Masa Depan Saham-saham Batubara
Sulit memang untuk menjadi investor saham-saham batubara saat ini. Sentimen-sentimen negatif terhadap sektor industri ini seolah tidak ada habisnya melanda bursa dalam beberapa bulan ke belakang.
Mulai dari isu tidak ramah lingkungan, domestic market obligation (DMO), konsumsi batubara China yang sudah jauh berkurang, hingga munculnya sumber daya energi terbarukan (renewable energy) yang semakin murah sebagai pengganti batubara.
Di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Eropa, batubara sudah lama ditinggalkan. Industri ini sudah gulung tikar karena dianggap mencemari lingkungan. Ditambah lagi dengan kemampuan modal negara-negara maju untuk mencari sumber-sumber energi lain seperti angin, nuklir, dan sinar surya.
Berkembangnya teknologi solar panel beberapa tahun terakhir juga mendukung hipotesa ini. Menyemai sinar matahari sebagai sumber energi sudah semakin murah dalam beberapa tahun terakhir.
Tapi di negara berkembang, sulit rasanya membayangkan adopsi renewable energy akan berlangsung cepat seperti di negara-negara Eropa. Batubara, sejauh ini masih menjadi sumber energi termurah karena jumlahnya yang melimpah.
Economic miracle yang terjadi di China awal tahun 2000an juga menggunakan batubara sebagai sumber daya. Hanya hingga beberapa tahun terakhir saja lah, China mulai meninggalkan batubara dan gencar mengembangkan renewable energy sources.
Lalu bagaimana dengan masa depan industri batubara Indonesia?
Hal ini menjadi krusial karena para pemain besar batubara nasional sebenarnya juga sudah mengantisipasi penurunan permintaan dari China. Sebagian besar emiten batubara nasional sudah mulai mendiversifikasi usaha mereka ke pembangkit listrik (PTBA dan ADRO).
Jadi ke depannya, mereka tidak hanya menjual batubara tetapi menjual listrik sebagai produk turunan dari stock batubara mereka.
Beberapa emiten lain juga mulai melebarkan sayapnya ke industri pertambangan lain, seperti UNTR yang sudah menyelesaikan pembelian tambang emas Martabe beberapa waktu yang lalu. Manajemen UNTR berharap, tambang emas ini menjadi sumber pemasukan perusahaan di masa depan jika harga batubara sedang jelek.
Untuk emiten-emiten lain, seperti INDY dan HRUM, mereka mulai menjajaki pasar baru di luar China, seperti Korea dan India.
Perhatian besar selanjutnya adalah India.
India, sebagai salah satu economic powerhouse di Asia juga menjanjikan pertumbuhan yang pesat di masa depan. Dan ketika pertumbuhan ekonomi mereka membutuhkan sumber daya yang besar, maka percayalah, batubara akan menjadi pilihan pertamanya.
Bahkan ketika semua opsi tersebut tidak bisa dieksekusi, masih ada PLN di dalam negeri yang bertindak sebagai pembeli batubara mengingat mayoritas pembangkit listrik nasional yang juga masih menggunakan batubara.
Harga domestic market obligation (DMO) yang dipatok juga cukup tinggi sebesar $70 per metric ton.
Sebagai kesimpulan, industri batubara masih terus akan berjalan ke depannya terlepas siapun nanti yang akan menjadi konsumen terbesarnya.
Lalu kita harus bagaimana?
Akibat turunnya harga acuan batubara ke bawah $100 per metric ton, harga saham-saham batubara ikut terjun bebas beberapa bulan terakhir.
Padahal, harga acuan batubara masih di level $90an per metric ton. Tapi seperti biasa, pesimisme berlebihan melanda pasar. Industri ini dianggap tidak lagi memiliki masa depan.
Padahal jika kita lebih jeli, harga $90 per metric ton itu tidak terlalu jelek. Dalam rilis yang dikeluarkannya, BUMI menyatakan cash cost mereka hanya berkisar sebesar $30 per metric ton. INDY juga melaporkan hal yang sama, cash cost mereka berkisar di level $27 per metric ton.
Dengan mengasumsikan bahwa semua pemain besar batubara di Indonesia berada di level efisiensi yang sama, harga jual $90 per metric ton sebenarnya masih menjanjikan margin yang cukup tebal.
Seolah menjadi paradox, harga saham-saham batubara justru turun di saat laba mereka membesar.
Bahkan, jika kita jeli memperhatikan, saat ini ada saham-saham batubara di pasar (market cap) yang dijual seharga uang tunai yang mereka miliki. Ini jelas undervalue!
Risiko membeli saham batubara dalam kondisi tersebut mendekati nol. Karena uang yang kita keluarkan untuk membeli (saham) perusahaan tersebut langsung diganti oleh uang tunai yang berhak menjadi milik pemilik baru perusahaan tersebut.
Dan belum lagi mempertimbangkan aset perusahaan batubara yang lain seperti rumah, tanah, ataupun jutaan ton cadangan terbukti batubara mereka.
Intinya, hal ini memberikan peluang untuk investor retail seperti kita yang mempunyai horizon investasi yang jangka panjang. Kondisi saat ini mirip tahun 2015 yang lalu, dimana harga saham-saham batubara rontok habis-habisan akibat harga jual yang mencapai $50 per metric ton.
Lalu hanya dalam waktu kurang lebih 2 tahun, harga jual acuan batubara naik melebih $100 per metric ton yang ikut menerbangkan harga saham-saham batubara berkali-kali lipat (multibagger stock).
Padahal, kondisi sekarang bisa dibilang lebih baik. Dengan harga jual acuan yang masih cukup tinggi di $90 per metric ton, harga saham batubara sudah hampir mencapai level terendah mereka di tahun 2015 yang lalu.
Perlu diingat bahwa saham-saham pertambangan batubara merupakan saham cyclical, yang bergerak dalam satu siklus. Kita tidak akan pernah tau kemana harga jual batubara akan bergerak.
Hanya invisible hand dari supply dan demand lah yang mampu menggerakkan harga acuan global.
Dengan timespan investasi yang lebih panjang, sebenarnya kita (sebagai investor retail) diuntungkan dengan mengabaikan pergerakan jangka pendek harga saham di bursa yang kadang tidak rasional. Suatu keistimewaan yang tidak dimiliki investor-investor kakap yang kinerja investasinya selalu dihitung dalam satuan waktu yang lebih pendek.
Yang bisa kita lakukan adalah menganalisa kondisi keuangannya dan membandingkannya dengan harga jual sahamnya di pasar.
Jika harga jual (price) yang kita bayarkan lebih rendah dari value yang akan kita dapatkan, why not?
Date: