batu bara memang belum menikmati return positif dibandingkan posisi akhir 2019. Namun, trennya harganya cenderung mulai membaik.

Dalam tabel harga batubara acuan (HBA) Kementerian ESDM yang ditampilkan di atas, terlihat bahwa meskipun harga batu bara Oktober 2020 sudah mencapai US$51/to, atau lebih baik dibandingkan September 2020, tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan level harga awal tahun ini US$65,93/ton.

 Sektor Industri Barang Konsumsi

Kinerja yang positif di sektor barang konsumsi tidak terlepas dari karakter sektor ini yang memang bersifat defensif. Sektor ini cenderung lebih stabil, sehingga tidak akan naik sangat tinggi ketika pasar sedang  sangat optimistis, tetapi juga tidak turun terlalu dalam ketika pasar pesimistis.

Hal ini terjadi karena kebutuhan terhadap konsumsi relatif tetap stabil, bahkan di saat krisis, sebab krisis tidak menghentikan aktivitas konsumsi sama sekali. Di sisi lain, ketika ekonomi sedang berjaya, aktivitas konsumsi pun hanya akan naik sewajarnya sesuai kapasitas konsumsi masyarakat.

Namun, tentu saja di tengah pandemi, pembatasan aktivitas ekonomi menyebabkan penghasilan masyarakat pun berkurang. Alhasil, konsumsi cenderung difokuskan pada kebutuhan-kebutuhan paling mendesak, seperti makan, minum, dan kesehatan.

Hal ini menyebabkan emiten di sektor barang konsumsi pun tetap mengalami tekanan kinerja. Hanya saja, permintaan yang masih ada menyebabkan bisnisnya masih mampu cukup bertahan, sehingga harga sahamnya pun tidak turun terlampau dalam.

Kondisi pandemi memukul optimisme masyarakat untuk melakukan konsumsi. Hal ini terefleksikan dalam Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) berdasarkan survei Bank Indonesia. IKK merupakan indikator ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi pada 6 bulan mendatang.

Berikut data historis IKK tahun ini:

Dari data tersebut, terlihat bahwa IKK cenderung terus menurun sejak awal tahun ini. Namun, memasuki bulan April 2020, atau sejak PSBB mulai diberlakukan, IKK turun ke bawah level 100. Adapun, IKK di atas 100 mencerminkan konsumen optimistis, sedangkan di bawah 100 menunjukkan sikap pesimistis.

IKK terendah terjadi pada Mei 2020, tetapi setelahnya mulai terus membaik. Sayangnya, IKK tampaknya kembali melemah pada September 2020. Hal ini tampaknya erat terkait dengan keputusan kembali dilakukannya PSBB total di DKI Jakarta, setelah sebelumnya memberlakukan PSBB transisi.
Kondisi yang sama pun terefleksi dalam kinerja emiten-emiten sektor konsumsi. Koreksi harga terjadi pada beberapa emiten sepanjang September 2020.

Adapun, berikut ini daftar saham di sektor barang konsumsi yang menjadi pendorong dan penekan utama kinerja indeksnya berdasarkan data Bloomberg per Rabu, 14 Oktober 2020:



Dari data tersebut, terlihat bahwa saham-saham emiten farmasi dan emiten yang terkait bisnis kesehatan menjadi pendorong utama indeks barang konsumsi. Hal ini tentu sangat terkait dengan sentimen positif tingginya permintaan alat kesehatan dan obat-obatan atau jamu selama pandemi.

Dalam daftar pendorong indeks, ada emiten farmasi yakni PT Kimia Farma Tbk. (KAEF), PT Indofarma Tbk. (INAF), dan PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk. (SIDO). Selain itu, produsen susu PT Ultrajaya Milk Industry Tbk. (ULTJ) juga ketiban sentimen positif.

Sementara itu, emiten-emiten rokok seperti PT HM Sampoerna Tbk. (HMSP) dan PT Gudang Garam Tbk. (GGRM), emiten produsen minuman beralkohol seperti PT Multi Bintang Indonesia Tbk. (MLBI) dan PT Delta Djakarta Tbk. (DLTA) menjadi penekan indeks barang konsumsi. Permintaan produk konsumsi tak sehat seperti rokok dan minuman keras tampaknya kurang bergairah.

