Hitam dan Putih Euforia Pasar Modal
[Waktu baca: 6 menit]
Pasar modal selama pandemi sangat bergairah. Kini, obrolan-obrolan seputar investasi saham dan reksa dana di berbagai platform media sosial pun mulai jamak terjadi, padahal dulu aktivitas investasi di pasar modal ini terkesan hanya milik kalangan tertentu saja.
Tentu saja fenomena ini positif. Justru inilah yang dicita-citakan sejak lama oleh pemerintah dan Bursa Efek Indonesia dan menjadi tujuan dari kampanye ‘Yuk Nabung Saham’ yang dimulai sejak 2015 lalu.
Hanya saja, belakangan kita juga menyaksikan adanya beberapa ekses buruk dari euforia investor baru ini. Beberapa investor baru terlalu bersemangat membeli saham-saham yang harganya naik secara tak wajar dan belakangan ramai mengeluh di media sosial karena portofolionya rugi.
Lonjakan jumlah investor baru di pasar modal sangat fantastis sejak kampanye ‘Yuk Nabung Saham’ dimulai. Pasalnya, sejak saat ini BEI bersama dengan para anggota bursa, yakni kalangan sekuritas, berlomba-lomba melakukan promosi serta edukasi investasi saham dan reksa dana.
Seiring dengan itu, proses inisiasi investor baru pun dipermudah. Dulu, untuk mendaftar menjadi investor dan membuka rekening investasi membutuhkan waktu hingga beberapa hari dan harus bertahap muka langsung dengan pegawai sekuritas.
Kini, dengan teknologi digital, seluruh prosesnya dapat dilakukan dari mana saja. Pengisian dokumen pendaftaran pun dapat dilakukan secara digital, demikian juga dengan proses verifikasinya. Beberapa sekuritas dapat menekan proses pendaftaran ini menjadi hanya dalam hitungan jam.
Alhasil, jumlah investor pun melonjak drastis. Pada akhir Januari 2021, jumlahnya sudah menembus 4 juta investor, atau empat kali lipat dibandingkan posisi pada akhir 2017. Adapun, beberapa investor terdaftar sebagai investor di lebih dari satu jenis aset investasi, yakni saham, reksa dana, dan surat berharga negara (SBN).
Berikut ini perkembangan jumlah investor di pasar modal dalam beberapa tahun terakhir (berdasarkan single investor identification/ SID):
Sementara itu, berikut ini tingkat pertumbuhannya :
*Pertumbuhan dalam year on year (yoy), kecuali Januari 2021 dalam year to date (ytd)
Jika melihat data tersebut, pertumbuhan paling signifikan terjadi di kalangan investor reksa dana, baik dari sisi jumlah maupun persentase pertumbuhan. Reksa dana merupakan jenis instrumen investasi dengan tingkat risiko yang relatif moderat karena pengelolaannya dilakukan oleh pihak profesional.
Namun, yang menarik, jumlah investor yang berinvestasi secara langsung di instrumen saham juga tidak kalah banyaknya, padahal instrumen ini tergolong sangat berisiko dan membutuhkan pemahaman investasi yang mumpuni.
Berdasarkan data terbaru Bursa Efek Indonesia, per 16 Februari 2021, jumlah investor saham sudah menembus 2 juta investor. Pertumbuhannya pada awal tahun ini lebih pesat dari reksa dana. Lantas, apa saja penyebab naiknya jumlah investor ini? Apa manfaatnya untuk pasar modal? Apa risiko yang perlu diwaspadai dengan fenomena ini?
Baca juga: Obligasi Global dan Prospek Arus Masuk Investor Asing 2021
Popularitas dan Kemudahan Akses
Banyak orang tampaknya baru menyadari bahwa investasi saham tidak sesulit yang dibayangkan. Kenaikan harga saham yang fantastis setelah jatuh sangat dalam pada tahun lalu juga menjadikan banyak kisah sukses untung besar investasi saham berseliweran di media sosial.
Di tengah resesi akibat pandemi banyak orang pun mengharapkan bisa mendapatkan alternatif sumber pendapatan yang mudah dan instan. Pasar saham seolah-olah menjanjikan hal itu. Apalagi, banyak saham-saham yang harganya naik gila-gilaan dan berkali-kali terkena auto reject atas (ARA).
Antusiasme atau euforia di pasar modal ini juga tampaknya tidak terlepas dari faktor eksposur konten investasi saham yang makin ramai di media sosial, baik kisah sukses maupun kegagalan. Alhasil, makin banyak orang penasaran dan ikut mencoba.
Di pasar reksa dana pun ceritanya tidak jauh berbeda. Investor tampaknya cukup terinformasi bahwa reksa dana menawarkan kinerja yang lebih stabil dan lebih aman ketimbang investasi langsung di saham yang lebih berisiko. Reksa dana menjadi medium yang tepat bagi investor pemula untuk belajar.
Ditambah lagi investasi di reksa dana kini makin mudah. Beberapa agen penjual reksa dana bahkan memungkinkan investornya untuk membeli reksa dana mulai dari nominal Rp10.000. Hal ini memungkinkan investor pemula untuk mencoba tanpa terlalu takut dibayangi risiko besar.
Ekosistem reksa dana pun kini makin berkembang. Tidak saja sekuritas atau perusahaan manajemen aset yang menjual reksa dana, tetapi kini meluas hingga ke perusahaan-perusahaan yang secara khusus menjadi agen penjual efek reksa dana (APERD).
Para agen ini terutama memanfaatkan aplikasi dan teknologi digital untuk menjangkau masyarakat seluas mungkin, misalnya Bareksa dan Bibit. Selain itu, kini perusahaan e-commerce seperti Tokopedia dan Bukalapak pun turut memasukkan reksa dana ke dalam daftar produk yang bisa dibeli di platform mereka.
Bahkan, perusahaan dompet digital seperti OVO dan LinkAja pun turut terlibat dalam ekosistem ini dan memungkinkan untuk menjadi metode pembayaran untuk pembelian efek reksa dana. Hal ini menjadikan barrier atau batasan masuk bagi pemula ke instrumen reksa dana makin rendah.
Tidak heran jika pertumbuhan jumlah investornya pun sangat pesat.
Baca juga: Investor Aktivis: Adakah di Indonesia?
Pengaruhnya ke Pasar Modal Indonesia
Kenaikan jumlah investor dan euforia investasi di pasar modal menyebabkan aktivitas transaksi pun naik drastis.
Sebagai gambaran, rata-rata transaksi harian di pasar modal selama beberapa tahun terakhir relatif selalu bertahan di bawah Rp10 triliun per hari. Tahun 2020 lalu, nilainya rata-rata Rp9,21 triliun per hari.
Namun, pada awal tahun ini, rata-rata nilai transaksi harian sudah mencapai Rp18,2 triliun, bahkan sempat mencapai lebih dari Rp20 triliun pada Januari 2021 lalu. Transaksi tertinggi pernah terjadi pada 14 Januari 2021 lalu, yakni menembus Rp28 triliun dalam sehari.
Jumlah ini pun sudah jauh melampaui target yang semula dipatok oleh BEI untuk tahun ini, yakni rata-rata hanya Rp8,8 triliun per hari. Namun, BEI belum mempertimbangkan untuk merevisi target itu. Adapun, dari sisi jumlah investor, BEI menargetkan dapat menembus 4,75 juta pada akhir tahun ini.
Bursa Efek Indonesia mencatat bahwa kontribusi perdagangan oleh investor ritel mencapai 69,5% pada akhir Januari 2021, padahal pada 2020 lalu kontribusi ritel pada total transaksi baru 48,4%. Semula, investor asing dominan menjadi penggerak pasar saham, tetapi kini investor ritel mengambil alih.
Alhasil, meskipun investor asing banyak melepas kepemilikan sahamnya di bursa domestik tahun lalu akibat pandemi, pasar saham Indonesia tetap meningkat lagi. Kini, kontribusi investor domestik, mencakup ritel dan korporasi, terhadap perdagangan di BEI sudah mencapai 81%, sedangkan asing hanya 19%.
Seiring dengan itu, pundi-pundi keuntungan yang diperoleh sekuritas dari fee transaksi pun makin gemuk.
Meningkatnya gairah di pasar modal Indonesia menjadikan BEI kini pasar modal nomor dua teraktif di Asia Tenggara. Hingga pertengahan Februari 2021, BEI mencatat nilai transaksi harian di pasar saham Indonesia hanya kalah dari Thailand, yakni US$1,33 miliar berbanding US$3,17 miliar.
Risiko Fenomena Euforia Investasi
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyadari bahwa peningkatan jumlah investor secara pesat dalam waktu singkat tidak melulu positif. Pasalnya, aktivitas investasi di pasar modal memiliki risiko yang tinggi dan dibutuhkan pemahaman yang memadai sebelum seseorang benar-benar terjun ke dalamnya.
Kenaikan pesat investor ritel di pasar saham memang sejalan dengan program pendalaman pasar yang sedang dilakukan OJK bersama otoritas pasar modal lainnya. Namun, perkembangan itu harus diikuti dengan meningkatnya pemahaman yang memadai tentang investasi, tidak semata-mata mengikuti tren.
Pasalnya, sudah sering terjadi euforia berlebihan di pasar saham berujung pada kejatuhan pasar yang dalam setelah terjadi bubble. Setelah itu, investor menjadi kapok dan enggan lagi berhubungan dengan investasi saham. Hal ini justru buruk untuk jangka panjang.
OJK bersama otoritas bursa lainnya, seperti BEI, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), Kliring Penjamin Efek Indonesia (KPEI), dan para sekuritas anggota bursa terus berupaya melakukan sosialisasi dan edukasi.
Namun, jika proses edukasi dan sosialisasi tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan investor, korban kegagalan investasi di pasar modal bisa terlanjur makin banyak. Tren yang salah dan terlanjur berkembang akhir-akhir ini antara lain menggunakan dana pinjaman untuk investasi saham.
Investasi saham seharusnya dilakukan dengan horizon investasi jangka panjang dengan tingkat keuntungan yang tak pasti, padahal dana pinjaman memiliki kewajiban yang harus dipenuhi dalam jangka pendek dengan bunga yang pasti.
Investasi saham pada prinsipnya adalah membeli suatu perusahaan. Aktivitas ini seharusnya dilandasi oleh upaya serius untuk memahami seluk beluk dari perusahaan yang hendak dibeli. Hal ini mensyaratkan kemampuan dasar untuk memahami laporan keuangan perusahaan.
Sayangnya, hal ini tidak mudah. Sebab, selain sekadar membaca laporan keuangan, seorang investor juga perlu jeli memahami dinamika perekonomian secara makro, tidak saja dalam negeri, tetapi juga secara global. Pasalnya, hal itu akan sangat menentukan kinerja keuangan perusahaan yang hendak dibeli sahamnya.
Tren yang kini terjadi lebih banyak tampaknya adalah pada aktivitas trading harian atau jangka pendek untuk memanfaatkan dinamika harga di pasar. Tingginya transaksi harian pun mengonfirmasi bahwa aktivitas pasar memang didominasi oleh investor yang melakukan jual beli secara cepat dan berulang-ulang.
Prinsip investor kawakan Lo Kheng Hong tampaknya menarik untuk jadi petuah, yakni jangan membeli kucing dalam karung. Artinya, jangan membeli perusahaan yang tidak kamu kenal seluk beluk bisnisnya. Hal ini mensyaratkan seorang investor untuk serius mempelajari perusahaan yang hendak dibeli.
Hal yang harus dipelajari antara lain historis kinerja keuangan emiten itu. Hal ini mencakup apakah labanya konsisten meningkat? Apakah rasio utangnya terhadap modalnya kecil? Apakah kasnya besar dengan arus kas yang positif? Bagaimana prospek sektoralnya? Bagaimana rekam jejak manajemennya? Dan masih banyak lagi.
Selain itu, investasi saham juga selayaknya kembali ke khittah-nya, yakni untuk membeli suatu perusahaan karena menilai prospek bisnis jangka panjangnya yang positif. Artinya, tujuan investasi saham adalah untuk menemukan perusahaan terbaik yang layak diinvestasikan dalam jangka panjang.
Tidak mudah untuk menemukan perusahaan yang tepat seperti itu. Hal ini mensyaratkan pencarian yang serius dan mendalam, sekaligus analisis rasio keuangan yang memadai. Bahkan dengan semua upaya ini pun, tidak ada yang mampu memastikan kinerja masa depan suatu perusahaan yang kini tampak bagus akan terjamin selalu bagus.
Dengan demikian, masuk ke pasar modal memang mudah, tetapi untuk sukses di pasar modal tidak pernah mudah.
Date: