Beda Laju Saham dan Laba Bank Digital

Date:

Kinerja emiten perbankan digital tak henti-hentinya menguat. Kendati laju penguatannya tidak lagi sekencang beberapa pekan lalu, level harga bank-bank ini kini masih sangat tinggi. Kelompok emiten perbankan digital ini menjadi incaran banyak investor di saat emiten-emiten besar justru ditinggalkan.

Era pandemi telah mendorong percepatan adopsi teknologi digital di tengah masyarakat. Momentum ini menjadikan berbagai layanan digital meningkat pesat permintaannya. Momentum yang sama turut berpengaruh terhadap industri perbankan nasional.

Tren ini seketika menjadikan banyak bank yang memilih bertransformasi menjadi bank digital. Teknologi digital seolah menjanjikan masa depan yang cerah bagi bank-bank ini dan sekaligus solusi untuk mengatasi laju pertumbuhan bisnis mereka yang lambat selama ini.

Menariknya, tren peralihan dari bank konvensional ke digital ini lebih banyak terjadi di kalangan bank kecil, terutama yang modal intinya masih di bawah Rp3 triliun. Meskipun demikian, sebenarnya ada pula bank-bank kelas menengah dan besar yang serius mengembangan layanan digital ini.

Saat ini, setidaknya ada 10 bank yang menyebut dirinya sebagai bank digital dan kini sudah melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai perusahaan terbuka. Sepanjang tahun berjalan hingga sesi pertama perdagangan, Jumat (6 Agustus 2021), saham mereka sudah naik sangat pesat.

Berikut ini daftar emiten tersebut beserta kenaikan harga sahamnya secara year-to-date (YtD):

Di luar kesepuluh bank tersebut, peta persaingan di industri perbankan digital juga diramaikan oleh beberapa bank nonemiten yang juga serius bertransformasi menjadi bank digital. Mereka adalah Bank Digital BCA, Bank KEB Hana, Digibank dari BDS, dan TMRW dari Bank UOB.

Selain itu, jangan dilupakan bahwa bank-bank besar pun tidak ketinggalan dalam mengembangan layanan digital mereka. Hampir semua bank besar sudah memiliki layanan digital yang unggul, bahkan lebih maju ketimbang yang ditawarkan bank-bank kecil yang baru belajar menjadi digital itu.

Bank Mandiri memiliki Livin’ by Mandiri dan BNI memiliki BNI Mobile Banking. BRI bahkan memiliki ekosistem digital yang lebih luas lagi, mencakup BRIMo, BRISpot, BRIApi, BRISmart Billing, Brimola, StroBERI, pasar.id, dan agen laku pandai Brilink  yang menghadirkan layanan digital BRI ke pelosok-pelosok.

Selain itu, jangan lupa bahwa BCA Digital adalah inisiatif besar induknya, yakni BCA, untuk mengembangkan layanan digital mereka secara terpisah, sembari tetap memantapkan posisi BCA sendiri di peta persaingan perbankan konvensional.

Jelas sekali, adopsi digital tidak lantas akan memuluskan jalan para bank kecil untuk menjadi lebih besar. Digital bukan solusi instan yang bakal membawa mereka keluar dari jerat kapasitas sebagai bank kecil, sebab persaingan di industri ini pun kini mendadak menjadi makin ketat.

Meskipun demikian, hal yang menarik adalah tingkat inklusi dan literasi keuangan Indonesia masih sangat rendah. Artinya, masih ada potensi pasar yang sangat besar yang bisa dijangkau oleh layanan perbankan.

Otoritas Jasa Keuangan

Selama ini, bisa jadi kondisi geografis menjadi penghalang utama masyarakat untuk menjangkau layanan perbankan. Bank pun terhalang dari sisi permodalan untuk mendirikan kantor cabang di berbagai wilayah Indonesia yang luas.

Kini, dengan teknologi digital, kendala tersebut hilang. Pemerintah juga memiliki rencana serius untuk mengembangkan jaringan internet hingga ke pelosok-pelosok. Dengan demikian, peluang bagi bank untuk menjangkau pasar yang selama ini belum tergarap ini pun menjadi besar.

Dengan demikian, kendati persaingannya berat, kue yang diperebutkan kini makin besar, sehingga peluang pertumbuhan bagi bank-bank ini tetap saja sangat tinggi.

Lagi pula, selama ini makin jamak terdengar bahwa metode untuk mengukur valuasi perusahaan digital berbeda dibandingkan dengan perusahaan konvensional. Alhasil, hal ini seolah-olah melegitimasi kenaikan harga emiten bank-bank digital, meskipun secara fundamental kondisi terkini mereka sangat tidak menarik.

 

Kinerja Terbatas di Paruh Pertama 2021

Dari antara 10 emiten bank digital yang ada di BEI, hingga kini baru lima emiten yang telah merilis laporan keuangannya untuk periode 30 Juni 2021 atau semester I/2021. Mereka adalah ARTO, BACA, BANK, BBHI, dan BTPN.

Di antara kelima bank ini, sebenarnya hanya BTPN yang sudah cukup matang. Bank ini juga terus berkembang hingga kini akhirnya mulai masuk ke jajaran bank terbesar Tanah Air, yakni bank dengan modal inti di atas Rp30 miliar atau Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) IV.

Lagi pula, sebelum perbankan digital setenar sekarang di Indonesia, BTPN dengan Jenius sudah lebih dahulu menjajaki pasar ini. Jenius diluncurkan tepatnya pada 11 Agustus 2016, sehingga kini sudah berusia 5 tahun.

Langkah besar BTPN mengembangkan Jenius ini tidak terlepas dari tangan dingin Jerry Ng yang kala itu menjabat sebagai direktur utama. Jerry Ng ini pulalah yang mengakuisisi PT Bank Artos Tbk. dan mengubahnya menjadi Bank Jago serta membawanya masuk ke dalam ekosistem Gojek.

Berbeda dibandingkan dengan Jenius, Bank Jago akan sepenuhnya mengandalkan teknologi komputasi awan (cloud computing). Selain itu, Bank Jago juga akan mengembangkan bisnisnya melalui strategi kolaborasi dengan ekosistem yang sudah berkembang, bukannya secara organik seperti strategi bank pada umumnya.

Mari kita perhatikan kinerja kelima bank digital yang telah merilis laporan keuangannya untuk periode semester I/2021. Berikut ini kinerja neraca keuangan mereka:

Aset sejumlah bank digital ini tumbuh cukup tinggi pada awal tahun ini, terutama karena adanya aksi penyuntikan modal melalui rights issue. Namun, dari sisi kinerja kredit yang merupakan bisnis utama perbankan, bank-bank digital ini justru masih lesu.

Peningkatan tertinggi dicapai oleh ARTO, sedangkan BTPN terkoreksi dalam level yang cukup wajar, sebab secara umum kredit industri perbankan memang telah terkoreksi tipis akibat pandemi. Namun, pada tiga bank lainnya, tingkat penurunan sangat dalam.

Sementara itu, dari sisi simpanan nasabah atau dana pihak ketiga (DPK), kinerjanya masih cukup sehat.

Secara umum, kinerja ARTO memang paling mencolok di antara yang lain dari sisi pertumbuhan. Bank ini memang terlihat menjadi bank digital yang paling menjanjikan. Sebab, selain didukung oleh Jerry Ng yang memang berpengalaman mengembangan bank digital, juga didukung oleh ekosistem besar Gojek.

Sementara itu, kinerja paling payah dibukukan oleh BANK atau Bank Aladin Syariah. Emiten ini baru listing di BEI pada 1 Februari 2021 lalu dengan harga Rp103. Kini harganya sudah di level Rp3.330, menunjukkan peningkatan paling tinggi di antara bank-bank digital lain, yakni 3.133% YtD.

Namun, dari sisi kinerja keuangan, bisnis BANK boleh dikatakan sama sekali belum berjalan. Pembiayaan yang disalurkannya atau piutang murabahah pada paruh pertama tahun ini hanya Rp29 juta, itu pun turun dibanding akhir 2020 lalu yang senilai Rp54 juta. Sementara itu, simpanan dari nasabah bahkan nihil.

Seluruh aset yang dimilikinya bukannya disalurkan kepada debitur, justru ditempatkan pada berbagai instrumen keuangan, seperti giro pada Bank Indonesia dan bank lain, penempatan di Bank Indonesia, serta investasi di surat berharga.

Mari kita beralih pada kinerja pendapatan dan laba mereka. Berikut ini capaian bank-bank digital tersebut:

Pada data tersebut, terlihat bahwa dua bank digital, yakni ARTO dan BANK mencatatkan kerugian, sedangkan dua bank lainnya yakni BACA dan BBHI mengalami penurunan laba. Hanya BTPN yang berhasil mencetak pertumbuhan laba dengan cukup tinggi pada paruh pertama tahun ini.

Selain itu, perlu dicatat bahwa tingkat laba yang dibukukan oleh emiten-emiten bank digital ini masih sangat rendah, tidak sebanding dengan kinerja sahamnya yang naik sangat pesat.

Ironisnya, justru BTPN yang labanya tumbuh tinggi menjadi satu-satunya bank di antara kelompok bank digital ini yang harga sahamnya terkoreksi sepanjang tahun ini.

Meskipun demikian, jika diperhatikan tingkat pertumbuhan pendapatan bunga bersih dari beberapa bank digital ini memang cukup tinggi. Ini menjadi pertanda yang baik bahwa kinerja mereka memiliki potensi untuk bertumbuh lebih besar di masa mendatang.

Namun, untuk sampai pada kinerja yang positif, tampaknya masih butuh waktu lebih panjang. Laju harga sahamnya saat ini tampaknya sudah jauh lebih cepat dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan fundamentalnya.

Mungkin memang masih terlalu dini untuk menghakimi kinerja bank-bank digital ini. Bagaimanapun, proses transformasi mereka saat ini baru dimulai. Oleh karena itu, sangat wajar jika beban mereka cukup tinggi, terutama untuk pengembangan teknologi digital mereka.

Meskipun mulai hangat dibicarakan, tidak otomatis masyarakat segera berbondong-bondong mengalihkan tabungan mereka ke bank-bank digital ini. Pada akhirnya, bank-bank digital ini pun masih harus berjuang untuk mengakuisisi nasabah baru.

Tidak cukup bagi mereka hanya dengan menjual nama sebagai bank digital. Mereka masih harus membuktikan keandalan teknologi mereka serta keamanan sistem mereka. Beberapa kasus pembobolan rekening yang terjadi di Jenius belum lama ini seperti merusak citra bank ini.

Bukan tidak mungkin hal yang sama bakal terjadi di bank-bank digital lain. Bahkan, bank-bank terbesar yang sudah matang dari sisi infrastruktur perbankan pun tidak luput dari cela kejahatan perbankan. Apalagi, teknologi digital saat ini masih terkenal sangat rentan terhadap kejahatan siber.

Pada akhirnya, kita tentu berharap bank-bank digital ini dapat benar-benar berkembang optimal dan berkontribusi bagi kemajuan negara. Namun, bagi investor di saham bank-bank ini, sebaiknya tetap berhati-hati terhadap kemungkinan pembalikan arah pasar.