Berakhirnya Pamor Cemerlang Saham Kimia Farma (KAEF)

Date:

Awal tahun ini publik sempat dikejutkan oleh viralnya aksi investor ritel yang mencoba menjual sahamnya melalui marketplace. Salah satu saham yang dijual kala itu adalah saham emiten BUMN farmasi PT Kimia Farma Tbk. (KAEF).

Penjual yang bernama Ringga Undil dan berdomisili di Sleman, Yogyakarta menawarkan 500 lot saham KAEF dengan harga Rp5.200. Harga itu sedikit di bawah harga pasar KAEF saat itu yang di level Rp5.275.

Keluhan terkait saham KAEF juga berseliweran di media sosial. Banyak yang kecewa karena harga saham KAEF terus turun, bahkan hingga terkena auto rejection bawah (ARB), padahal mereka sudah terlanjur beli di harga tinggi. Beberapa bahkan membelinya dengan uang pinjaman.

Saham KAEF memang fenomenal menjelang akhir tahun lalu hingga awal tahun ini. Semula, saham KAEF sempat turun hingga ke level di bawah Rp1.000 pada awal pandemi terkonfirmasi masuk ke Indonesia, tepatnya di level Rp580 pada 28 Februari 2020.

Namun, tidak lama setelahnya saham KAEF segera melejit hingga ke level Rp1.100 hingga Rp1.300 sepanjang April hingga pertengahan Juli 2020. Saham KAEF lalu naik hingga terkena auto rejection atas (ARA) selama 3 hari berturut-turut pada 21-23 Juli 2020 hingga ke level Rp2.670.

Memasuki bulan Agustus 2020, saham KAEF stabil di atas level Rp3.000-an.  Lonjakan pesat lalu terjadi pada bulan Desember 2020. Saham KAEF perlahan mulai mendaki ke level Rp4.800-an. Saat itu, euforia investor terhadap saham KAEF mulai terjadi. Banyak investor mulai membelinya.

Lonjakan pesat saham KAEF berlanjut pada Januari 2021. Dalam waktu singkat, harga saham KAEF naik dari level Rp4.250 pada 30 Desember 2020 menjadi Rp6.975 pada 12 Januari 2021. Saat itulah makin banyak investor ritel yang tergoda untuk ikut memborong KAEF.

Sentimen utama yang mendorong saham KAEF adalah fakta bahwa selama Covid-19 permintaan terhadap obat-obatan meningkat, serta adanya rencana vaksinasi Covid-19 yang melibatkan BUMN-BUMN farmasi.

Namun, sayangnya setelah mencapai level tertinggi, saham KAEF merosot tajam selama beberapa hari hingga terkenal ARB. Saat itulah iklan obral saham KAEF muncul di OLX. Saham KAEF kembali ke level Rp3.100-an pada akhir Januari 2021.

Sejak saat itu, saham KAEF tak pernah lagi kembali ke level Rp4.000-an. Kini, saham KAEF ditransaksikan di sekitar Rp2.300-an. Sentimen vaksinasi dan peningkatan permintaan obat-obatan selama pandemi pada kenyataannya tidak berdampak signifikan bagi KAEF.

 

Kinerja Keuangan Lesu KAEF

Kimia Farma hingga kini belum merilis laporan keuangannya untuk periode 30 Juni 2021. Perseroan kini sedang dalam proses penerbitan saham baru melalui hak memesan efek terlebih dahulu atau rights issue, sehingga laporan keuangannya perlu melalui proses audit.

Oleh karena itu, laporan keuangan terakhir KAEF yang dapat diakses adalan per kuartal pertama tahun ini. Jika mengacu pada kinerja keuangan tersebut, bisnis KAEF memang tampak tidak begitu cemerlang pada awal tahun ini.

Berikut ini kinerja keuangan KAEF pada kuartal pertama tahun ini:

Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa dari tahun ke tahun, kinerja pendapatan KAEF selalu meningkat. Namun, pada kuartal pertama tahun ini pendapatan KAEF justru turun. Kondisi yang sama juga terjadi dari sisi laba.

Kondisi pandemi tampaknya bukannya meningkatkan keuntungan KAEF sebagai emiten farmasi, justru malah menekannya. Penjualan tidak saja turun untuk penjualan lokal, tetapi juga penjualan ke luar negeri.

Di samping itu, dalam dua tahun terakhir, kinerja KAEF juga tidak lagi sebaik biasanya. Setelah labanya memuncak pada 2018, kinerja laba KAEF justru turun drastis. Pada 2019 lalu, KAEF merugi lantaran naiknya beban keuangan kala itu, terutama karena naiknya utang bank perseroan.

Sepanjang 2019, terjadi lonjakan besar pada aset KAEF. Menurut penjelasan manajemen KAEF saat itu, lonjakan terjadi karena adanya perubahan pada metode penilaian aset tetap tanah dari metode harga perolehan menjadi metode fair value.

Sementara itu, khusus pada komponen utang atau beban/liabilitas, perseroan mencatatkan tambahan utang bank sebesar Rp2,11 triliun atau naik 75,85% menjadi Rp4,89 triliun hanya pada paruh pertama saja. Dana itu terutama untuk dukungan operasional dan akuisisi atas PT Phapros Tbk. (PEHA).

Nilai akuisisi atas 56,77% saham PEHA kala itu mencapai Rp1,36 triliun. Akuisisi dilakukan dari PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) atau RNI. Dengan demikian, kinerja keuangan PEHA kini dikonsolidasikan ke dalam KAEF. Namun, hasilnya justru belum terlihat.

Adapun, pada kuartal pertama tahun ini, PEHA memberikan kontribusi laba sebesar Rp7,1 miliar, berbalik dari rugi senilai Rp13,8 miliar pada kuartal I/2020. Dengan kata lain, turunnya laba KAEF pada kuartal I/2021 ini juga bukan karena tekanan kinerja PEHA, melainkan karena bisnis KAEF sendiri.

Berikut ini perkembangan neraca keuangan KAEF:

Dengan aset yang kini lebih besar, seharusnya kapasitas bisnis KAEF pun ikut meningkat. Namun, sayangnya harapan tersebut belum terwujud. Laba yang turun di saat aset meningkat justru menyebabkan rasio-rasio keuangan KAEF kini melemah.

Alhasil, wajar saja jika akhirnya saham KAEF kurang begitu diapresiasi lagi oleh investor. Kondisi pandemi yang seharusnya menjadi berkah bagi emiten farmasi, justru gagal dioptimalkan perseroan.

Sebagai pembanding, rekan KAEF yakni PT Indofarma Tbk. (INAF) justru mampu menaikkan pendapatannya hingga tumbuh 152% year-on-year (YoY) pada kuartal I/2021 menjadi Rp373 miliar. INAF juga berhasil membalikkan rugi Rp21,4 miliar menjadi laba Rp1,8 miliar.

Emiten farmasi swasta PT Kalbe Farma Tbk. juga berhasil meningkatkan kinerjanya pada periode yang sama. Pendapatannya naik 4% menjadi Rp6 triliun, sedangkan laba bersihnya naik 7% menjadi Rp716 miliar.

Dengan demikian, pelemahan bisnis KAEF justru terlihat seperti anomali.

 

Strategi Lepas Dari Utang

KAEF baru saja mendapatkan restu pemegang saham untuk melakukan rights issue pada 18 Agustus 2021 lalu. Perseroan akan melepas 2,78 miliar saham baru seri B dengan nilai nominal Rp 100 per saham. Perseroan belum mengumumkan harga pelaksanaan rights issue tersebut.

Dana yang diperoleh akan digunakan untuk menutup pinjaman yang jatuh tempo dan tambahan modal kerja. Selain itu, dana itu juga bakal digunakan untuk mendukung upaya transformasi digital KAEF guna meningkatkan daya saing di era digital saat ini.

Pada Agustus 2020, KAEF telah meluncurkan aplikasi Kimia Farma Mobile yang memungkinkan pelanggan untuk dapat memperoleh layanan kesehatan hanya dengan menggunakan smartphone. KAEF berencana melakukan digitalisasi agar industri farmasi bisa menghemat biaya operasional.

Perseroan berupaya memperkuat sisi operasionalnya melalui transformasi digital agar proses dari hulu ke hilir, atau dari pabrik, distribusi, hingga ritel farmasi dapat terhubung dalam sistem teknologi informasi yang mulus. Ini tentu bakal menghemat banyak biaya operasional di masa depan.

Selain itu, langkah rights issue ini merupakan bagian dari penawaran obligasi wajib konversi (OWK). Skema ini memungkinkan KAEF untuk memperbaiki struktur leverage atau daya ungkit perusahaan dalam memaksimalkan asetnya untuk meningkatkan keuntungan.

Salah satu syarat OWK adalah kupon bunga yang rendah atau bahkan tidak ada kupon sama sekali. Hal ini bakal mengurangi beban utang perseroan sehingga tekanan laba yang selama ini terjadi dapat berkurang.

Selain itu, saat jatuh tempo, perseroan tidak memiliki kewajiban untuk melunasi utang tersebut, sebab obligasi akan otomatis dikonversikan menjadi saham.