Produsen barang konsumsi habis pakai seperti PT Indofood Sukses Makmur Tbk. (INDF), PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. (ICBI), dan PT Unilever Indonesia Tbk. (UNVR) juga bukan pilihan prioritas saat ini. Barang-barang konsumsi emiten-emiten ini tampaknya menjadi objek penghematan masyarakat.

Sektor Keuangan

Tekanan di sektor keuangan tampaknya lebih rendah dibandingkan sektor-sektor lainnya sebab pemerintah mengucurkan banyak stimulus pada sektor ini sehingga mencegah kinerja emiten-emiten di sektor ini turun terlalu dalam.

Sejak awal pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia, OJK segera meluncurkan stimulus pada industri perbankan berupa pelonggaran ketentuan restrukturisasi kredit bagi debitur yang terdampak Covid-19. Per 24 Agustus 2020, OJK mencatat total restrukturisasi kredit bank yang memanfaatkan pelonggaran ini mencapai Rp863,62 triliun.

Menyusul setelah itu, pemerintah juga mengucurkan dana program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pada bank-bank BUMN serta sejumlah bank pembangunan daerah (BPD) dan bank syariah. Total bank mitra pemerintah penerima dana program PEN tersebut kini mencapai 18 bank dengan total dana penempatan Rp64,8 triliun.

Selain itu, perkembangan dinamika bisnis di industri ini pun menjadi sorotan, sebab aksi korporasi strategis pun banyak diumumkan.
Aksi korporasi paling mencolok yakni integrasi bisnis PT Bank Permata Tbk. (BNLI) dengan Kantor Cabang Bank Bangkok di Indonesia yang berpotensi mendorong BNLI menjadi calon anggota Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) IV baru di Tanah Air, yakni jajaran bank-bank terbesar nasional.

Selain itu, ada juga aksi konsolidasi bank-bank syariah keluarga BUMN ke dalam PT Bank BRIsyariah Tbk. (BRIS). Konsolidasi itu akan melahirkan bank syariah nasional baru terbesar di dalam negeri dan bersiap untuk bersaing di kancah internasional.

Berikut ini daftar saham di sektor finansial yang menjadi pendorong dan penekan utama kinerja indeksnya berdasarkan data Bloomberg per Rabu, 14 Oktober 2020:

 Dari data tersebut, terlihat bahwa lonjakan harga paling fantastis terjadi pada saham BNLI dan BRIS akibat sentimen aksi korporasi yang bakal terjadi. Kenaikan harga saham hingga ratusan persen ini menyebabkan koreksi harga saham yang terjadi pada bank-bank besar lainnya menjadi terimbangi.

Semua bank BUKU IV harga sahamnya turun tajam dan menjadi penekan utama kinerja indeks ini. Penurunan saham bank-bank besar ini mencapai lebih dari 10% ytd.

Bank-bank BUKU IV tersebut yakni PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI), PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI), PT Bank Pan Indonesia Tbk. (PNBN), dan PT Bank Danamon Tbk. (BDMN).
Hal ini terjadi lantaran bank-bank terbesar Tanah Air ini juga menjadi bank-bank yang paling banyak menerima permintaan restrukturisasi kredit dari nasabah yang terdampak Covid-19. Alhasil, risiko bisnisnya pun makin tinggi akibat potensi gagal bayar yang turut meningkat.

Catatan Akhir

Ada banyak faktor di balik dinamika harga saham suatu emiten. Meskipun saat ini tidak mudah untuk memilih saham mana yang terbaik di antara semua yang buruk, kinerja industri secara umum dapat menjadi patokan dalam menyaring saham. Hal ini terutama bila sasaran investasi adalah untuk jangka panjang.

Bila kinerja saham yang terlalu merah ini membuatmu tak nyaman, mungkin sebaiknya Anda mempertimbangkan instrumen investasi lain yang lebih rendah risikonya, seperti obligasi ritel negara atau reksa dana pasar uang.