Indeks Memerah, Bagaimana Prospek Saham Syariah?
[Waktu baca: 6 menit]
Perdebatan tentang halal atau tidaknya berinvestasi di pasar modal mestinya sudah selesai setelah Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa pasar modal adalah halal.
Sejak 2001, sudah empat fatwa terkait halalnya pasar modal yang diterbitkan oleh DSN-MUI.
Keempat fatwa tersebut yakni, pertama, Fatwa No. 20 DSN-MUI Tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah.
Kedua, Fatwa No. 40 DSN-MUI Tahun 2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.
Ketiga, Fatwa No. 80 DSN-MUI Tahun 2011 tentang Prinsip Syariah dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler Bursa yang Diberikan ke Bursa Efek Indonesia (BEI).
Fatwa ketiga ini mengatur tentang proses transaksi di bursa serta penerbitan indeks saham syariah di pasar modal. Kini, sudah ada tiga indeks syariah di pasar modal, yakni Indonesia Sharia Stock Index (ISSI), Jakarta Islamic Index (JII), dan Jakarta Islamic Index 70 (JII 70).
Fatwa terakhir terbit pada akhir 2018 lalu, yakni Fatwa No. 124 DSN-MUI Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Syariah dalam Pelaksanaan Layanan Jasa Penyimpanan dan Penyelesaian Transaksi Efek serta Pengelolaan Infrastruktur Investasi Terpadu.
Dengan terbitnya keempat fatwa itu, seluruh proses berinvestasi di pasar modal sudah dinyatakan halal. Seiring dengan itu, dalam 10 tahun terakhir atau sejak Bursa Efek Indonesia (BEI) meluncurkan indeks saham syariah pada 2011, jumlah investor syariah sudah melesat 16.789%.
Jumlah investor syariah meningkat dari hanya 531 investor pada 2011 menjadi 89.678 investor per Januari 2021. Pada Februari 2021, jumlahnya sudah mencapai 91.703 investor. Jika dihitung sejak 2016 hingga Februari 2021, pertumbuhannya mencapai 647% atau 65% per tahun.
Jumlah ini sebenarnya memang masih sangat kecil, yakni hanya 4,5% dari total investor pasar modal per Februari 2021. Namun, dengan tingkat pertumbuhannya yang pesat, jumlahnya bakal terus meningkat. BEI sendiri menargetkan jumlah investor syariah bisa mencapai 10% dari total investor pasar modal.
Sementara itu, jumlah saham syariah di pasar modal sudah tumbuh 82% sejak penentuannya pada 2011 lalu. Hingga awal tahun ini, jumlah saham yang masuk dalam daftar efek syariah sekaligus anggota indeks ISSI sudah mencapai 435 saham, atau 60,2% dari total saham IHSG yang mencapai 722 emiten.
Saham syariah menyumbang 47,9% dari total kapitalisasi pasar modal serta 60,4% dari total nilai transaksi saham harian.
BEI pun berencana akan meluncurkan indeks syariah baru pada akhir April 2021, yakni IDX MES BUMN17 yang merupakan hasil kerja sama bursa dengan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES). Anggota IDX MES BUMN17 sendiri akan berisi 17 saham BUMN syariah.
Emiten-emiten tersebut telah dikurasi oleh bursa, baik dari sisi market size, likuiditas, maupun performa fundamental emiten tersebut. BEI memastikan tidak ada catatan dari sisi kewajaran transaksinya dan tidak ada isu fundamental dari sisi kinerjanya.
Selain itu, BEI juga berencana menerbitkan indeks syariah tematik, salah satunya yang mengusung tema lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik atau environment, social, and good governance (ESG). Ini bakal makin melengkapi pilihan investasi investor syariah. Namun, belum dipastikan kapan akan dirilis.
Pertanyaannya, terlepas dari banyaknya indeks dan pertumbuhan pasar modal syariah selama ini, bagaimana kinerja saham syariah, terutama selama pandemi?
Baca juga: Tantangan di Tengah Mimpi Indah Industri Keuangan Syariah
Perbandingan Syariah vs Konvensional
Secara umum, saham-saham emiten yang masuk kategori saham syariah adalah emiten-emiten yang kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan prinsip syariah serta memiliki rasio utang yang rendah. Saham-saham yang tidak termasuk dalam saham syariah antara lain perbankan dan rokok.
Saham-saham perbankan dan rokok adalah kelompok saham dengan kapitalisasi pasar terbesar di BEI. Absennya kedua kelompok saham ini tentu berpengaruh pada perbedaan pergerakan antara pasar modal konvensional dengan syariah.
Terutama karena bobotnya yang besar, saham-saham bank ini memang sering menjadi sasaran beli investor asing serta manajer investasi lokal. Saham-saham ini juga jarang absen dalam jajaran emiten pilihan untuk meracik portofolio investasi oleh para manajer investasi.
Sebut saja misalnya PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk., PT HM Sampoerna Tbk. (HMSP), dan PT Gudang Garam Tbk. (GGRM).
Meskipun tanpa saham-saham besar ini, kinerja pasar modal syariah tidak dapat dikatakan tertinggal. Menimbang banyaknya jumlah saham-saham syariah di pasar, kinerja pasar modal syariah masih relatif sejalan dengan kinerja pasar secara keseluruhan.
Berikut ini perbandingan kinerja indeks-indeks saham konvensional dan syariah pada 2020 lalu:
Jika melihat pada data tersebut, kinerja indeks-indeks syariah sepanjang 2020 lalu tertekan tidak kalah dalamnya dibandingkan dengan pasar modal konvensional.
ISSI yang merupakan indeks komposit untuk syariah lebih tertekan ketimbang IHSG, sedangkan JII yang merupakan indeks pilihan syariah juga tertekan lebih dalam ketimbang LQ45 dan IDX30. Meskipun demikian, kinerja JII70 masih lebih lebih baik ketimbang IDX80.
Pada kuartal pertama tahun ini, kinerjanya juga tidak begitu banyak berbeda. Berikut ini datanya:
Dari data tersebut juga terlihat bahwa kinerja pasar modal syariah masih lemah. Di saat IHSG masih tumbuh tipis, ISSI tak mampu bertahan di zona hijau. Kinerja JII memang lebih baik ketimbang IDX30, tetapi lebih rendah ketimbang LQ45, sedangkan JII70 dan IDX80 relatif sejalan.
Memasuki kuartal kedua pada bulan April 2021, kinerja ini belum begitu banyak berubah, kendati secara umum cenderung makin memerah. IHSG sudah bergerak di zona merah, sedangkan indeks-indeks pilihan, baik konvensional maupun syariah bergerak dengan jauh lebih rendah dibanding IHSG.
Berikut ini datanya per Senin, 12 April 2021:
Jika berkaca pada data perkembangan historis tersebut, terlihat bahwa kinerja pasar modal pada awal tahun ini cenderung masih tertekan, tidak terkecuali pasar modal syariah. Namun, harapan terhadap prospek pemulihan ekonomi tahun ini tentu saja masih ada.
Ada beberapa hal yang dapat menopang optimisme kebangkitan pasar pada tahun ini.
Pertama, proses vaksinasi sudah berjalan, meskipun memang dalam pelaksanaannya ada beberapa kendala. Namun, kendala-kendala tersebut tidak bersifat sistemik, atau bisa mempengaruhi kondisi ekonomi secara signifikan. Kendala-kendala tersebut bakal tetap mampu diatasi, cepat atau lambat.
Kedua, tanpa proses vaksinasi pun, masyarakat saat ini sudah jenuh dengan pandemi dan mulai beraktivitas secara normal, sembari tetap memperhatikan protokol kesehatan. Adanya vaksinasi, terutama setelah banyak orang menerimanya, menambah kepercayaan diri masyarkat untuk beraktivitas lagi.
Setidaknya di Jakarta, kemacetan di jalan raya mulai terjadi, pusat perbelanjaan mulai ramai, ruang-ruang publik lain pun mulai dikunjungi. Singkatnya, ekonomi sudah mulai bergeliat.
Ketiga, kinerja ekonomi sejak kuartal kedua tahun lalu sudah tertekan sangat dalam akibat pandemi. Artinya, base line atau titik tolak bagi perhitungan pertumbuhan ekonomi tahun ini menjadi lebih rendah, sehingga pemulihan ekonomi tahun ini kemungkinan besar akan terefleksi dalam angka pertumbuhan yang tinggi.
Jika demikian, hal itu bakal makin meningkatkan optimisme pelaku usaha dan pelaku ekonomi. Hal ini tentu bakal direspons positif oleh pasar, sehingga dapat mendorong peningkatan kinerja saham-saham yang ada, termasuk saham-saham syariah.
Keempat, tren ekonomi global secara keseluruhan pada tahun ini sedang mengarah pada pemulihan. Ekonomi China sudah tumbuh positif kembali, sedangkan Amerika Serikat sudah sepakat untuk mengucurkan stimulus raksasa US$1,9 triliun. Dampaknya turunannya akan besar bagi dunia.
Artinya, pergerakan ekonomi saat ini adalah pergerakan menuju pemulihan. Dengan kata lain, periode terberat pandemi sudah dilewati, kini dunia menuju kondisi yang lebih baik.
Dunia mulai mampu beradaptasi dengan pandemi dan sudah lebih matang dalam penanganannya, tidak lagi seperti pada saat awal pandemi terjadi. Dengan demikian, kondisi hanya mungkin untuk menjadi lebih baik lagi di masa mendatang, bukannya lebih buruk.
Jika demikian, cepat atau lambat, pasar modal bakal bankit kembali. Koreksi yang terjadi saat ini, terutama di pasar modal syariah, justru dapat menjadi peluang emas untuk masuk, mumpung harga sahamnya sedang terdiskon.
Baca juga: Kapasitas, Peluang dan Tantangan Bank Syariah Indonesia
Saham Syariah Pilihan
Untuk mengetahui saham-saham mana saja yang masuk dalam kategori syariah dan memiliki kualitas fundamental yang baik, kita dapat menengok isi dari indeks JII, yakni 30 saham syariah yang likuid dengan fundamental yang oke.
Jika menilik kinerjanya hingga sesi pertama perdagangan hari ini, Selasa, 13 April 2021, terlihat bahwa mayoritas kinerja saham-saham ini masih memerah. Berikut ini datanya:
Dari data di atas, terlihat bahwa dari 30 saham anggota JII, hanya lima saham yang kinerjanya menghijau sepanjang tahun ini. Meskipun begitu, daftar saham yang masuk dalam indeks ini adalah saham-saham yang sudah cukup terkenal kinerjanya di kalangan pelaku pasar.
Kinerja saham-saham ini sudah melemah dengan cukup dalam sepanjang tahun ini, yang tampaknya lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor eksternal akhir-akhir ini. Dari sisi fundamental emiten-emiten tersebut, tidak begitu banyak isu yang signifikan, sebab semua emiten memang terdampak pandemi.
Di satu sisi, kita memang tidak dapat memastikan hingga kapan kinerja yang memerah ini bakal terus berlanjut atau apakah pelemahan pada tiap emiten sudah mencapai titik terendahnya atau belum. Namun, di sisi lain, harga yang rendah kini mencerminkan tingkat valuasi yang relatif lebih murah.
Oleh karena itu, jika mempertimbangkan beberapa faktor yang telah disebutkan sebelumnya, kinerja saham-saham syariah ini kemungkinan besar akan bangkit lagi pada sisa tahun ini. Dengan tingkat koreksi yang sudah cukup dalam, potensi kenaikan harganya pun menjadi cukup tinggi.
Date: