Bayang-Bayang Gagal Bayar Surat Utang
Belum lama, publik digelisahkan oleh berita gagal bayar surat utang yang datang dari beberapa perusahaan. Sepanjang tahun ini saja, sudah ada empat perusahaan yang gagal membayar bunga dan pokok surat utangnya secara tepat waktu.
Keempat perusahaan tersebut yakni PT Tridomain Performance Materials Tbk (TDPM), PT Crystal Cakrawala Indah, PT Rekapastika Asri, dan PT Oligo Infrastruktur Indonesia.
Ancaman ini jelas nyata, bukan tidak mungkin saat ini ada sejumlah perusahaan sedang antre untuk masuk dalam list perusahaan yang gagal bayar surat utang atau pokok utang yang jatuh tempo. Biang keladinya sudah hampir pasti disematkan kepada pagebluk Covid-19.
Surat utang yang gagal dibayarkan oleh keempat perusahaan di atas adalah jenis medium term notes (MTN). Jenis surat utang ini selama beberapa tahun belakangan memang menjadi sorotan, imbas banyaknya kasus gagal bayar.
MTN adalah jenis surat utang yang diterbitkan tanpa melalui proses penawaran umum, seperti yang wajib terjadi pada obligasi atau sukuk. Saat menerbitkan MTN, biasanya korporasi sudah memiliki sejumlah mitra strategis yang telah didekati dan menyatakan siap untuk membeli MTN tersebut.
Sebelumnya, MTN dapat diterbitkan dengan bebas, tanpa harus dilaporkan atau didaftarkan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain itu, MTN juga tidak wajib melewati proses pemeringkatan melalui lembaga pemeringkat seperti PT Pemeringkat Efek Indonesia atau Pefindo dan PT Fitch Ratings Indonesia.
Hal ini menjadikan kualitas MTN sangat sulit diprediksi. Banyak penerbit MTN berasal dari kalangan perusahaan tertutup sehingga sulit mengakses kinerja keuangan mereka. Transaksi MTN pun sepenuhnya disandarkan pada kepercayaan antara pihak penerbit MTN dengan pemberi pinjaman.
Tidak mengherankan jika akhirnya banyak MTN yang gagal bayar, sebab dua pengaman utama, yakni pengawasan OJK dan pemeringkatan tidak ada. Kondisi ini akhirnya mendorong OJK mengambil langkah tegas sehingga mewajibkan penerbit MTN untuk mendaftarkan MTN ke OJK dan melalui proses pemeringkatan.
Hal itu telah diatur dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 30/POJK.04/2019 tentang Penerbitan Efek Bersifat Utang dan Atau Sukuk yang Dilakukan Tanpa Melalui Penawaran Umum (EBUS). Peraturan ini ditetapkan pada November 2019.
Sejak saat itu, sejatinya penerbitan MTN telah jauh berkurang sebab MTN kini tidak lagi dipandang sebagai instrumen yang mudah diterbitkan. Korporasi yang selama ini mengandalkan MTN untuk menghindari kewajiban pendaftaran dan pemeringkatan akhirnya tidak bisa lagi bermanuver.
Namun, regulasi ini tidak berlaku surut. Artinya, ketentuan ini hanya berlaku untuk emisi MTN baru setelah terbitnya regulasi itu, bukan terhadap MTN yang sudah diterbitkan di tahun-tahun sebelumnya. Alhasil, masih ada MTN lama yang tidak diperingkat dan akhirnya gagal bayar.
Dari antara empat MTN yang gagal bayar di atas, hanya satu yang telah diperingkat, yakni milik PT Tridomain Performance Materials Tbk (TDPM). Ini adalah perusahaan terbuka, sehingga tidak mengherankan jika perusahaan ini sejak awal menempuh proses pemeringkatan untuk MTN mereka.
Akibat gagal bayar ini, peringkat TDPM pun langsung turun dari yang awalnya idA- dari Pefindo menjadi idCC. Artinya, MTN II Tahun 2018 yang diterbitkan TDPM ini langsung anjlok dari status layak investasi menjadi tidak layak investasi.
Sebelum terlalu jauh, perlu ditegaskan bahwa pendaftaran ke OJK maupun pemeringkatan tidak menjadi jaminan bahwa instrumen surat utang tertentu menjadi bebas risiko.
Artinya, kendati MTN tertentu tidak didaftarkan di OJK dan tidak diperingkat, tidak lantas juga berarti instrumen itu sangat tinggi risikonya. Sebaliknya, meskipun telah terdaftar di OJK dan diperingkat, tetap ada peluang surat utang tertentu untuk mengalami gagal bayar.
Hanya saja, dengan adanya pendaftaran ke OJK dan pemeringkatan, perusahaan menjadi lebih transparan dan ada patokan yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas surat utangnya. Selain itu, instrumen ini menjadi lebih terawasi oleh OJK. Ini tentu memberikan rasa aman lebih besar bagi pemberi pinjaman.
Tingkat Gagal Bayar
Kondisi pandemi memang meningkatkan kekhawatiran terhadap potensi gagal bayar surat utang korporasi. Namun, cerita gagal bayar surat utang sebenarnya adalah cerita rutin setiap tahun. Data Pefindo justru menunjukkan tingkat gagal bayar pada periode pandemi bukanlah yang terburuk.
Perhatikan data berikut ini:
Dari data tersebut, terungkap bahwa dari tahun ke tahun tinggal gagal bayar atau default rate di pasar surat utang relatif terjaga di kisaran kurang dari 1,50%. Ini kurang lebih dapat dibandingkan seperti tingkat non-performing loan (NPL) pada kredit perbankan.
Hasilnya diperoleh dari membandingkan antara nilai instrumen yang gagal bayar dengan total nilai beredar atau surat utang aktif yang ada di pasar (outstanding).
Tingkat gagal bayar terbesar selama ini tampaknya berasal dari kalangan korporasi sektor riil yang bahkan sempat mencapai 3,74% pada 2012, sedangkan sektor finansial terpantau sangat rendah atau kurang dari 0,5%. Bahkan, gagal bayar di sektor finansial baru terjadi pertama kali pada 2017 (0,09%).
Meskipun demikian, secara umum tren gagal bayar surat utang korporasi menurun sejak 2012 hingga 2017, terutama dari kalangan sektor riil. Sayangnya, keadaan berubah sejak 2018 seiring mulai adanya korporasi sektor finansial yang mengalami gagal bayar.
Pada dua tahun terakhir selama masa pandemi, terlihat ada peningkatan default rate surat utang korporasi. Namun, kondisi ini sebenarnya tidak banyak berbeda dibandingkan dengan tahun 2018 sebelum ada pandemi.
Tingkat gagal bayar sektor riil pada 2020 mencapai 2,20%, sedangkan pada semester I/2021 naik lagi menjadi 2,52%. Sementara itu, tingkat gagal bayar sektor finansial pada 2020 hingga paruh pertama tahun ini stabil di level 0,10%.
Dari grafik tersebut memang terlihat tingkat rasio gagal bayar surat utang korporasi pada masa pandemi bukanlah yang terparah, sebab rasio tertinggi pernah terjadi pada 2010 dan 2012. Namun, rasio gagal bayar pada masa pandemi ini kini sudah lebih tinggi dibanding rata-rata sejak 2015.
Lagi pula, jangan lupa bahwa total outstanding surat utang korporasi saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi 2010-2012. Artinya, dengan rasio yang tidak jauh berbeda, nilai gagal bayar saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan periode 2010-2012.
Selain itu, periode pandemi belum berakhir, bahkan cenderung memburuk. Artinya, masih ada kemungkinan rasio gagal bayar surat utang ini bakal kembali meningkat di bulan-bulan mendatang.
Menghindari Risiko
Dalam kondisi ketidakpastian yang sangat tinggi saat ini, tentu akan sangat wajar jika investor di pasar surat utang akan cenderung mencari instrumen yang paling minim risikonya. Satu-satunya tolok ukur untuk itu tidak lain adalah peringkat surat utang.
Seperti sudah disampaikan sebelumnya, memang tidak ada jaminan bahwa surat utang berperingkat tinggi akan bebas dari risiko gagal bayar. Namun, setidaknya investor masih memiliki pegangan untuk mengukur seberapa besar peluang gagal bayarnya.
Pegangan tersebut sama sekali tak ada jika penerbit surat utang tidak melakukan pemeringkatan atas korporasi dan surat utangnya. Dalam kondisi ini, investor benar-benar bermodalkan kepercayaan terhadap korporasi tersebut.
Ketika kondisi ekonomi secara umum masih terkendali, sebenarnya surat utang berperingkat rendah sangat menarik, sebab menawarkan kupon yang sangat tinggi sebagai kompensasi atas tingginya risiko. Demikian pula instrumen yang tidak berperingkat, dapat menawarkan kupon yang sangat tinggi.
Namun, ketika kondisi memburuk, investor cenderung akan lebih memilih keamanan asetnya daripada mencari keuntungan yang tinggi. Oleh karena itu, instrumen yang paling banyak diincar tentu adalah yang berperingkat idAAA atau peringkat tertinggi.
Pefindo mencatat bahwa selama pandemi, belum ada korporasi atau surat utang berperingkat idAAA yang gagal bayar. Bahkan, selama satu dekade terakhir, belum ada korporasi berperingkat idAAA yang gagal bayar.
Namun, surat utang berperingkat idBBB atau peringkat terbawah dalam kelompok instrumen layak investasi, mencatatkan tingkat gagal bayar 4,65% pada 2020, sedangkan pada semester I/2021 mencapai 4,51%. Bahkan, kondisinya pernah jauh lebih buruk pada krisis 2009.
Tingkat gagal bayar peringkat idAA dan idA pada 2020 lalu masing-masing ada di level 0,34% dan 2,62%, sedangkan pada semester I/2021 menjadi 0,33% dan 3,10%. Dari sini dapat disimpulkan bahwa secara umum, makin rendah peringkat, makin tinggi risiko gagal bayarnya.
Berikut ini data grafik perkembangan rasio gagal bayar masing-masing peringkat dalam beberapa tahun terakhir:
Risiko gagal bayar tentu masih membayangi pada sisa tahun ini, terutama dari kalangan korporasi yang akan melunasi surat utang jatuh temponya.
Pilihannya hanya dua, yakni melunasinya menggunakan dana kas internal ataukah mengambil utang baru untuk menutupinya. Caranya bisa dengan menerbitkan surat utang baru lagi ataukah meminjam dari bank.
Jika kondisi keuangan perusahaan tidak stabil, ada kemungkinan perusahaan tidak mampu memenuhi kewajiban tersebut. Itu adalah kondisi terburuk yang mungkin terjadi dan berpotensi dituntut penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) atau pailit.
Pefindo mencatat bahwa pada kuartal III dan IV tahun ini masih akan ada surat utang jatuh tempo masing-masing senilai Rp38,6 triliun dan Rp32,2 triliun. Nilai ini cukup tinggi, sebab pada kuartal I dan II lalu nilai jatuh tempo masing-masing Rp20,1 triliun dan Rp34,5 triliun. Investor tentu patut waspada.
Selama pandemi belum berakhir, pasar investasi memang selalu dalam ancaman, termasuk pasar surat utang. Semoga saja tidak ada kabar buruk baru lagi yang akan muncul di waktu-waktu mendatang
Date: