Jejak "Mafia" IPO dan Efektivitas IPO Online
[Waktu baca: 6 menit]
Sepanjang tahun ini, Bursa Efek Indonesia sudah kedatangan delapan emiten baru. Sementara itu, per 8 Maret 2021, BEI mencatat sudah ada 26 perusahaan dalam daftar tunggu yang bersiap untuk melakukan penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) dan pencatatan saham di BEI (listing).
Beberapa tahun terakhir, gairah perusahaan untuk menggalang dana melalui pasar modal meningkat signifikan. Di sisi lain, peningkatan jumlah investor baru pun tak kalah pesatnya. Semua ini tidak terlepas dari upaya otoritas pasar modal yang makin serius memperbesar kapasitas pasar modal Indonesia.
Namun, seiring dengan peningkatan animo tersebut, ada cerita yang kerap berulang di pasar modal beberapa tahun terakhir, yakni peningkatan harga yang tak wajar pada saham-saham emiten pendatang baru di bursa sejak hari pertama saham tersebut listing.
Sepanjang awal tahun ini, kedelapan emiten yang baru listing di bursa memiliki cerita yang sama, yakni naiknya harga sahamnya dengan cukup tinggi pada hari pertama perdagangan sahamnya dibuka di pasar sekunder.
Beberapa emiten tersebut bahkan terus mengalami lonjakan harga saham secara beruntun sekaligus terkena auto rejection atas (ARA) karena kenaikannya menyentuh batas tertinggi yang diizinkan bursa dalam satu hari.
Tidak heran, BEI pun beberapa kali mengenakan suspensi atau penghentian sementara perdagangan saham-saham ini dalam rangka cooling down. BEI juga kadang memberikan peringkatan kepada investor dengan memberikan predikat unusual market activity (UMA) pada saham-saham yang bergerak tak wajar.
Berikut ini daftar emiten pendatang baru tahun ini serta perkembangan harganya sejak IPO hingga Selasa (16 Maret 2021):
Pada data tersebut, terlihat bahwa saham DCII dan BANK mengalami lonjakan harga paling tinggi, bahkan hingga ribuan persen. Padahal, jika menengok kinerja keuangan keduanya, tidak ada yang mengesankan.
Dengan kenaikan harga yang tinggi itu, kapitalisasi pasar DCII kini mencapai Rp29,14 triliun, padahal total asetnya hanya Rp1,68 triliun. Pendapatannya hanya Rp490 miliar dengan laba bersih Rp106,65 miliar.
Sementara itu, kapitalisasi pasar BANK kini mencapai Rp34,96 triliun, padahal asetnya bahkan kurang dari Rp1 triliun, yakni hanya Rp715,6 miliar. Pendapatan dan labanya masing-masing hanya Rp53,18 miliar dan Rp77,3 miliar.
Sekadar catatan, laporan kinerja tersebut merupakan data RTI berdasarkan laporan keuangan akhir 2019. Artinya, posisi tersebut belum mencerminkan kondisi mereka saat pandemi serta setelah menerima suntikan dana segar dari IPO.
Namun, DCII dan BANK masing-masing hanya menerima dana IPO Rp150 miliar dan Rp515 miliar. Penambahan dana tersebut pada modal keduanya tetap saja tidak setara dengan peningkatan kapitalisasi pasarnya.
Akhir-akhir ini, pasar modal tampaknya memang sedang begitu antusias terhadap saham-saham yang memiliki embel-embel teknologi atau digital di balik bisnisnya. Kedua saham ini memang masuk dalam kategori itu.
Pergerakan harga yang tak wajar seperti ini jelas menunjukkan adanya aktivitas yang tak wajar pula di pasar modal. Gejala yang seragam di kalangan emiten-emiten yang baru IPO selama beberapa tahun ini tentu memiliki penjelasan di baliknya.
Salah satu cerita unik di kalangan emiten-emiten pendatang baru tahun ini adalah perbedaan pergerakan harga antara PT Widodo Makmur Unggas Tbk. (WMUU) dengan saham-saham pendatang baru lainnya.
Pada tabel di atas, terlihat bahwa saham WMUU menjadi saham dengan tingkat kenaikan harga paling rendah di antara kedelapan emiten baru tersebut.
Selain itu, kenaikan harga saham WMUU pada hari pertama perdagangan sahamnya pun hanya 15,56% dan tidak terkena ARA, berbeda dibanding tujuh saham lainnya. Setelahnya, harga saham WMUU juga tidak terlalu fluktuatif dan cenderung turun.
Hal yang menarik, manajemen WMUU menjelaskan bahwa pada saat menggelar IPO, perusahaan berkomitmen untuk menarik lebih banyak partisipasi investor ritel sebagai pembeli saham mereka.
Adapun, WMUU melepas 15% sahamnya untuk investor publik atau sebanyak 1,94 miliar. Dari jumlah tersebut, investor institusi menyerap 69,5%, sedangkan investor ritel menyerap 30,5%. Hal ini menjadikan jumlah pemegang saham WMUU sangat banyak, mencapai 29.356 pihak per 10 Maret 2021.
Bandingkan dengan DCII yang jumlah pemegang sahamnya hanya 887, UFOE sebanyak 1.448 pihak, dan DGNS sebanyak 4.097 pihak. Sementara itu, pemegang saham BANK jumlahnya kini 24.032 pihak, tetapi itu terjadi setelah penambahan sebanyak 21.840 setelah listing.
Tingginya porsi pemegang saham ritel di kalangan investor publik WMUU ini menjadikan sahamnya relatif lebih sulit dikendalikan oleh oknum-oknum bandar di pasar. Artinya, hambatan yang terjadi selama proses IPO bagi para oknum mafia IPO menjadikan sulit pula saham tersebut dikendali setelah IPO oleh para bandar. Demikian pula sebaliknya.
Saham Baru Sasaran Spekulan
Jika mencermati tren yang terjadi belakangan ini, tampaknya sangat jarang ada saham baru IPO yang pergerakan harganya sejalan dengan fundamental bisnisnya.
Saham-saham emiten baru umumnya belum terlalu banyak diulas media dan relatif sulit untuk mengakses rekam jejaknya sebelum listing.
Sementara itu, prospek masa depannya juga lebih banyak didasarkan atas analisis yang disampaikan oleh manajemennya sendiri serta sekuritas yang menjadi penjamin pelaksana emisi efeknya (underwriter). Ulasan prospek ini umumnya disampaikan saat penawaran umum saham dilakukan.
Sekuritas lain belum banyak mengulas kinerja maupun prospeknya. Artinya, sangat mungkin penyampaian prospek bisnis emiten itu mengalami bias kepentingan dari pemilik awal maupun underwriter yang ingin memastikan seluruh saham baru yang dilepas akan mampu diserap pasar.
Namun, apakah investor memperhatikan prospek itu? Tampaknya tidak selalu demikian juga.
Saham emiten-emiten baru di BEI selama ini hampir selalu meningkat harganya pada hari pertama perdagangan sahamnya di BEI setelah listing. Peningkatan harga tersebut bahkan hampir selalu mencapai level tertinggi yang bisa dicapai dalam satu hari, atau terkena ARA.
Peningkatan harga hingga terkena ARA ini pun bisa terjadi selama beberapa hari. Alhasil, tren ini seakan menjadi daya tarik utama saham-saham baru IPO, sebab tren ini cenderung sangat konsisten beberapa tahun belakangan.
Investor memburu saham-saham IPO bukan lagi semata karena meminati prospek bisnisnya, tetapi karena peluang kenaikan harga yang menggiurkan setelah listing.
Beberapa emiten yang baru IPO pun tidak jarang sulit diakses media untuk memperoleh update perkembangan bisnis mereka. Namun, toh harga sahamnya tetap bergerak meningkat tanpa ada informasi baru yang signifikan.
Saham-saham ini umumnya mudah dikendalikan karena kepemilikannya terkonsentrasi pada segelintir investor strategis yang memperoleh jatah dalam fix allotment saat penawaran umum. Adapun, proses penjatahan saham IPO ada dua jenis, yakni penjatahan pasti atau fixed allotment dan penjatahan terpusat atau pooling allotment.
Sebagai informasi, saat melakukan penawaran umum, underwriter umumnya sudah memiliki beberapa mitra investor yang dapat didekatinya untuk menjadi pembeli saham-saham emiten baru yang menggunakan jasa sekuritas tersebut sebagai underwriter.
Beberapa investor itu juga kadang berasal dari mitra emiten yang bersangkutan, yang memang sejak awal berniat menjadi pemegang saham. Oleh karena itu, investor-investor ini sering juga disebut dengan investor strategis, yang sengaja masuk melalui mekanisme IPO agar perusahaan yang diinvestasikan itu berstatus menjadi perusahaan terbuka.
Melalui negosiasi, para investor tersebut akan memperoleh jatah saham sesuai kesanggupannya. Penjatahan untuk investor-investor ini disebut dengan penjatahan pasti atau fixed allotment. Nilainya umumnya paling besar, tidak jarang mencapai 99% dari nilai IPO untuk beberapa investor strategis.
Sementara itu, untuk investor-investor lainnya, umumnya ritel, yang juga ingin membeli saham ini akan mengambil bagian dalam penjatahan terpusat, atau pooling allotment. Biasanya, porsi pooling allotment ini kurang dari 10% dari target nilai IPO, bahkan hanya 1%.
Hal ini karena tidak mudah bagi underwriter untuk dapat mengumpulkan investor individu dalam jumlah banyak untuk menyerap saham IPO, sehingga lebih mudah jika menyasar segelintir investor berduit tebal untuk mendapatkan fixed allotment.
Nah, di pasar saham, ada yang namanya mafia pooling. Mereka ini biasanya mengincar saham-saham IPO dalam penjatahan pooling allotment untuk dapat menikmati kenaikan harga yang dikendalikan oleh investor strategis.
Sudah menjadi rahasia umum di kalangan mafia ini bahwa semakin kecil porsi pooling allotment, misalnya hanya 1%, maka akan makin mudah saham itu diterbangkan harganya oleh para investor strategis.
Oleh karena itu, mafia pooling ini akan mengincar saham-saham IPO yang pooling allotment-nya kecil, misalnya hanya 1%. Mereka akan berusaha mendapatkan porsi sebesar-besarnya dari 1% saham itu agar dapat menikmati keuntungan dari permainan harga yang akan dilakukan investor strategis.
Informasi tentang porsi pooling allotment itu biasanya mereka dapatkan dari oknum tertentu di sekuritas underwriter serta dari biro administrasi efek. Untuk mendapatkan jatah besar, mereka akan melakukan pemesanan dalam jumlah besar, sebab penjatahan saham pada pooling allotment itu akan dilakukan berdasarkan besarnya permintaan dari masing-masing investor.
Alhasil, pada akhirnya ketika emiten tersebut tercatat sahamnya di BEI, pemegang sahamnya hanya sedikit pihak, terdiri atas investor pengendali (pemegang saham pengendali utama), investor utama lain, investor strategis dengan kepemilikan kurang dari 5%, investor ritel mafia pooling, dan segelintir investor ritel lainnya. Tidak heran sahamnya mudah dikendalikan di pasar.
Perkenalkan, Electronic IPO atau e-IPO
Sejak kuartal terakhir tahun 2020 lalu, BEI mulai memberlakukan e-IPO. Masa transisi untuk adaptasi mekanisme IPO yang baru ini diberikan hingga akhir 2020, sebelum kini resmi berlaku sejak awal 2021.
Aturan pelaksana e-IPO ini tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 41/POJK.04/2020 tentang Pelaksanaan Kegiatan Penawaran Umum Bersifat Ekuitas, Efek Bersifat Utang, dan/atau Sukuk Secara Elektronik.
Tujuan penerapan e-IPO ini antara lain untuk meningkatkan ketersebaran investor, meningkatkan jumlah investor publik, dan untuk meningkatkan akuntabilitas serta transparansi dalam penentuan harga penawaran umum.
Dengan kata lain, tujuan e-IPO ini adalah untuk meminimalisasikan ruang gerak mafia pooling. Selain itu, e-IPO juga bertujuan untuk meminimalisasikan ruang gerak permainan harga perdana saham emiten, entah oleh sekuritas atau investor strategis.
Biasanya, harga wajar IPO didiskon agar nantinya di pasar sekunder bisa naik tinggi. Alasannya, ini menjadi pemanis bagi investor agar berminat menanamkan investasi. Hal ini sebenarnya merugikan pihak emiten sebagai penerima dana.
Dalam aturan ini, pemesanan saham IPO oleh investor ritel dibatasi maksimal Rp100 juta per investor. Jadi, sulit bagi mafia pooling untuk menguasai saham hingga miliaran rupiah.
Selain itu, pemesanan saham IPO juga tidak terbatas hanya melalui underwriter yang ditunjuk, tetapi bisa melalui sekuritas manapun yang berpartisipasi dalam e-IPO, atau melalui laman e-IPO, yakni www.e-ipo.co.id.
Dengan demikian, saham IPO bisa diakses oleh lebih banyak investor, tidak saja oleh investor yang menjadi nasabah di sekuritas yang menjadi underwriter.
Seiring dengan itu, OJK juga menaikkan batasan porsi pooling allotment untuk investor ritel saat ini. Jika selama ini dalam prakteknya jatah pooling hanya 1%, kini jatahnya diatur lebih besar dan pasti, serta disesuaikan berdasarkan target nilai IPO.
Hal itu sudah diatur dalam Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 15/SEOJK.4/2020 tentang Penyediaan Dana Pesanan, Verifikasi Ketersediaan Dana, Alokasi Efek untuk Penjatahan Terpusat, dan Penyelesaian Pemesanan Efek dalam Penawaran Umum Efek Bersifat EKuitas Berupa Saham Secara Elektronik.
Secara garis besar, berikut ini mekanisme penjatahan dalam pooling allotment yang baru:
Dengan mekanisme itu, diatur bahwa makin tinggi nilai IPO, makin rendah persentase penjatahan terpusat. Meskipun demikian, dari sisi nilainya meningkat yakni minimal Rp75 miliar. Selain itu, jika pemesanan investor berlebih, porsi pooling allotment ini juga dinaikan menjadi lebih tinggi.
Dengan mekanisme yang baru ini, secara teoritis praktek goreng menggoreng saham akan relatif lebih sulit, sebab mafia pooling sulit bergerak, sedangkan dominasi investor strategis juga lebih ditekan sebab porsi investor ritel dalam pooling allotment kini lebih tinggi.
Hanya saja, kenyataan bahwa saham-saham emiten baru pada awal tahun ini masih mengalami pergerakan harga yang tak wajar menyebabkan efektivitas mekanisme yang baru ini pun masih perlu dipertanyakan. Atau, entah mungkin ada modus operandi baru lagi yang digunakan para bandar.
Date: