Harga di Bawah IPO, Ini 10 Saham Anak BUMN yang Tiarap

Date:

[Waktu baca: 7 menit]

Sebanyak sepuluh saham anak usaha BUMN kini harganya di bawah harga saat penawaran umum perdana (IPO). Pandemi virus corona kian memperparah koreksi harga saham anak-anak BUMN tersebut.

Pada saat ini, terdapat sekitar 18 perusahaan yang dapat dikategorikan sebagai anak usaha BUMN, termasuk perusahaan yang dulunya merupakan BUMN namun berubah status setelah tergabung dalam holding BUMN.

Sekitar sepuluh dari 18 perusahaan yang harganya kini berada di bawah harga IPO tersebut melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia dalam kurun waktu 2008-2019.

Bagi investor yang membeli saham sepuluh perusahaan tersebut saat atau tidak lama setelah IPO dan masih memegangnya hingga kini berarti mengalami kerugian yang belum direalisasikan (unrealized loss).

Sebagian dari sepuluh saham tersebut mengalami koreksi 20 hingga 50an % sejak awal 2020 hingga awal Oktober 2020. Seperti diketahui, sentimen pandemi corona membuat banyak investor melepas saham sehingga membuat harga-harga saham di BEI berguguran cukup signifikan sejak Maret 2020. 

Prospek saham perusahaan tersebut ditentukan oleh sejumlah faktor di masa depan, salah satunya pemulihan dan perbaikan ekonomi Indonesia yang kini terkontraksi cukup dalam akibat pandemi virus corona. Sejumlah perusahaan mengalami kerugian pada kuartal II/2020.
 
Berikut ini saham-saham anak usaha BUMN yang harganya berada di bawah harga ketika pertama kali ditawarkan kepada publik:

1. ELSA

ELSA adalah kode saham untuk PT Elnusa Tbk., anak usaha perusahaan minyak dan gas milik negara, PT Pertamina (Persero). ELSA melakukan IPO pada Februari 2008 dengan harga Rp400.

ELSA yang bergerak di bidang pertambangan ini kini bergerak di level Rp200an. Sejak awal tahun hingga awal Oktober 2020, saham ELSA sudah terkoreksi lebih dari 30%.

Secara operasional, perusahaan ini membukukan laba sekitar Rp131 miliar pada semester I/2020 atau turun 16% dibandingkan dengan Rp151 miliar pada semester I/2019.

Dalam penjelasan yang diunggah di situs Bursa Efek Indonesia, manajemen ELSA memperkirakan penurunan pendapatan dan laba bersih pada 2020 sebesar kurang dari 25%. Manajemen menyatakan salah satu usaha untuk bertahan di tengah pandemi adalah belanja modal yang lebih selektif dan prioritas pada investasi yang mendukung pertumbuhan.

2. TUGU

TUGU adalah kode saham untuk PT Asuransi Tugu Pratama Tbk., anak perusahaan Pertamina lainnya. TUGU adalah salah satu pendatang baru di BEI yang IPO pada 2018.

Pada saat IPO, saham TUGU dilepas di harga Rp3.850 per lembar. Harga saham perusahaan asuransi umum ini berada di level Rp1.400an. Sejak awal tahun sampai awal Oktober 2020, harga TUGU telah terkoreksi lebih dari 50%.

Secara operasional, perusahaan ini membukukan keuntungan pada kuartal I/2020 namun membukukan kerugian pada kuartal II/2020. Industri asuransi umum adalah salah satu industri yang terkena dampak pandemi.

Dalam penjelasan yang disampaikan kepada BEI, manajemen Tugu Pratama menyatakan RBC atau risk based capital perusahaan berada di level 200%. Dengan demikian, RBC tersebut masih berada di atas ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebesar 120%.

3. WTON

WTON adalah kode saham untuk PT Wijaya Karya Beton Tbk., anak usaha perusahaan konstruksi milik negara PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. WTON adalah salah satu anak BUMN yang IPO lebih awal dibanding perusahaan lainnya.

Pada saat IPO pada 2014, harga WTON sebesar Rp590. Pada saat ini, harga WTON bergerak di level Rp230an. Sejak awal tahun hingga awal Oktober 2020, harga WTON telah terkoreksi lebih dari 40%.

Secara operasional, perusahaan ini membukukan keuntungan pada kuartal I/2020 namun membukukan kerugian pada kuartal II/2020. Sesuai namanya, perusahaan ini menjalankan kegiatan usaha di bidang industri beton.

Dalam penjelasan yang diunggah di situs BEI, manajemen WTON memperkirakan penurunan pendapatan dan laba bersih perusahaan kurang dari 25% pada 2020. Manajemen menyatakan salah satu strategi menjaga kelangsungan usaha di tengah pandemi adalah melakukan efisiensi biaya serta memaksimalkan penjualan dari kontrak-kontrak lama.

4. WEGE

WEGE adalah kode saham untuk PT Wijaya Karya Bangunan Gedung Tbk., anak usaha Wijaya Karya lainnya. Perusahaan ini melakukan IPO pada November 2017.

Pada saat IPO, harga saham perusahaan ini ditetapkan sebesar Rp290. Pada saat ini, harga saham perusahaan ini berada di level Rp170an. Sejak awal tahun hingga awal Oktober 2020, harga WEGE telah terkoreksi lebih dari 40%.

Secara operasional, perusahaan ini masih membukukan keuntungan pada kuartal I/2020 dan kuartal II/2020 kendati mengalami penurunan dibandingkan dengan kuartal II/2019.

Dalam penjelasan yang diunggah di situs BEI, manajemen WEGE memperkirakan penurunan pendapatan dan laba sebesar kurang dari 25% pada 2020. Manajemen menyatalah salah satu strategi untuk bertahan di tengah pandemi adalah melihat kersempatan untuk membangun fasilitas kesehatan seperti rumah sakit khusus covid-19.

5. WSBP

WSBP adalah kode saham untuk PT Waskita Beton Precast Tbk., anak usaha perusahaan konstruksi milik negara, PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Perusahaan ini melakukan IPO pada 2016.

IPO WSBP adalah salah satu IPO fenomenal karena mampu mengantongi dana segar hingga Rp5,16 triliun atau menjadi salah satu yang tertinggi dalam sejarah IPO di BEI. Pada saat IPO, harga WSBP dibanderol Rp490.

Pada saat ini, harga WSBP bergerak di level Rp140an. Sejak awal tahun hingga awal Oktober 2020, harga saham WSBP telah terkoreksi lebih dari 50%. Secara operasional, Waskita Beton mengalami kerugian pada kuartal II/2020 setelah membukukan keuntungan pada kuartal I/2020.

Dalam penjelasan yang diunggah di situs BEI, manajemen Waskita Beton menyatakan salah satu strategi untuk mempertahankan kelangsungan usaha adalah melakukan efisiensi biaya pada berbagai aspek (produksi, operasional kantor, sumber daya manusia) hingga melakukan pembatasan investasi belanja modal untuk dialihkan menjadi modal kerja.

6. GMFI

GMFI adalah kode saham untuk PT Garuda Maintenance Facility Tbk., anak usaha maskapai penerbangan milik negara PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Perusahaan ini melakukan IPO pada 2017.

Pada saat IPO, harga saham GMFI ditetapkan sebesar Rp400 per lembar. Pada saat ini, harga saham perusahaan ini bergerak di level Rp70an per lembar. Seja awal tahun hingga awal Oktober 2020, saham GMFI terkoreksi lebih dari 50%.

GMFI bergerak di bidang usaha perawatan pesawatan. Seperti diketahui, industri penerbangan adalah industri yang sangat terdampak pandemi karena orang-orang mengurangi frekuensi berpergian dengan pesawat.

Dalam penjelasan yang diunggah di situs BEI, manajemen GMFI memperkirakan pendapatan usaha akan menurun sebesar 25%-50% dan laba bersih akan turun lebih dari 75% karena pandemi.

Dalam kondisi ini, salah satu strategi manajemen untuk mempertahankan kelangsungan usaha adalah melakukan diversifikasi usaha dengan memprioritaskan segmen bisnis dengan margin dan likuiditas yang lebih baik.

7. PPRE

PPRE adalah kode saham untuk PT PP Presisi Tbk., anak usaha perusahaan konstruksi milik negara, PT PP (Persero) Tbk. Perusahaan ini melakukan IPO pada 2017.

Pada saat IPO, harga saham PPRE ditetapkan sebesar Rp430 per lembar. Pada saat ini, harga saham PPRE bergerak di level Rp140an. Sejak awal tahun hingga awal Oktober 2020, harga saham PPRE telah terkoreksi lebih dari 30%.

Perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi dan sewa alat berat itu mengalami penurunan laba bersih yang cukup sigifikan pada kuartal I/2020 dan kuartal II/2020.

Dalam penjelasan yang diunggah di situs BEI, manajemen PPRE memperkirakan pendapatan akan turun sebesar 25%-50% dan laba bersih turun sekitar 51%-75%. Salah satu strategi perusahaan dalam mempertahankan kelangsungan usahanya adalah mengajukan relaksasi fasilitas non-cash loan dan cash loan yang didapat dari tenor 4 bulan menjadi 12 bulan.

8. PPRO

PPRO adalah kode saham untuk PT PP Properti Tbk., anak usaha PT PP yang lain. Perusahaan ini melakukan IPO pada 2015. Pada saat IPO, harga PPRO ditetapkan sebesar Rp185. Setahun kemudian, peningkatan harga PPRO sangat fantastis hingga menembus level Rp1.300-Rp1.400 per lembar. 

Namun, beberapa tahun kemudian, harga PPRO terus mengalami koreksi hingga kini terjerembab di level Rp50 per lembar atau batas bawah harga saham di BEI. Dalam tiga tahun terakhir, saham PPRO telah turun harganya lebih dari 75%.

Secara operasional, PPRO masih membukukan keuntungan pada kuartal I/2020 dan kuartal II/2020 kendati mengalami penurunan dibandingkan dengan kuartal I/2019 dan kuartal II/2019.

Dalam penjelasan yang diunggah di situs BEI, manajemen PPRO memperkirakan pendapatan akan turun kurang dari 25% dan laba bersih turun sebesar 25%-50% pada 2020. Salah satu strategi perusahaan dalam mempertahankan kelangsungan usaha adalah efisiensi biaya usaha dan biaya operasional.

9. IPCM

IPCM adalah kode saham untuk PT Jasa Armada Indonesia Tbk., anak usaha PT Pelabuhan Indonesia II (Persero). Perusahaan ini melakukan IPO pada 2017 dengan harga Rp380.

Pada saat ini, harga saham IPCM bergerak di level Rp220an. Tidak seperti saham anak BUMN lain yang terkoreksi sejak awal tahun, harga saham IPCM telah meningkat lebih dari 25% pada Oktober 2020 dibandingkan dengan awal 2020.

Secara operasional, IPCM membukukan keuntungan sebesar Rp22 miliar pada kuartal II/2020 atau meningkat dibandingkan dengan Rp17 miliar pada kuartal II/2019.

10. IPCC

IPCC adalah kode saham untuk  PT Indonesia Kendaraan Terminal (Tbk), anak usaha Pelabuhan Indonesia/Pelindo II lainnya. Perusahaan ini melakukan IPO pada 2018 dengan harga saham Rp1.640 per lembar.

Pada saat ini, harga saham IPCC bergerak di level Rp380an. Sejak awal tahun hingga awal Oktober 2020, harga saham IPCC telah terkoreksi lebih dari 40%.

Secara operasional, IPCC membukukan kerugian pada kuartal II/2020 setelah membukukan keuntungan pada kuartal I/2020. Sesuai namanya, IPCC adalah perusahaan yang bergerak di bidang terminal kendaraan di pelabuhan.

Dalam penjelasan yang diunggah di situs BEI, manajemen perusahaan menyatakan penurunan pengantaran logistik kendaraan ke IPCC berpengaruh terhadap jumlah kendaraan yang ditempatkan di IPCC sehingga mempengaruhi pendapatan.