Kenapa Harga Saham Turun atau Naik?
[Waktu baca: 6 menit]
Pada dasarnya, ada dua kemungkinan pergerakan harga saham: naik atau turun. Suatu saham bisa naik dan turun pada satu hari perdagangan.
Pertanyaannya, kenapa harga saham turun atau naik? Apa penyebab harga saham naik dan turun? Secara prinsip, harga terbentuk karena permintaan dan penawaran di pasar.
Proses pembentukan harga ini dapat dipahami dengan contoh sederhana harga buah di pasar tradisional. Sebagai contoh, seorang pedagang menawarkan pisang seharga Rp40.000 per kilogram.
Calon pembeli kemudian menawar pisang itu dengan harga Rp35.000 per kilogram karena berbagai alasan seperti kualitas. Mereka berdua kemudian sepakat pisang itu dihargai Rp35.000.
Dengan kata lain, harga adalah "kesepakatan" antara pembeli dan penjual. Di pasar saham, seorang pembeli saham bisa mengajukan permintaan dengan harga tertentu (bid) dan penjual saham bisa menawarkan saham dengan harga tertentu (offer).
Pertanyaan selanjutnya, faktor apa saja yang mempengaruhi permintaan dan penawaran? Mengapa dalam suatu waktu banyak orang ingin membeli saham tertentu? Di sisi lain, mengapa dalam suatu waktu banyak orang ingin menjual saham tertentu?
Pada umumnya, ada empat faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran saham. Faktor-faktor ini dapat dimaknai beragam oleh para pelaku pasar tergantung kepentingan dan analisanya:
1. Berita Aksi Korporasi
Berita yang dipublikasikan secara luas oleh media massa dapat menjadi pertimbangan bagi para pelaku pasar dalam mengambil keputusan investasi. Berita ini dapat berupa berita yang dikategorikan sebagai "berita baik" atau "berita buruk".
Pada umumnya, berita yang berpengaruh terhadap keputusan investasi para pelaku pasar adalah berita rencana aksi korporasi yang dilakukan oleh perusahaan terbuka. Aksi korporasi itu dapat berupa merger (penggabungan), akuisisi, right issue usaha dan sebagainya.
Salah satu contoh berita rencana aksi korporasi yang diikuti lonjakan harga saham adalah rencana merger PT BRI Syariah Tbk. (BRIS) dengan bank syariah BUMN lainnya yaitu PT Bank Mandiri Syariah dan PT BNI Syariah.
Rencana merger itu menyebabkan saham BRIS naik drastis bahkan hingga menyentuh Auto Reject Atas (ARA) dalam beberapa hari perdagangan menyusul sejumlah berita mengenai rencana penandatanganan Conditional Merger Agreement (CMA).
Namun, berita mengenai rencana aksi korporasi juga bisa diikuti penurunan harga saham dalam jangka pendek seperti yang terjadi dalam kasus akusisi Pinehill Company Limited oleh PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. (ICBP).
Akuisisi dengan nilai transaksi yang cukup fantastis untuk skala Indonesia, US$2,99 miliar (sekitar Rp44 triliun) itu diikuti penurunan harga saham ICBP dan induk usahanya, PT Indofood Sukses Makmur Tbk. (INDF).
Selain berita media massa, rumor yang beredar di kalangan pelaku pasar juga dapat berpengaruh terhadap pergerakan harga suatu saham. Misalnya, rumor akuisisi PT PT Bank Artos Indonesia Tbk (ARTO) oleh perusahaan teknologi Gojek. Di tengah rumor tersebut, saham ARTO sempat melesat hingga ratusan persen.
2. Fundamental Perusahaan
Aspek fundamental perusahaan dapat berpengaruh dalam pengambilan keputusan investasi saham. Sebagai contoh sederhana adalah ketika sebuah perusahaan terbuka mengumumkan laporan keuangannya untuk suatu periode.
Para pelaku pasar akan mengambil keputusan investasi (jual, beli atau tahan) saham dari kinerja tersebut. Misalnya, sebuah perusahaan mengumumkan peningkatan penjualan yang drastis dalam satu tahun. Peningkatan penjualan itu diikuti dengan peningkatan laba bersih serta laba per saham.
Peningkatan kinerja positif itu dapat mendorong peningkatan permintaan terhadap saham perusahaan tersebut. Begitupula sebaliknya ketika sebuah perusahaan membukukan penurunan kinerja atau bahkan kerugian. Para pelaku pasar dapat menjual saham perusahaan tersebut.
Perlu diketahui, kendati membaca laporan keuangan yang sama, keputusan seorang investor bisa berbeda dari investor lainnya karena adanya perbedaan analisa, prediksi dan kepentingan.
3. Kebijakan Pemerintah
Di Indonesia, kebijakan pemerintah dapat berpengaruh terhadap harga saham sebuah perusahaan, baik dalam jangka pendek, menengah atau panjang. Pada umumnya, kebijakan pemerintah yang berpengaruh terhadap harga saham adalah kebijakan yang dianggap dapat berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan.
Salah satu contohnya adalah kebijakan pemerintah mengenai cukai rokok. Pada Jumat (13 September 2019) setelah perdagangan saham ditutup, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan peningkatan cukai rokok sebesar 23%.
Pada hari perdagangan berikutnya pada Senin 16 September 2019, pasar bereaksi negatif terhadap berita-berita mengenai cukai rokok itu. Harga saham GGRM anjlok 20,63% menjadi Rp54.600 (dari Rp68.800) pada hari itu. Harga saham HMSP meluncur 18,21% menjadi Rp2.290 (dari Rp2.800) pada hari yang sama. Kapitalisasi pasar dua perusahaan itu menyusut puluhan triliun Rupiah dalam sehari.
Cukai rokok menjadi sentimen yang sensitif karena hal tersebut diprediksi mempengaruhi kinerja perusahaan. Oleh karena itu, investor saham bereaksi atas pernyataan pejabat mengenai naik atau tidaknya cukai rokok.
Contoh lainnya adalah ketika Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa harga gas tidak naik pada November 2019. Pada saat Presiden menyampaikan pernyataannya, jam menunjukkan pukul 15.10 WIB. Tidak lama setelah itu, harga saham PGAS (PT Perusahaan Gas Negara Tbk.) terjun bebas 7,1% pada pukul 15.22 WIB. Sampai penutupan perdagangan hari itu, harga saham gas PGAS turun 12,3% dibandingkan dengan 31 Oktober 2019.
4. Psikologi Pasar
Psikologi pasar dapat dipahami sebagai respon para pelaku pasar terhadap suatu kondisi tertentu. Respon psikologis itu dapat terwujud dalam berbagai bentuk, mulai dari kecemasan, keberanian hingga ikut-ikutan (herd behavior).
Salah satu contoh psikologi pasar ini adalah ketika sebagian besar pelaku pasar mengalami kepanikan akibat penyebaran virus corona hampir di seluruh negara, termasuk Indonesia. Pada saat itu, indeks saham di sejumlah negara, termasuk Indonesia mengalami penurunan drastis dalam beberapa hari.
Pada saat kepanikan melanda, investor saham menjual saham-sahamnya, termasuk saham yang masuk ke dalam kategori berkapitalisasi pasar besar (big caps) dan berkinerja baik (blue chip).
Pada saat kepanikan akan corona tersebut menyebar, harga saham blue chip bahkan anjlok hingga menyentuh level batas bawah (auto reject bawah/ARB). Perdagangan saham sampai dihentikan (trading halt) berulang kali karena penurunan hingga mencapai 5%.
Pada Maret 2020, investor panik bahwa virus corona akan berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Kepanikan itu bukannya tanpa alasan. Terbukti, pada kuartal II/2020, perekonomian Indonesia terkontraksi hingga minus. Pemerintah Indonesia juga menyatakan Indonesia mengalami resesi pada kuartal III/2020.
Date: