Larangan Mudik: Berkah Bagi Emiten Logistik?
[Waktu baca: 6 menit]
Pengetatan persyaratan mudik serta larangan mudik pada momen menjelang Ramadan tahun ini menjadi kabar buruk bagi banyak sektor usaha.
Perusahaan-perusahaan di sektor transportasi yang umumnya kebanjiran penumpang pada momen mudik Lebaran, tahun ini harus rela gigit jari. Tekanan kinerja mereka masih akan panjang tahun ini, sedangkan momentum puncak berlalu begitu saja.
Pelaku bisnis UMKM di sepanjang jalur mudik juga bakal terkena imbasnya. Demikian juga pelaku usaha di daerah serta di lokasi wisata. Mereka yang biasanya mendapatkan kunjungan dari wisatawan domestik luar kota, tahun ini bakal lebih sepi.
Belum lagi bisnis hotel, agen perjalanan, restoran, dan cinderamata. Mudik biasanya menjadi berkah bagi mereka. Dengan adanya larangan dan pengetatan, permintaan terhadap barang dan jasa mereka pun jelas tidak meningkat.
Kendati demikian, tentu tidak semua bisnis bakal terdampak oleh kebijakan pemerintah tersebut. Beberapa bisnis relatif tidak terlalu terpengaruh, sedangkan beberapa jenis bisnis lainnya berpotensi mendulang berkah akibat kebijakan ini.
Salah satu lini bisnis yang kemungkinan bakal ketiban berkah yakni bisnis logistik atau pengiriman paket. Melekat dengan tradisi mudik yakni pemberian bingkisan dan oleh-oleh. Meskipun perjalanan fisik dilarang, kemungkinan masyarakat akan mempertahankan trandisi pemberian bingkisan.
Oleh karena itu, perusahaan penyedia layanan logistik atau pengiriman paket bakal ketiban untung kenaikan permintaan jasa pada momentum Lebaran tahun ini. Aktivitas pengiriman paket kemungkinan besar bakal meningkat untuk menggantikan silaturahmi melalui kehadiran fisik.
Lagi pula, selama ini masyarakat sudah mulai terbiasa menggunakan jasa layanan logistik ini, terutama setelah aktivitas belanja online menjadi makin populer.
Selain itu, bulan Ramadan juga kerap kali identik dengan peningkatan aktivitas konsumsi masyarakat. Di tengah aktivitas fisik yang masih terbatas karena kekhawatiran pandemi, konsumsi masyarakat tersebut kemungkinan besar beralih ke layanan jual beli online.
Lagi-lagi, jasa logistik ketiban berkah, sebab aktivitas belanja online sangat erat hubungannya dengan jasa logistik.
Riset yang dilakukan iPrice dan Jakpat (penyedia layanan survei online pengguna mobile di Indonesia) pada 2020 lalu menunjukkan beberapa fakta menarik. Salah satunya yakni terkait rentang belanja masyarakat selama Ramadan.
Dalam survei itu, ditemukan bahwa 45% responden menghabiskan sekitar Rp500.000 hingga kurang dari Rp2 juta untuk membeli kebutuhan Lebaran pada 2020 lalu. Sementara itu, sebanyak 43% menghabiskan kurang dari Rp500.000
Selebihnya, 9% responden menghabiskan kisaran Rp2 juta hingga kurang dari Rp5 juta dan hanya sekitar 2% menghabiskan Rp5 juta dan lebih.
Selain itu, survei itu juga menemukan bahwa kebanyakan masyarakat tidak mempersiapkan jauh-jauh hari kebutuhannya untuk Ramadan. Pembelian kebutuhan Ramadan baru dilakukan setelah memasuki bulan Ramadan.
Sebanyak 36% responden berbelanja online untuk kebutuhan Ramadan selama bulan Ramadan hingga menjelang Lebaran, 30% responden berbelanja kebutuhan Ramadan secara online seminggu sebelum Ramadan.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo juga pernah menyampaikan bahwa transaksi daring atau e-commerce lewat marketplace tahun ini bisa meningkat 33,2% dari tahun lalu, atau dari Rp253 triliun menjadi Rp337 triliun.
Jika aktivitas e-commerce meningkat, sudah tentu aktivitas logistik juga mengikuti.
Emiten Logistik dan Pengiriman Ketiban Berkah
Saat ini, ada dua emiten di pasar modal yang menjalankan lini bisnis logistik, yakni PT Satria Antaran Prima Tbk. (SAPX) dan PT Adi Sarana Armada Tbk. (ASSA).
Di Bursa Efek Indonesia, saham SAPX masih turun 54,34% year to date (ytd) ke level Rp1.000 hingga sesi pertama perdagangan Jumat (30 April 2021), sedangkan saham ASSA justru melejit 241,73% ytd ke level Rp2.170.
SAPX mengoperasikan layanan logistik dengan merek SAP Express, sedangkan bagi ASSA bisnis logistik merupakan salah satu lini bisnis di luar lini bisnis penyewaan kendaraan. ASSA menjalankan bisnis logistik lewat anak usahanya, yakni PT Tri Adi Bersama dengan merek Anteraja.
Baik SPAX maupun ASSA sama-sama optimistis kinerja logistik mereka, terutama pengiriman barang segmen ritel, bakal meningkat karena dorongan sentimen larangan mudik.
SAPX menargetkan peningkatan permintaan 10% selama Ramadan, sedangkan ASSA 30% dibanding hari biasa. SAPX mematok target yang lebih terbatas karena jaringannya belum cukup luas dan belum masuk di marketplace utama seperti Shopee, Tokopedia, dan Bukalapak. SAPX baru masuk di Lazada dan JD.ID.
Dalam jangka panjang, SAPX memang berencana untuk segera masuk dalam ekosistem tiga marketplace paling populer tersebut. Selain itu, perusahaan ini juga ingin menambah jumlah agennya sebanyak 2.000 agen tahun ini, sehingga menjadi 7.000 agen di seluruh Indonesia.
Untuk tahun 2021 secara total, SAPX menargetkan bisa tumbuh 15% hingga 20%. Untuk itu, perusahaan menyiapkan anggaran belanja modal atau capital expenditure (capex) senilai Rp60 miliar. Dana itu akan digunakan untuk pengembangan cabang, gudang, kurir, dan armada.
Target utama SAPX adalah mengokohkan jaringan di seluruh kabupaten di Pulau Jawa, sebab permintaan jasa logistik di Jawa menjadi yang tertinggi secara nasional. Selain itu, perusahaan juga masih memantapkan posisi di Bali, Sumatra, dan daerah lain yang potensial.
Sementara itu, ASSA menargetkan total kenaikan kinerja hingga akhir tahun ini bisa mencapai 20% - 25%. Perusahaan optimistis karena jasa logistiknya, yakni Anteraja, berkembang dengan cukup pesat selama dua tahun belakangan.
Selama 2020, volume pengiriman Antaraja telah meningkat dari semula 100.000 paket per hari pada 2019 menjadi rata-rata 300.000 paket per hari pada 2020. Peningkatan transaksi lewat e-commerce selama pandemi menjadi pendorongnya. Tahun ini, targetnya menjadi 500.000 paket per hari.
Kinerja SAPX dan ASSA
Kedua emiten ini belum merilis kinerja keuangannya untuk periode kuartal pertama tahun ini. Oleh karena itu, data keuangan terakhir yang dapat diakses adalah kinerja mereka untuk tahun 2020. Hasilnya, kedua emiten ini kompak membukukan kenaikan pendapatan, tetapi penurunan laba.
Secara umum, kondisi keuangan kedua emiten ini masih positif sepanjang periode pandemi tahun lalu. Namun, tekanan dari sisi laba menunjukkan bahwa keduanya juga tidak sepenuhnya kebal terhadap dampak pandemi.
Pada ASSA, pendapatannya berasal dari sejumlah lini bisnis, sedangkan SAPX hanya dari jasa kurir. Pendapatan jasa pengiriman pada ASSA melonjak sangat signifikan, mencapai 841,95% year on year (yoy) pada 2020, dari hanya Rp84,4 miliar pada 2019 menjadi Rp794,7 miliar pada 2020.
Hanya saja, tidak semua lini bisnis ASSA menikmati tingkat keuntungan yang sama. Bisnis sewa kendaraan relatif stagnan, sedangkan jasa penjualan kendaraan bekas dan jasa logistik justru turun.
Sementara itu, tekanan pada kinerja laba kedua emiten disebabkan karena laju pertumbuhan beban-beban perusahaan lebih tinggi ketibang pertumbuhan pendapatan. Meskipun demikian, keduanya masih mampu membukukan laba yang positif di tengah tekanan pandemi yang berat tahun lalu.
Baca juga: Simak! 14 Saham Ini Bagi "THR" Dividen Sebelum Lebaran 2021
Saham SAPX dan ASSA Menarik?
Seperti sudah disebutkan sebelumnya, kinerja kedua emiten ini relatif berbeda di pasar. SPAX masih tertekan sangat dalam, sedangkan ASSA jauh melambung. Sentimen terhadap kinerja ASSA memang terutama berasal dari bisnis logistik dan jasa pengirimannya yang kini berkembang pesat.
Sementara itu, bagi SAPX, sentimennya memang belum terlalu kuat sebab cakupan layanannya belum sepenuhnya merambah semua e-commerce yang ada, padahal sumber utama permintaan jasa kurir berasal dari e-commerce.
Jika mengacu pada perhitungan valuasi berdasarkan price to earning ratio (PER), posisi PER SAPX masih ada di level 26,73 kali. Ini level yang masih tergolong tinggi, mengingat PER rata-rata IHSG ada di level 11,9 kali. Artinya, kendati harganya turun, level harga SAPX masih tergolong mahal.
Lagi pula, jika dibandingkan dengan harga IPO-nya di level Rp250 pada Oktober 2018 lalu, saham SAPX ini sebenarnya sudah naik 300% dalam 2 tahun terakhir.
Sementara itu, posisi PER ASSA bahkan lebih tinggi lagi, yakni 84,21 kali. Apresiasi investor terhadap saham ASSA selama ini tampaknya sudah cukup berlebihan, sehingga sahamnya kini menjadi mahal.
Selain itu, jika menggunakan rasio harga berbanding nilai buku (price to book value ratio/PBV), valuasi ASSA ada di level 5,72 kali, sedangkan SAPX di level 6,07 kali. Sementara itu, PBV rata-rata IHSG hanya 2,3 kali. Jadi, saham kedua emiten ini sudah tergolong mahal.
Risiko penurunan harga justru lebih terbuka, terutama jika perusahaan tidak mampu membuktikan pemulihan kinerja laba tahun ini dan seoptimal mungkin memanfaatkan berkah larangan mudik yang tengah berlangsung.
Date: