Kaum Mendang Mending

Date:

[Waktu baca: 4 menit]

Beberapa hari terakhir ini, social media sedang diramaikan oleh sebuah artikel yang menyebutkan bahwa untuk membesarkan seorang anak di Jakarta sampai usia 21 tahun –usia di mana bisa tergolong dapat hidup mandiri– memakan biaya Rp 3 miliar. Artikel ini semakin semarak ketika penggiat social media mulai membahasnya. Sebagian yang setuju berpendapat bahwa memang lebih baik menikah dan child free, karena uangnya bisa digunakan untuk hal lain.

Jika kita membagi Rp 3 milyar dengan 21 tahun, maka biaya membesarkan anak di Jakarta per tahunnya itu kurang lebih Rp 142 juta. Dalam salah satu twit, seseorang menyebutkan bahwa dengan tidak mempunyai anak, maka Rp 142 juta tersebut dapat digunakan untuk banyak hal, seperti jalan-jalan, membantu orang tua, asuransi, sampai membeli televisi beresolusi 4K dan Play Station 5 (PS 5).

Meski membandingkan punya anak dengan beli PS 5 ini terdengar absurd, tapi dengan uang Rp 142 juta, kita memang bisa membeli PS 5 yang banyak, bahkan membuka rental bila perlu.

Intinya, mereka yang memutuskan untuk child free berpendapat kalau taraf hidup mereka dapat tetap terjaga dengan tidak mempunyai anak yang dapat menambah biaya bulanan.

Sebagai negara dengan netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara versi Digital Civility Index 2020, tentu saja hal ini mendapat respon yang menarik. Yang pertama, netizen yang budiman berandai-andai apa jadinya jika orang tua mereka yang mengusung child free ini berpikiran hal yang sama. Kemudian disusul oleh mereka yang berpendapat bahwa mempunyai anak yang menunggu dan memanggil nama mereka setiap pulang kerja itu tak ternilai harganya. It's priceless.

Topik ini tergolong ramai di Twitter dengan adanya 2 indikasi. Adanya penjual akun streaming murah di kolom reply dan munculnya kaum mendang-mending. Jika yang pertama mencari sesuap nasi, maka yang kedua ini kadang mengiritasi. Kaum mendang-mending. Mereka yang melontarkan pendapat dengan awalan kata “mending” tanpa ditanya. Mending begini, mending begitu.

"Mending tidak punya anak, karena bisa hemat."

Padahal jika mau hemat, beli saja paket bento dengan 2 shrimp roll dan 2 egg chicken roll.

"Mending punya anak, karena ada yang menyemangati setiap berangkat kerja."

Kalau ingin semangat kerja, cukup ambil kredit kepemilikan rumah selama 15 tahun. Niscaya, pasti semangat.

Jadi, mending mana? Mending punya anak atau child free?

Menanyakan hal di atas seperti membuat tembok persepsi bahwa jawabannya hanya ada di antara dua opsi itu. Seolah memaksa kita mengambil pihak dan bersebrangan dengan satunya. Seakan-akan ada garis merah yang menjadi batas pilihan yang benar dan yang salah. Padahal untuk pertanyaan-pertanyaan seperti di atas, selalu ada pilihan ketiga. Tergantung.

Mungkin jawaban ini terdengar pragmatis khas politisi. Mencoba main aman, bergerak di area abu-abu. Tapi, jawabannya memang tergantung. Tergantung kondisi kesehatan, kesiapan mental, juga finansial.

Meski ada petuah yang mengatakan setiap anak ada rezekinya masing-masing, nyatanya mempunyai anak memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Walau jumlahnya tidak harus Rp 142 juta setahun, tetap perlu ada perencanaan finansial yang matang sebelum memutuskan untuk mempunyai anak.

Baca juga: Gaji Itu Ibarat Penis

Selain with great power, punya anak itu juga comes great responsibility. Paling mendasar adalah perkara makan. Jika hanya hidup berdua, mungkin suami dan istri bisa berhemat dengan melakukan intermittent fasting, makan satu kali sehari namun bisa sebanyak-banyaknya a la Deddy Corbuzier. Tapi anak tidak bisa intermittent fasting. Anak harus makan, setidaknya 3 kali sehari. Suka tidak suka, argo biaya membesarkan anak terus berjalan.

Tapi kembali lagi, jawabannya adalah tergantung. Tidak ada salah benar dalam menjawab pertanyaan di atas. Tidak ada yang lebih mending.

Semua punya cita-cita yang berbeda. Semua punya cara mencapai tujuannya masing-masing. Memaksakan standar kita ke orang lain itu absurd. Se-absurd membandingkan punya anak dengan beli PS 5.

Keputusan ada di tangan yang menjalani. Memutuskan punya anak, ya silahkan. Tidak mau punya anak pun, tidak apa-apa. Selama siap dengan konsekuensi dan tidak mengganggu hajat hidup orang lain, ya jalani saja.

Suara riuh dan gaduh akan tetap ada, apapun keputusannya. Saran dan kritik akan tetap datang, meski tanpa diminta. Karena kaum mendang-mending akan selalu muncul di social media bersama mereka yang gemar jualan akun streaming murah.

Jadi, apapun keputusannya, apapun jalan yang dipilih, rencanakanlah dengan matang dan jalani dengan hati yang teguh. Itu, lebih mending.