Kendala di Balik Minimnya Minat Sektor Riil Terbitkan Surat Utang

Date:

Penerbitan surat utang korporasi bukanlah pilihan yang umum ditempuh oleh kalangan korporasi sektor riil. Selama bertahun-tahun, nilai emisi surat utang dari sektor ini selalu tertinggal jika dibandingkan dengan sektor finansial, padahal jumlah korporasi di sektor riil jauh lebih banyak.

Korporasi sektor finansial umumnya hanya tergolong dalam sektor perbankan dan lembaga keuangan non bank. Sektor nonperbankan ini pun hanya mencakup segelintir sektor, antara lain multifinance, asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan pegadaian.

Sementara itu, sektor riil mencakup lingkup usaha yang sangat luas, seperti properti, konstruksi, ritel, hotel, infrastruktur, makan-minuman, digital, telekomunikasi, teknologi, pertambangan, transportasi, logistik, e-commerce, kesehatan, pariwisata, energi, kimia, tekstil, plastik, logam, dan masih banyak lagi.

Masing-masing sektor itu pun memiliki subsektornya sendiri, sehingga daftarnya bisa menjadi sangat panjang. Belum lagi, dari waktu ke waktu muncul model bisnis baru yang mengombinasikan beberapa sektor dan menawarkan produk atau jasa yang inovatif.

Namun, di pasar surat utang, kondisinya justru berbanding terbalik. Selama bertahun-tahun, mayoritas penerbit surat utang adalah kalangan korporasi dari sektor finansial. Hanya segelintir korporasi dari sektor riil yang berminat memanfaatkan instrumen ini.

Berdasarkan data PT Pemeringkat Efek Indonesia atau Pefindo, penerbitan baru surat utang korporasi setiap tahun dalam beberapa tahun terakhir masih sangat didominasi sektor finansial. Namun, kabar baiknya, perlahan-lahan sektor riil atau institusi non keuangan mulai bangkit.

Kondisi mulai berubah sejak pandemi tahun lalu hingga paruh pertama tahun ini. Selama masa ini, jumlah penerbitan surat utang dari kalangan korporasi sektor finansial merosot lebih tajam dibandingkan dengan sektor riil.

Penurunan emisi surat utang dari sektor finansial ini bahkan sampai menyebabkan porsi penerbitan surat utang oleh korporasi sektor riil berhasil melampaui sektor finansial untuk pertama kalinya sepanjang sejarah.

Berikut ini perbandingan nilai penerbitan dan pangsa pasar emisi surat utang sektor finansial atau keuangan dan non-keuangan berdasarkan data Pefindo:

Pada data tersebut, terlihat bahwa penurunan emisi surat utang sektor riil atau non-institusi keuangan pada 2020 lalu hanya berkurang Rp3,8 triliun, atau turun 7% yoy. Sementara itu, sektor finansial berkurang 50% yoy.

Selama bertahun-tahun, pangsa pasar obligasi sektor riil selalu berada di bawah 50% dari total penerbitan setiap tahun, tetapi pada 2020 dan semester I/2021 porsinya justru sudah melebihi 50%.

Ini terjadi akibat penurunan tajam emisi surat utang pada sektor finansial, sesungguhnya tidak ada kenaikan drastis pada emisi surat utang di sektor riil meski ada peningkatan dari sisi pangsa pasar. 

 

Antara Dua Pilihan

Dalam berbisnis, umumnya korporasi tidak mengandalkan modal sendiri, tetapi juga pinjaman dari pihak lain. Sejauh ini, mayoritas korporasi masih mengandalkan pinjaman perbankan sebagai sumber dana untuk mendukung ekspansi bisnisnya.

Sementara itu, surat utang dengan berbagai pilihan instrumennya belum menjadi alternatif yang dilirik pelaku usaha. Ada beberapa alasan yang kemungkinan menjadi latar belakang terjadinya hal ini. Secara umum, baik kredit perbankan maupun surat utang memiliki keunggulan dan kelemahannya tersendiri.

Keunggulan kredit perbankan adalah proses yang cepat, karena hanya melibatkan pihak bank sebagai pemberi pinjaman. Dalam prosesnya, bank kadang tidak sendiri, tetapi bersama-sama dengan bank lain memberikan kredit sindikasi, terutama jika nilai kredit cukup tinggi.

Namun, kelemahannya adalah besaran bunganya yang tinggi serta kewajiban cicilan bunga dan pokok secara rutin setiap periode yang disepakati, umumnya bulanan.

Sementara itu, proses penerbitan surat utang jauh lebih berbelit. Korporasi harus melakukan pemeringkatan atas kondisi keuangan korporasi dan surat utang yang bakal diterbitkan. Untuk itu, korporasi harus menyewa jasa perusahaan pemeringkat seperti Pefindo.

Selama proses penerbitan surat utang, korporasi harus mengurus perizinan ke OJK untuk memperoleh pernyataan efektif, lalu melewati proses penawaran umum yang panjang. Korporasi harus menyewa jasa underwriter untuk menjaring pemberi pinjaman dan memasarkan surat utangnya.

Selain itu, setelah penerbitan selesai, korporasi dituntut untuk terbuka dengan para pemberi pinjaman terkait kondisi keuangan dan dapur bisnisnya. Kewajiban keterbukaan seperti ini cenderung tidak disukai oleh banyak korporasi.

Namun, keuntungannya, jika mendapatkan peringkat yang tinggi, korporasi dapat menerbitkan surat utangnya dengan kupon yang rendah. Ini dapat sangat menghemat beban keuangan perusahaan.

Selain itu, tiap bulan korporasi hanya perlu membayarkan bunga atau kupon, sedangkan pokok utang dilunasi saat surat utang itu jatuh tempo. Ini membantu perusahaan menjaga arus kasnya.

Meskipun demikian, ketika terjadi kondisi krisis di tubuh korporasi atau tekanan akibat situasi genting layaknya pandemi saat ini, proses restrukturisasi utang kredit jauh lebih cepat dibanding surat utang.

Ketika korporasi kesulitan membayarkan kewajibannya, mereka dapat meminta restrukturisasi ke bank, entah dengan cara memperpanjang tenor atau jangka waktu pinjaman dengan kompensasi bunga yang lebih tinggi, atau kesepakatan lainnya. Prosesnya relatif singkat jika relasi dengan bank cukup baik.

Namun, bagi surat utang korporasi, prosesnya tidak terlalu mudah. Korporasi harus terlebih dahulu menggelar rapat umum pemegang obligasi (RUPO) untuk mengambil setiap keputusan penting terkait surat utangnya. Banyaknya pihak pemberi pinjaman pada instrumen surat utang dapat menyulitkan korporasi untuk mendapatkan persetujuan bulat atas rencananya.

Selama periode pandemi, OJK juga hanya memberikan relaksasi bagi proses restrukturisasi pada kredit perbankan, bukannya pada surat utang.

Secara total, nilai surat utang korporasi yang beredar di pasar hingga paruh pertama tahun ini hanya mencapai Rp453,37 triliun, sedangkan kredit perbankan per April 2021 mencapai Rp5.657 triliun. Di sini saja, terlihat jelas besarnya gap antara surat utang dan kredit bank.

Setelah menimbang untung rugi masing-masing instrumen, kebanyakan korporasi sektor riil hingga kini tampaknya lebih memilih kredit bank daripada surat utang.

Sementara itu, bagi sektor finansial ceritanya sedikit berbeda. Bank tentu tidak memiliki alternatif lain ketika membutuhkan tambahan likuiditas, sehingga menerbitkan surat utang adalah pilihan paling strategis.

Sementara itu, bagi sektor non-bank, terutama multifinance yang menjalankan bisnis pembiayaan, tentu membutuhkan sumber dana yang murah agar dapat menyalurkan pembiayaan yang kompetitif bagi konsumen. Dalam hal ini, surat utang pun menjadi pilihan yang paling ideal.

Tidak mengherankan jika sektor finansial terus mendominasi emisi surat utang korporasi selama ini.

Adapun, saat ini total korporasi yang telah memanfaatkan pasar surat utang masih sekitar 141 perusahaan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 54 perusahaan atau 38% berasal dari sektor finansial, sedangkan sisanya tersebar pada berbagai lini sektor riil.

Jumlah ini tentu jauh tertinggal dibandingkan dengan total jumlah perusahaan di Indonesia yang mencapai 26,71 juta unit, dengan 450 ribu unit di antaranya tergolong dalam usaha menengah-besar. 

 

Menanti Bangkitnya Minat Sektor Riil

Minimnya minat terhadap emisi surat utang korporasi tampaknya juga tidak terlepas dari rendahnya pemahaman kebanyakan korporasi tentang instrumen ini. Ini tentu jauh berbeda dibanding kredit bank yang sudah dikenal luas sebagai sumbernya pinjaman.

Kondisi ini tentu tidak terlepas dari kurangnya sosialisasi seputar instrumen ini. Di sisi lain, obligasi korporasi juga bukan instrumen yang cukup likuid untuk ditransaksikan di pasar sekunder, seperti halnya obligasi negara atau saham. Oleh karena itu, basis investornya terbatas.

Selama ini memang belum ada aksi sosialisasi serius dari pemangku kepentingan untuk memperluas pemanfaatan instrumen surat utang ini. Bandingkan misalnya dengan kampanye Yuk Nabung Saham yang dimulai sejak akhir 2015 lalu.

Sebelum kampanye itu, jumlah investor di pasar modal selama bertahun-tahun sangat sulit menembus level 1 juta single investor identification (SID). Saat ini, tepatnya per akhir April 2021, total SID sudah menembus 5 juta investor. 

Sejalan dengan kampanye itu, Bursa Efek Indonesia dan para sekuritas anggota bursa juga gencar melakukan roadshow kepada banyak perusahaan untuk melakukan initial public offering (IPO) di pasar saham. Alhasil, langkah IPO yang dulunya terasa asing, kini makin banyak diminati korporasi.

Setiap tahun, jumlah perusahaan yang IPO di BEI terus bertumbuh. Pada 2015, jumlah emiten IPO baru hanya 15 perusahaan, lalu turun menjadi 13 perusahaan pada 2016. Namun, setelahnya jumlahnya terus meningkat, berturut-turut pada 2017-2020 yakni 35, 57, 55, dan 51 emiten.

Artinya, jika ada langkah sosialisasi serius, mungkin saja langkah emisi surat utang akan diminati oleh banyak korporasi. Demikian pula investornya dapat lebih meningkat jika kampanye Yuk Beli Obligasi, misalnya, mulai digencarkan.

Buktinya, upaya sosialisasi serius pemerintah selama ini pun telah mendorong makin banyak investor ritel yang meminati instrumen surat berharga negara (SBN) ritel yang diterbitkan pemerintah hampir tiap bulan.

Selain itu, tidak sedikit pula investor yang meminati instrumen reksa dana pendapatan tetap yang isinya sebenarnya adalah obligasi korporasi. Jelas, potensi keuntungan dari instrumen ini sangat tinggi bagi investor.

Jika kampanye ini makin serius, pasar surat utang Indonesia tentu bakal lebih bergairah, sebab akan lebih banyak korporasi sektor riil, terutama dari kalangan swasta, yang berminat untuk menjajaki instrumen ini.

Selama ini, di antara jumlah emiten surat utang yang terbatas, sebagian justru didominasi oleh kalangan korporasi BUMN. Ini tentu menjadi pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan untuk makin menggairahkan dunia investasi di Indonesia