Bagi investor, OWK menyediakan pengaman risiko bagi mereka. Mereka dapat mempertahankan OWK dalam bentuk obligasi jika menilai ada risiko terhadap perusahaan yang menyebabkan harga sahamnya turun. Dengan begitu, mereka tetap mendapatkan penghasilan rutin dari kupon.

Namun, jika mereka menilai kondisi saham perseroan di pasar sedang menarik, mereka dapat mengambil haknya untuk melakukan konversi menjadi saham. Jadi, ada ruang pertimbangan bagi investor ketimbang langsung rights issue dalam bentuk saham.

Kabarnya, dana yang diincar KAEF dalam aksi korporasi ini maksimal dapat mencapai Rp6 triliun. Sebagai gambaran, jika harga pelaksanaan rights issue itu sama seperti harga pasar KAEF saat ini, katakanlah R p2.300 per saham, maka 2,78 miliar saham baru akan setara dengan Rp 6,4 triliun.

Dana jumbo ini tentu cukup untuk mengurangi beban utang bank perseroan secara cukup signifikan. Jika rencana KAEF berjalan lancar, langkah transformasi digital serta restrukturisasi keuangannya bakal mengembalikan kinerja KAEF seperti yang terjadi pada 2018 lalu.

Tahun ini, KAEF menargetkan bisa membukukan pendapatan Rp 11,27 triliun. Jika dibandingkan dengan pendapatan tahun lalu yang sebesar Rp10 triliun, maka target tersebut setara dengan kenaikan 12,7%.

Untuk mewujudkan hal tersebut, strategi digitalisasi menjadi ujung tombaknya. Langkah ini diharapkan dapat menciptakan efisiensi dan meningkatkan produktivitas melalui pengadaan yang terpusat, layanan kesehatan yang terintegrasi, dan optimalisasi fasilitas produksi.

Sebagai fondasi untuk mewujudkan tujuan tersebut, perseroan akan bertumpu pada empat pilar, yaitu riset dan pengembangan, otomatisasi dan teknologi, sumber daya manusia, dan tata kelola perusahaan yang baik.

Di samping itu, perseroan juga masih mengkaji kemungkinan untuk membawa sejumlah anak usahanya ke lantai bursa melalui aksi initial public offering (IPO). Namun, rencana itu belum cukup konkret. Adapun, anak usaha yang prospektif untuk IPO adalah PT Kimia Farma Apotek.

Selain itu, perseroan juga masih bisa mengoptimalkan keuntungan dari distribusi vaksin serta dari klinik diagnostika, terutama terkait Covid-19. Juli 2021 lalu sempat ada rencana untuk mulai mendistribusikan vaksin mandiri berbayar, tetapi hal itu diprotes keras oleh publik.

Rencana itu sempat menjadi sentimen positif yang menaikkan harga saham KAEF. Namun, akhirnya rencana itu ditunda sembari dilakukan upaya sosialisasi terlebih dahulu. Jadi, ceruk pendapatan tersebut belum bisa diandalkan oleh KAEF, setidaknya dalam waktu dekat ini.

 

Prospek KAEF Masih Menjanjikan?

Dengan kinerjanya yang lesu pada kuartal pertama tahun ini, laju peningkatan saham KAEF selama ini menjadi kurang berdasar. Alhasil, saham KAEF terlihat cukup mahal. Valuasi price to earning ratio (PER)  KAEF kini ada di level 191,08 kali. Ini jauh lebih tinggi ketimbang KLBF yang hanya 22,23 kali.

Meskipun demikian, jika rencana restrukturisasi dan transformasinya berjalan mulus, tentu masih ada harapan kinerja keuangan KAEF akan kembali membaik seperti kondisi 2018. Selain itu, kita belum mendapatkan rilis kinerja keuangan KAEF untuk periode 30 Juni 2021. Bisa jadi sudah ada perbaikan signifikan.

Sebagai emiten BUMN farmasi terbesar, KAEF tentu bakal mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah. Dengan kata lain, prospek jangka panjangnya cukup menjanjikan. Hanya saja, ketidakmampuannya mengoptimalkan keuntungan di momen pandemi tentu tidak sesuai harapan.

Dengan valuasinya yang kini sudah terlalu tinggi, adanya kenaikan harga saham KAEF di masa mendatang justru hanya akan menjadikan valuasinya bertambah mahal dan tidak lagi wajar. Oleh karena itu, investor perlu tetap hati-hati terhadap sentimen yang mungkin bakal menerbangkan lagi sahamnya.