Layakkah Menanti Unicorn Melakukan IPO?

Date:

[Waktu baca: 6 menit]

Kabar rencana pencatatan perdana saham atau IPO sejumlah unicorn Indonesia menjadi topik paling hangat di pasar modal dalam beberapa waktu belakangan. Setelah merger Gojek dan Tokopedia resmi, manajemen mengonfirmasi bahwa langkah selanjutnya adalah IPO, kendati belum dipastikan kapan.

Belakangan, dua startup unicorn lain, yakni Bukalapak dan Tiket.com juga diberitakan segera IPO. Bukalapak bahkan disebutkan telah melakukan pendaftaran ke Bursa Efek Indonesia.

Meskipun demikian, belakangan manajemen Bukalapak membantah isu itu dan menegaskan bahwa perusahaan “belum membuat keputusan apapun”.

Sementara itu, menajemen Tiket.com mengonfirmasi bahwa IPO merupakan salah satu rencana perusahaan dan bakal dieksekusi tahun ini. “Jika Tiket memutuskan untuk go public, pasti akan dilakukan tahun ini," kata CEO Tiket.com George Hendrata dalam wawancara dengan Bloomberg TV.

Namun, tampaknya Tiket.com berencana untuk melakukan IPO di bursa saham Amerika Serikat melalui perusahaan akuisisi bertujuan khusus atau special purpose acquisition company (SPAC). Sebelumnya, rencana serupa juga oleh pesaingnya, yakni Traveloka.

Meskipun demikian, pada April lalu Komisaris Bursa Efek Indonesia (BEI) Panju Sjahrir membocorkan informasi bahwa ada tiga perusahaan startup konglomerasi yang bersiap IPO di bursa saham domestik. Ketiganya sudah melakukan registrasi IPO dan bakal melantai pada semester II-2021.

Hanya saja, dirinya tidak mengungkapkan identitas ketiga perusahaan tersebut. Dirinya juga belum dapat memastikan apakah ketiga startup itu hanya akan IPO di BEI ataukah melakukan dual listing, yakni di BEI dan bursa luar negeri.

Informasi seputar IPO unicorn ini memang masih simpang siur. Namun, satu hal dapat dipastikan, cepat atau lambat langkah IPO akan mereka tempuh di bursa dalam negeri, mengingat mereka adalah perusahaan lokal yang selama ini cukup kuat menyuarakan semangat nasionalisme.

Lagi pula, BEI sekarang sedang berkonsentrasi menyiapkan perangkat regulasi yang ramah bagi IPO startup ini. Ini menjadi sinyal yang kuat bahwa IPO unicorn akan segera terjadi.

Kini pertanyaannya adalah, seberapa menarik saham para startup unicorn ini? Seberapa besar prospek bisnis dan saham mereka dalam jangka panjang? Jangan-jangan, IPO hanya menjadi strategi sejumlah investor pada startup tersebut untuk merealisasikan keuntungan investasi mereka selama ini (exit strategy).

 Tantangan Valuasi

Perusahaan startup unicorn adalah perusahaan-perusahaan yang mendisrupsi cara berbisnis konvensional yang telah dikenal lama. Perusahaan-perusahaan ini tidak saja menjalankan operasional bisnisnya secara berbeda, tetapi juga melakukan kalkulasi yang berbeda untuk valuasi bisnisnya.

Perusahaan-perusahaan ini menjadi besar setelah menerima suntikan modal jumbo dalam beberapa tahap oleh sejumlah investor papan atas. Dengan modal tersebut, mereka mengembangkan aplikasi super sekaligus mengakuisisi sebanyak mungkin pengguna baru.

Dalam prosesnya, mereka menghabiskan dana investasi dengan cukup besar, sehingga suntikan modal baru terus dibutuhkan untuk menjaga momentum pertumbuhannya. IPO tidak lain merupakan langkah lanjutan dalam upaya untuk mendapatkan dana segar baru ini.

Jika dulunya mereka melakukan penawaran saham secara privat dan terbatas kepada investor tertentu, dengan IPO mereka akan melakukannya secara lebih luas kepada masyarakat umum.

Namun, proses penawaran saham perusahaan startup teknologi relatif berbeda dibandingkan perusahaan konvensional. Perbedaan terutama ada pada cara mengukur valuasi bisnis mereka.

Pada perusahaan-perusahaan konvensional, valuasi diukur berdasarkan total modal, utang, dan aset, historis dan proyeksi pendapatan dan laba, arus kas atau uang tunai, jaringan pemasaran dan rantai pasok, dan ditambah nilai modal tak berwujud dari sisi brand.

Sementara itu, startup teknologi, termasuk pada unicorn, memiliki aset fisik yang terbatas jumlahnya. Dengan status unicorn, tidak mesti mereka sudah memiliki aset fisik dengan nilai mencapai US$1 miliar atau sekitar Rp14 triliun.

Di awal-awal mereka beroperasi, tidak selalu mereka membukukan pendapatan, apalagi laba. Sebab, penghasilan diperoleh oleh para mitra mereka sendiri, sedangkan komisi untuk startup selaku penyedia jasa keperantaraan kerap kali belum ditarik atau malah dikembalikan sebagai bentuk promosi.

Belakangan, beberapa sudah mulai berhasil membukukan pendapatan, tetapi beban operasional dan biaya promosi yang besar menyebabkan perusahaan-perusahaan ini umumnya belum membukukan laba.

Nilai terbesar perusahaan mereka bukanlah pada aset fisiknya, melainkan aset tak berwujud, berupa jumlah mitra dan pengguna jasa, serta ekspektasi atau prospek masa depan, baik itu nilai pelanggan seumur hidup (customer lifetime value/CLV) maupun peluang layanan lain yang dapat dikembangkan dalam ekosistemnya.

Selain itu, turut dinilai pula kualitas teknologi produk, prospek pasar di industri yang digeluti, bahkan hingga kualitas tim, kapasitas pendiri, dan daya saing dengan kompetitor.

Dengan karakteristik seperti ini, pasar modal Indonesia harus beradaptasi jika ingin menerima kalangan startup unicorn ini, sebab selama ini BEI belum mengenal jenis emiten seperti mereka.

Oleh karena itu, beberapa waktu belakangan, BEI terus berupaya menyempurnakan regulasi yang ada agar dapat mengakomodasi kebutuhan IPO para startup ini, terutama untuk memberikan kepastian pada metode pengukuran valuasi perusahaan mereka.

Hal ini penting guna memastikan valuasi yang diperoleh benar-benar wajar, sehingga tidak ada pelaku pasar yang dirugikan.

Jika nanti BEI merampungkan regulasi terkait skema penentuan valuasi startup ini, pekerjaan rumah belum selesai. Di pasar modal, investor juga harus beradaptasi dapat melakukan analisis terhadap saham-saham perusahaan unicorn ini, sebab tentu metode pengukurannya akan berbeda pula.

Artinya, investor harus lebih jeli dan cermat lagi dalam mempelajari dunia investasi. Tentu lain ceritanya jika hanya sekadar ikut-ikutan dan memanfaatkan momentum euforia. Hampir pasti, IPO startup unicorn perdana di BEI akan membangkitkan euforia pasar sehingga harganya bisa terapresiasi tak wajar.

Bahkan, saat ini saja sebelum adanya startup unicorn di bursa, saham-saham sektor teknologi sudah meningkat gila-gilaan harganya, padahal belum ada petunjuk yang jelas tentang prospek masa depan bisnis emiten-emiten tersebut. 

Daya Tarik Saham Unicorn

Daya tarik utama saham-saham unicorn jika mereka jadi melakukan IPO terutama adalah pada kapasitas bisnisnya yang kini sudah sangat besar dan luas jangkauannya.

Dengan keunggulan teknologi dan dukungan jaringan internet yang kian dalam penetrasinya di tengah masyarakat, perusahaan-perusahaan teknologi jelas memiliki keunggulan kompetitif dibanding perusahaan lain yang belum go digital.

Kehadiran mereka telah mengubah tren dan gaya hidup masyarakat hingga pada titik di mana tren itu sudah tidak dapat lagi dibalikkan. Artinya, masyarakat sudah mulai mengalami ketergantungan terhadap layanan mereka sebab dinilai lebih baik, lebih praktis, lebih hemat, dan lebih efektif.

Daya tarik lain dari perusahaan-perusahaan startup unicorn adalah daftar nama besar investor-investor kakap di baliknya yang sudah lebih dahulu berinvestasi pada perusahaan tersebut.

Umumnya, investor tersebut tidak hanya sebatas menanamkan modal uangnya pada startup, tetapi juga memberikan dukungan jaringan, pengetahuan, strategi bisnis, peluang kerja sama, dll. Oleh karena itu, adanya investor-investor besar itu juga turut memberikan harapan bagi masa depan perusahaan itu.

Ditambah pula, investor-investor tersebut tentu sudah melakukan analisis mendalam terlebih dahulu pada startup tersebut sebelum mereka memutuskan untuk masuk.

Meskipun tetap terbuka adanya kemungkinan salah penilaian atau perhitungan dalam investasi pada investor besar itu, sejauh ini para startup itu telah mampu membuktikan dirinya berhasil.

Dengan demikian, keputusan untuk turut berinvestasi pada startup unicorn ini ketika mereka IPO memiliki landasan yang cukup dapat dipercaya, meskipun memang tetap tidak ada jaminan bahwa harga sahamnya bakal terus naik.

Selain itu, dengan gelar unicorn bahkan decacorn, para startup ini secara privat sudah memiliki valuasi yang besar. Pengukuran ulang valuasinya berdasarkan ketentuan BEI kemungkinan besar tidak akan jauh berbeda dari yang sudah diukur oleh para investor awalnya.

Artinya, valuasi perusahaan-perusahaan ini setidaknya sudah lebih dari US$1 miliar atau di atas Rp14 triliun. Kombinasi Gojek dan Tokopedia menjadi GoTo bahkan akan menembus ratusan triliun rupiah, menyaingi daftar perusahaan besar yang sudah ada di Indonesia, seperti PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., PT Bank Central Asia Tbk., PT Astra International Tbk., dan PT Unilever Indonesia Tbk.

Nilai saham yang akan dilepas ke publik tentu juga akan cukup besar. Hal ini menjadikan saham para unicorn ini akan cukup likuid di pasar atau mudah ditransaksikan sebab jumlahnya berlimpah. Di sisi lain, hal itu juga bakal menyulitkan upaya para spekulan dan bandar untuk menggoreng sahamnya secara tak wajar.

Bagi pasar secara keseluruhan, kehadiran mereka akan secara signifikan menaikkan total kapitalisasi pasar sehingga nilai uang beredar di pasar modal pun bakal makin tinggi. Hal ini bakal menguntungkan pasar secara keseluruhan.

IPO mereka juga bakal menarik minat banyak investor asing untuk masuk ke pasar modal Indonesia, sehingga menambah cadangan dolar nasional.  

Tak Ada Jaminan Untung

Di balik ingar bingarnya kabar IPO startup unicorn dan decacorn, investor perlu menyadari bahwa tidak ada jaminan dengan statusnya yang membanggakan tersebut kinerja bisnis mereka akan terjamin tetap positif atau saham mereka akan terus naik.

Apalagi, selama ini belum terdengar mereka sudah membukukan laba. Setelah IPO, perusahaan-perusahaan ini bakal menjadi lebih transparan, sehingga semua orang dapat mengetahui kinerja keuangan mereka secara detail.

Dengan demikian, kekuatan dan kelemahannya akan tercermin secara lebih jelas bagi publik. Jika ternyata kinerja mereka tidak secerah yang selama ini diduga, hal itu kemungkinan dapat menurunkan pamor yang selama ini terbentuk, dan seketika merontokkan kinerja saham mereka.

Sudah banyak pengalaman di bursa luar negeri yang melaporkan turunnya kinerja saham perusahaan-perusahaan startup yang IPO, seperti pada layanan ride hailing Uber dan Lyft. Tidak ada jaminan hal itu tidak akan terjadi di Indonesia.

Berikut ini kinerja saham Uber dan Lyft sejak IPO hingga kini. Terlihat bahwa kinerja mereka sempat melemah beberapa waktu setelah IPO:

 

Meskipun demikian, kita tentu juga tak dapat menutup mata bahwa perusahaan terbesar di pasar saham AS kini adalah perusahaan-perusahaan teknologi yang dulunya adalah startup, seperti Facebook, Apple, Google, dan Amazon.

Artinya, pasar modal dapat menjadi sarana yang luar biasa pentingnya untuk membantu suatu perusahaan menjadi raksasa.

IPO bakal meningkatkan brand awareness sehingga menambah nilai perusahaan di mata publik. IPO juga mendorong perusahaan untuk lebih serius menerapkan good corporate governance sehingga kinerjanya menjadi lebih efektif dan efisien.

Selain itu, dengan transparansi setelah IPO, perusahaan bakal lebih dituntut untuk mampu segera untung. Hal ini bakal menyudahi strategi bakar uang berkepanjangan yang telah ditempuh pada startup unicorn selama ini. Ini dapat menjadi katalis bagi sehatnya kinerja mereka di masa mendatang.
 
Gambar ilustrasi: Azka Destriawan
 
 
 

Tags: