Kenapa Banyak Orang Enggan Investasi Saham?

Date:

[Waktu baca: 5 menit]

Jumlah investor saham di Indonesia terus meningkat dari waktu ke waktu. Per Juli 2020, jumlah investor saham mencapai 1,28 SID (single investor identification) atau meningkat 16% dibandingkan dengan akhir 2019.

Secara keseluruhan, investor pasar modal di Indonesia (termasuk reksadana dan obligasi) dalam periode itu mencapai sekitar 3 juta orang. Kendati demikian, jumlah investor di pasar modal itu masih dianggap relatif kecil dibandingkan dengan negara lain.

Dalam suatu kesempatan, Komisaris Bursa Efek Indonesia (BEI) Pandu Patria Sjahrir pernah mengatakan jumlah investor di pasar modal itu hanya 1% dari total penduduk Indonesia. 

Menurutnya, negara lain memiliki populasi investor 10% dari total jumlah penduduk. Dengan demikian, berdasarkan rasio tersebut, jumlah investor pasar modal di Indonesia masih relatif kecil.

Kenapa masyarakat enggan investasi saham padahal instrumen investasi ini adalah investasi legal (bukan investasi bodong) dan bahkan dinyatakan halal? Di sisi lain, tidak sedikit masyarakat yang terjerumus investasi bodong yang mengakibatkan kerugian materiil dan non-materiil yang tidak sedikit.

Mengapa demikian? Berikut ini sejumlah kemungkinan penyebab enggannya masyarakat untuk berinvestasi saham:

1. Risiko Tinggi

Investasi saham dikenal sebagai instrumen investasi yang memiliki risiko tinggi kendati menawarkan potensi keuntungan yang tinggi pula di sisi yang lain (high risk high return).

Tingginya risiko ini membuat sebagian orang enggan menempatkan dananya di saham karena khawatir kehilangan sebagian atau seluruh dananya tersebut. Harga saham mudah terpengaruh berbagai informasi yang beredar.

Sebagian saham, kendati tidak semua, juga dikenal memiliki volatilitas (besaran perubahan harga) yang tinggi. Dengan kata lain, harga suatu saham bisa naik tinggi dalam waktu cepat, tapi juga bisa turun drastis dalam waktu yang tidak kalah cepat.

Risiko tinggi ini yang terkadang tidak bisa diterima oleh sebagian pemilik dana, terutama yang memiliki profil risiko konservatif. Mereka cenderung memilih instrumen investasi selain saham.

2. Istilah Asing

Dalam berbagai pembahasan saham, berbagai istilah yang disampaikan atau digunakan tidak jarang menggunakan bahasa asing yang tidak mudah untuk segera dipahami.  Istilah-istilah yang terkesan rumit seringkali menjadi mental block bagi seseorang untuk menjajal hal baru seperti investasi saham. 

Kendati demikian, dalam perkembangannya, investor/trader saham di Indonesia menciptakan bahasa slang untuk memudahkan pemahaman mengenai saham. Bahasa slang itu diciptakan dengan meramu berbagai bahasa yang berkembang di masyarakat.

3. Rentan Terdampak Informasi

Harga saham dianggap rentan terdampak aneka informasi, terlepas dari kebenarannya, yang berseliweran setiap saat. Informasi yang disebut sebagai "sentimen" itu dapat mempengaruhi harga saham, baik secara positif atau negatif.

Salah satu contoh informasi peristiwa yang berdampak terhadap harga saham adalah ketika virus corona mulai banyak ditemukan di berbagai negara di dunia serta Indonesia. Pada saat itu, harga-harga saham berguguran di seluruh dunia.

Saham-saham yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia juga banyak yang turun hingga puluhan persen dalam beberapa hari saja pada Maret 2020 akibat informasi mengenai pandemi virus corona tersebut.

4. Terkesan Susah

Investasi saham sering terkesan susah karena dianggap perlu memahami aneka teori terkait, misalnya, teori-teori mengenai analisa fundamental atau analisa teknikal. Pemahaman mengenai teori tersebut tidak jarang membutuhkan waktu yang tidak singkat bahkan bertahun-tahun.

Pemahaman mengenai investasi saham itu juga tidak menjamin keuntungan bagi investor saham karena pergerakan harga saham dipengaruhi oleh banyak hal. Hal ini tentu saja berbeda dengan investasi di instrumen lain, deposito misalnya, yang cenderung lebih sederhana.

5. Edukasi 

Pada saat ini, edukasi mengenai investasi saham secara berkelanjutan masih banyak yang belum menjangkau berbagai daerah di Indonesia. Investasi saham kalah pamor dengan instrumen lain seperti emas, properti, tanah dan sebagainya.

Di sisi lain, keberadaan kantor cabang perusahaan sekuritas atau broker saham juga masih relatif jarang di berbagai daerah dibandingkan dengan kantor cabang dari lembaga keuangan lain seperti bank atau asuransi.